Tanpa sadar aku telah memeluk Bastian karena terharu. "Maaf, Bas." Aku tersipu malu dan segera melepaskan pelukan."Tidak apa-apa, Tar. Aku merasa sangat bahagia saat kamu bahagia. Satu hal yang harus kamu tahu, kita adalah sahabat. Seorang sahabat akan selalu saling membantu, saling melindungi tanpa saling berhutang," kata Bastian terdengar lembut di telinga."Kamu sahabat baikku, Bas." Aliran napas di dalam dada, kini terasa lancar. "Katakan padaku, Bas. Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini? Saham di perushaaan ini bukan seharga tahu bulat. Semudah itukah kamu membelinya?" Aku melayangkan tatapan nanar, penuh tanda tanya pada Bastian.Sejenak Bastian membisu, hingga akhirnya dia kembali bersuara. "Bu Yunita yang mendanai," jawabnya."Apa! Bu Yunita?" Aku merasa aneh. "Apa iya Bu Yunita yang tegas itu bisa dengan mudah percaya padamu, Bas," imbuhku ragu."Sangat mudah, Tar." Bastian dengan entengnya."Kamu bergurau, Bas." Aku kembali ke tempat dudukku."Bu Yunita selalu percaya pad
"Katanya dia gak bisa makan malam sama aku, sebab sedang makan bersama mama dan calon istrinya." Gina bercerita dengan raut wajah sendu. Bola matanya masih berkaca-kaca, seperti ada kesedihan yang tengah dibendungnya.Aku sedikit mengernyitkan dahi. Seharian kemarin sampai menjelang malam tiba, Bastian terus bersamaku. Lalu, mengapa Bastian berbohong pada Gina? "Memangnya Bastian sudah punya calon istri?" tanyaku pada Gina.Namun Gina segera menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Tar. Selama ini yang aku tahu, Bastian tak punya kekasih. Tapi jawaban kemarin sore serasa menusuk ulu hati," jawabnya.Lalu, siapa calon istri yang Bastian maksud? Aku rasa Bastian tengah berbohong pada Gina."Kamu menyukai Bastian?" Tatapanku menelaah pada Gina. Seketika sahabatku itu menurunkan tatapan sendunya. "Gin, jujurlah. Aku bisa merasakan kalau kamu menyukai Bastian," imbuhku.Tanpa ragu, Gina menganggukan kepala. "Sudah lama aku menyukai Bastian. Tapi dia seakan tak menyadari perasaanku. Dia sel
Setelah hari itu, tak pernah lagi kudengar gosip-gosip murahan di sekitar rumahku. Namun dampak negatifnya, tak ada yang mau berteman denganku. Tak mengapa. Bagiku saat ini fokus membesarkan Meysa. Aku juga harus fokus membesarkan perusahaan almarhum papaku. Aku berhutang budi cukup banyak pada Bastian dan mamanya—Bu Yunita yang telah menyelamatkan perusahaan Haryanto.Seperti pagi ini, aku sudah berada di kantor Bu Yunita. Bukan untuk kembali bekerja di sana, melainkan untuk mengemas barang-barang milikku yang harus kupindahkan ke kantor Haryanto."Punya pelet apa sih kamu?" Samar-samar terdenhar suara sopran bericara dari belakangu.Aku segera menoleh. Rupanya sekertaris Bu Yunita sudah berdiri di ambang pintu ruanganku. Dia berdiri seraya berpangku tangan.Aku tak mengerti maksud ucapannya. "Maaf, Anda barusan bicara apa?" tanyaku pada wanita yang berpakaian serba ketat itu. Pura-pura tak dengar.Sekertaris Bu Yunita melayangkan tatapan sinis padaku. "Tari, kamu telah berani mengam
Air mata mantan ibu mertua kian terlihat deras. Ia melonggarkan pelukan sambil sesekali mengusap pipinya yang basah. "Mama tidak habis pikir dengan penyakit Dani. Katanya hanya penyakit jantung, tapi beberapa kulitnya hitam dan melepuh bagai terbakar api. Dosa apa yang telah diperbuatnya, hingga kemaluannya pun tercium bau busuk dan bernanah," ungkapnya sambil sesegukan.Miris mendengar cerita mantan ibu mertua yang cukup mengerikan tentang Dani. Dalam hati hanya berdo'a, semoga Tuhan mengampuni dosanya."Sabar ya, Ma. Kita berdo'a saja untuk papanya Meysa," ucapku seraya mengelus punggung tangan mantan mertua.Tak lama, mayit seselai dimandikan. Meysa nampak kembali ke dekatku sambil sesegukan. "Sabar, Mey. Kamu harus kuat. Ikhlaskan papa, agar tenang di akhirat sana," ucapku kali ini pada Meysa yang masih belum menyudahi tangisan."Semua ini gara-gara Santi!" tiba-tiba mantan ibu mertua terlihat geram ketika Santi kembali ke ruang tengah, duduk di dekat mayit.Aku segera menenangkan
Keesokan harinya, ketika aku baru bangun dari tidur. Semua sudut rumah sudah terlihat rapih, padahal baru saja pukul setengah lima subuh.Aku melangkah ke ruangan dapur yang juga terlihat sudah rapih. Tak ada satu pun cucian piring kotor di sana."Mba Tari, sudah bangun." Santi terlihat berdiri di dekat pintu dapur. Sepertinya baru saja kembali membuang sampah. Itu terlihat dari sebelah tangan kanannya yang memegang tempat sampah yang sudah kosong."Santi, apakah kamu yang membereskan rumah ini?"Santi menganggukan kepala. "Iya, Mba." Dia mengukir senyum."Padahal kamu tak usah repot-repot. Saya sudah terbiasa mengerjakannya sendiri." Aku segera berlalu ke kamar mandi.Ketika aku hendak membuat sarapan untuk Meysa, di atas meja makan nyatanya sudah tersaji nasi goreng beserta telor ceplok.Aku kemudian menemui Santi di kamar tengah. Rupanya wanita itu tengah mengemas pakaiannya. "Kenapa kamu harus buatkan sarapan segala? Saya 'kan sudah katakan, saya bisa melakukannya sendiri," kesalk
"Kamu!" jawabnya tegas. Bastian masih melayangkan tatapan yang cukup dalam."Apa!" aku terkejut. Degup jantung seakan berhenti memompa. "Tolong jangan bercanda, Bas. Aku sedang bicara serius.""Aku juga serius, Tar. Apa kamu lihat aku sedang bercanda?"Tiba-tiba kedua tangan Bastian meraih telapak tanganku di atas meja. Di waktu yang bersamaan keringat dingin serasa membanjiri tubuhku."Calon istri yang aku inginkan adalah kamu. Tak ada yang lain. Rasa itu muncul secara tiba-tiba, setelah kebersamaan kita yang selama ini terjalin," ungkapnya.Entah kenapa dengan isi jantungku, tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya. Napasku memburu kencang. Kedua tanganku bahkan membatu, tak mau lepas dari genggaman Bastian.Apa yang terjadi dengan diriku? Jiwaku serasa terbang ka langit, bersandar di balik awan yang putih dan bersenandung di sana.Tidak, tidak boleh. Aku tak boleh begini. Hingga dengan susah payah aku menarik tangan agar terlepas dari genggamannya. Padahal genggaman Bastian c
Aku resah ketika mendengar pintu kembali diketuk. Sudah bisa ditebak kalau tamu yang datang kali ini adalah Gina.Tok tok tok!Aku masih berdiri menatap Bastian dan Meysa yang tengah asyik dengan makanannya."Bas, ada Gina di depan rumah," laporku pada Bastian."Lalu?" Sepertinya Bastian mengerti maksudku."Kita temui Gina bersama-sama," ajakku.Bastian langsung berdiri. "Boleh," balasnya tanpa ragu. Ia segera melangkah, namun aku menahannya."Tunggu, Bas," tahanku."Kenapa?" Bastian menatapku lagi."Tolong jangan bicara yang macam-macam pada Gina ya. Aku mohon," pintaku seraya menautkan kedua telapak tangan. "Kasihan Gina, Bas. Jangan buat dia bersedih," lanjutku.Bastian diam sejenak, hingga ia kembali melanjutkan langkah menuju pintu utama.Sementara aku terlebih dahulu berbisik pada Meysa. "Mey, kalau sudah selesai makan, kamu langsung ke kamar ya. Mama harus bicara serius dengan teman-teman Mama." Meysa mengangguk, menahami perintahku.Ketika Bastian membuka pintu, nampaknya Gina
"Aku benci kondisi seperti ini, Tari!" sergah Gina lagi.Dalam kondisi perasaan yang tidak tenang, aku mendekati Gina. Aku duduk di sampingnya."Gin..." Aku meraih tangan Gina."Bastian mencintai kamu, Tar. Tak perlu kamu paksa dia mencintaiku. Aku juga punya harga diri. Kamu tak bisa mengubah perasaan orang lain!" Gina menghempaskan genggaman tanganku. Dia benar-benar terlihat sangat marah.Aku mengusap pelipis. Bastian! Mengapa kamu tak bisa memberiku waktu."Gina, aku juga terkejut begitu tahu tentang perasaan Bartian yang sebenarnya. Aku hanya tidak mau melihat kamu kecewa," terangku membela diri."Tapi tetap saja kamu membuat aku kecewa, Tar. Seandainya kamu bukan sahabat baikku, mungkin aku tak mau lagi dekat denganmu," kata Gina.Aku mendongak. Air mata ini kembali merembes di pipi. "Tidak, Gin. Jangan tinggalkan aku. Tidak ada satu pun sahabat baik di dekatku selain kamu," lirihku mengiba."Aku pun tak berniat meninggalkanmu, Tar," balas Gina datar.Gegas kupeluk tubuh Gina da
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria