Salma sampai di rumah setelah menyetir mobil sendirian dengan menahan pusing di kepala. Untung saja jalanan kampung cukup lenggang dan ia bisa sampai di rumah dengan selama."Lho, Salma, kok sendirian? Mana Ayu dan Amar?"Bukannya bertanya tentang keadaan Salma yang baru saja pingsan, bu Asih justru mencari keberadaan sang anak bungsu. Hal itu tentu membuat Salma merasa kesal."Aku suruh jalan kaki," jawab Salma seraya berjalan menuju kamarnya. Ia ingin segera beristirahat di kasurnya.Namun, langkah Salma terhenti saat bu Asih menahan lengannya. Wajah wanita tua itu tampak mengerut tidak suka."Kamu tega biarin adik kamu yang lagi hamil jalan kaki? Dimana hati nuranimu, Salma?""Ibu tanya hati nurani Salma? Lalu, dimana hatu nurani Ibu dan Ayus sampai kalian bisa mengkhianati Salma seperti ini?"PLAKTangan bu Asih berhasil mendarat dengab sempurna di pipi Salma. Tamparan yang cukup keras hingga kepalanya menol
KlaimTak lama setelah itu, Ayu juga keluar dari kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus rambutnya. Benar dugaan Salma, adik dan suaminya pasti semalam melakukan hubungan gelap itu lagi."Dasar, manusia-manusia tidak tahu malu," ucap Salma yang terdengar oleh rungu Ayu. Ayu yang merasa disindir pun tak terima."Apa maksudnya Mbak Salma ngomong kaya gitu?""Apa lagi? Kan, memang faktanya begitu. Mas Amar itu masih sah menjadi suamiku dan belum sah menjadi suami kamu. Tapi, kalian sudah melakukan hubungan suami-istri sesuka hati kalian. Apa kamu merasa dosa kamu itu gak ada, jadi kamu ngebet ngumpulin dosa dengan melakukan zina?"Ayu mendelik mendengar kalimat panjang Salma. Ia berniat menghampiri Salma untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Tapi, Amar dengan sigap menahan tubuh Ayu."Sudahlah, Yu. Kan, memang itu faktanya. Kita belum nikah, tapi, kamu memang suka ngegoda, sih."Ama
Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan."Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar."Selamat ya, Bu Salma
Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar."Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya."Hah?!"Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface."Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas.""Terong? Kamu ngidam makan terong?""Tahu, ah!" Ayu total merajuk.Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya i
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mbak. Mas Amar harus menikahiku secara sah, baik agaman maupun negara. Aku tidak mau anak ini nanti lahir tidak ada kejelasan statusnya kalau Mas Amar hanya menikahiku secara siri," protes Ayu tak terima saat Salma tidak menyetujui niatan Ayu dan Amar yang akan mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor urusan agama.Sembari memakan buah anggur yang sudah dibuang bijinya, Salma berujar dengan santai, masih dengan posisi duduk berselonjor di atas sofa dan menikmati acara televisi kegemarannya."Kalau aku tidak setuju, bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku dan mas Amar akan tetap mendaftarkan pernikahan kami secara administrasi negara. Ya, kan, Mas?" tanya Ayu pada Amar bermaksud mencari pembelaan. Amar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.menikah tanpa persetujuan istri pertama itu ada hukumnya?"Ayu menghentakkan kakinya kesal. la sudah tahu sebenarnya, tapi ia hanya berniat menggertak Salma. Namun, Salma bukan wanita lemah dan bodoh. Ia tidak akan mengalah
Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya."Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat
"Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.
"Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"