BAGIAN 87
POV AUTHOR
MEMOHON
Dengan penuh canggung di hati dan perasaan takut ditolak, Suwito beserta sang istri—Rusmina, membawa adik mereka menuju kediaman mewah Anwar yang kini tak lagi sepi. Anwar sudah tidak lagi mendudak. Tidak lagi bersedih maupun berduka cita. Dia telah menjadi sosok paling berbahagia di muka bumi ini pasca pernikahannya dengan Nami terlaksana enam bulan yang lalu.
Suwito dan Rusmina bukannya tak tahu jika sang mantan ipar menikah kembali. Begitu juga dengan Ina. Dia memang dulunya gila. Jiwanya terganggu. Namun, kehadiran Anwar bersama Nami yang cantik alami dan menawan itu telah membuat Ina sadar jika mantan suaminya telah menemukan tambatan hati baru. Bagaimana Ina tak semakin terguncang saat itu? Dia kecewa berat. Depresinya semakin menggila. Untung saja, Suwito dan
BAGIAN 88POV AUTHORIKHLAS “Iya, Bos. Dia datang bersama kakak dan iparnya.” Anwar langsung bangkit dari sofa. Istrinya yang bernama Nami dan telah memutuskan resign sebagai seorang PNS itu buru-buru mendekat sambil membawakan nampan dengan secangkir the di atasnya. Nami kaget mendengar jeritan sang suami yang cukup keras tersebut. “Mas, ada apa?” tanya Nami sambil mempercepat langkah. Wanita berkulit putih dengan tubuh langsing dan perawakan yang cukup tinggi itu segera menaruh cangkir di atas meja. Dia ikut berdiri dan menatap Anwar dengan penuh tanda tanya besar. Tampak oleh Nami wajah suaminya
BAGIAN 89POV NAMI Terang, aku sangat kaget mendengar ucapan Mas Anwar barusan. Nama Ina sontak membuat napasku tercekat sesaat. Ada apa gerangan dengan perempuan gila itu? Bukankah … dia masih mendekam di RSJ sekarang? “Kenapa Ina, Mas?” tanyaku dengan perasaan was-was. Aku bukannya merasa cemburu pada perempuan tak waras itu. Hanya saja, batinku tak bisa lega setiap mendengar namanya digaungkan. Kami memang tak mengenal baik, tapi dari cerita suamiku dan orang terdekatnya saja, aku sudah bisa memutuskan bahwa aku tak akan menyukai Ina. “Dia … sudah sembuh dari sakitnya. Dia baru saja keluar dari RSJ pagi
BAGIAN 90POV NAMI “Maaf, Nyonya. Kedatanganku benar-benar bukan untuk mengganggu rumah tangga kalian. Hanya saja … kami tidak tahu harus ke mana lagi di kota ini. Hanya Tuan Anwarlah satu-satunya yang saya kenal dekat di sini.” Ina terlihat menunduk. Sementara tangannya masih terjulur ke arahku. Aku yang semula sempat membeku, langsung menjabat tangannya. Tangan itu terasa sejuk dan berkeringat. Ketika kusalami, Ina sontak mendongak dan memperhatikan wajahku dengan kaca-kaca di bola matanya. Tentu aku tak tega melihat Ina seperti itu. Bagaimanapun dia ini tetaplah manusia. Lihat saja sandal yang dia kenakan. Hanya sepasang sandal jepit biasa yang sering kugunakan untuk pergi ke kamar mandi
BAGIAN 91POV NAMI “Ah, udahlah, Rah. Kita lihat saja nanti. Toh, aku ini bukan orang bodoh yang mudah ditipu. Insyaallah, si Ina itu kalau macam-macam bakal segera ketahuan sama aku.” Aku menguatkan diri. Bersikukuh pada pendirian bahwa aku ini bukan wanita yang asal percaya saja sama orang. Apalagi mantan pelaku kriminal dan penyintan gangguan jiwa. Bukankah gelagat aneh dari Ina nantinya bakal mudah buat terendus? “Ya, sudah kalau gitu, Nyah. Semoga itu orangnya emang udah tobat,” ucap Rahima mengalah. “Amin. Ya, udah. Ayo bantu aku ke depan.” Aku langsung mengangkat nampan. Mengajak Rahima gegas mengantarkan minuman dan camilan ke depan. Pembantuku itu menurut. Tanpa ba
BAGIAN 92POV NAMI “Nami, tolong panggilkan dokter Indra ke sini. Sekalian Rahima suruh beli bubur ayam di warungnya Kardi. Oh, ya. Sepertinya stok buah di kulkas perlu ditambah. Ina perlu makanan bergizi selama pemulihan sakit ini.” Mas Anwar berkata kepadaku di ambang pintu kamar tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamar milik Rahima yang tak jauh kberadaannya dari ruang tengah. Aku menghela napas. Berusaha untuk tetap tersenyum meskipun sebenarnya hatiku mulai rikuh. Mas Anwar, seakan menspesialkan Ina. Namun, sudahlah. Aku harus mengalah. Toh, suamiku adalah milik sahku. Ina hanyalah mantan. Mungkin itu mindset yang harus kupertahankan di dalam pikiran. 
BAGIAN 93 POV NAMI “I-itulah yang buat Mama pusing, Ris,” lirihku terbata. Kepalaku jadi cenut-cenut. Aku benar-benar pening memikirkan ini seketika. Ya Allah, apakah langkahku salah dalam memasukan perempuan itu ke rumah kami? “Dia sudah sembuh dari penyakit jiwanya, Ma? Lantas, kenapa harus pulang ke rumah Papa, sih? Apa tidak dipulangkan saja ke kampung halamannya sana?” desak Risti bertubi-tubi kepadaku. “Iya, Ris. Sudah sembuh katanya. Sudah bisa pulang dari RSJ. Ini numpang menginap. Besok katanya mau pulang kampung.” Terdengar di seberang sana Risti mengembuskan napas masygul. Risti, jangan makin membuat mamamu ini bimbang, dong. Astaga, aku jadi merasa benar-benar tertekan. “Mama lihat, bagaimana sikapnya yang sekarang?” tanya Risti bernada waspada. “Lihat. Mama lihat kok, Ris. Dia … sepertinya sudah waras. Tidak seperti pas di RSJ dulu. Tatapannya sudha tidak kosong lagi. Cara menyahutny
BAGIAN 94POV NAMI “Tapi, Mas, bukankah dulu kamu sudah menganggap Risti sebagai anakmu sendiri?” tanyaku. Meski kutahan rasa dongkol itu, akhrinya mencuat juga pertanyaan barusan. Mulutku sudah gatal sendiri rasanya. “Itu kan, dulu. Sekarang Risti sudah punya suami baru, sudah punya anak, dan kehidupan yang sangat layak. Aku tidak merasa perlu untuk menspesialkan anak itu lagi dan memberikannya terlalu banyak porsi untuk mencampuri masalah keluarga kita. Karena ya, kita sudah sama-sama punya keluarga baru.” Mas Anwar berucap enteng. Tentu aku masih merasa sesak. Kurang nyaman dengan perubahan Mas Anwar yang begitu drastis. Baiklah. Mungkin aku harus menerima keputusannya. Dia imam di rumah ini. Wal
BAGIAN 95POV NAMI Lugas ku tepis rangkulan Mas Anwar. Kupasang wajah dingin, lalu aku pun menoleh kepada dokter Indra yang juga terlihat kurang nyaman gerak-geriknya. Dia pasti merasa canggung. Tentu saja. Orang waras pasti menganggap ucapan suamiku itu menggelikan dan sangat kurang pantas buat diucapkan. Entahlah Mas Anwar ini. Ketika Ina menginjakkan kaki ke rumah kami, sikapnya lambat laun membuatku gondok luar biasa. “Dokter, Fatina, silakan masuk ke dalam,” ucapku mempersilakan mereka berdua untuk masuk ke kamar tamu yang berada di pojok lorong sebelah kiri sana. “Dok, tolong Ina dipasangkan infus saja. Mohon resepkan obat-obatan suntiknya, Dok. Nami yang akan mengawasi selama infus terpasang.&rdquo
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa