BAGIAN 80
POV RISTI
“E-eh, nggak gitu, Mas,” kataku tergagap.
Mas Sav tersenyum. Senyumnya beda. Seperti ada yang mengganjal.
Sontak bahuku melorot lemas. Mas Sav pasti salah paham. Mood-ku pun langsung anjlok seketika. Semua gara-gara Fajar!
Pesanan kami pun datang. Mas Sav tak kunjung mengajakku bicara. Lelaki itu langsung menyantap hidangannya tanpa bercakap. Hatiku makin bimbang saja. Bagaimana ini, pikirku. Ucapanku pasti sudah membuatnya kecewa.
Kurang dari setengah jam, acara makan kami berakhir. Mas Sav tanpa basa-basi langsung bangkit dari duduknya dan melirikku sekilas. Aku pun tahu diri. Itu kode bahwa dia ingin gegas meninggalkan tempat ini.
&n
BAGIAN 81POV SAVERO “Mas dokter, ada tamu yang cari.” Pak Didik, penjaga kostanku berkata tatkala membukakan pintu gerbang untukku. “Siapa, ya?” tanyaku masih di dalam mobil. “Cewek, Mas. Cantik. Rambutnya keriting pirang. Nggak mau kasih tahu nama. Tapi … kayanya lagi hamil gede.” Mendengar penjelasan Pak Didik, dahiku langsung mengerut. Cewek? Cantik dan berambut keriting pirang? Hamil gede? Siapa, ya? “Ya, sudah. Makasih.” Aku menyahut dingin. Lekas kulajukan mobilku untuk kuparkir di halaman beratap kanopi sebelah timur rumah. Kendaraan anak-anak kostan sudah berjejer rapi. Untungnya, mereka dengan sangat sopan dan pengertian ti
BAGIAN 82POV GRACE “Dave, kamu nggak bisa dong, ninggalin aku gini aja!” Aku marah. Merasa ditipu habis-habisan oleh Dave—pacarku. Lelaki itu tiba-tiba mengatakan bahwa dia sudah bosan dan ingin keluar dari rumah yang kami kontrak bersama. Dia ingin kebebasan yang selama ini tak dia dapatkan denganku. “Nggak bisa? Kenapa nggak? Kita nggak punya hubungan apa pun!” Dave yang memiliki postur tinggi dengan otot perut kotak-kotak itu menepis keras cengkeraman tanganku. Lelaki 29 tahun tanpa pekerjaan tetap yang mengandalkan trading sebagai sumber cuan itu mengeras kedua rahangnya. “Hah? Kamu gila, Dave? Kita pacaran, Dave! Jelas, kita ada hubungan!” Aku menampar pipi mulus Dave. Wajah licin putihnya itu bahkan dia dapatkan dari skincare yang
BAGIAN 83POV RISTI Semenjak cincin berlian pemberian Mas Sav melingkar di jemari, perasaanku kepada pria itu menjadi bertambah besar. Harapan yang semula redup, kini terang benderang lagi. Hatiku pun telah terisi. Impiku membumbung setinggi angkasa. Tiap detik tak pernah kulewatkan tanpa memikirkan lelaki baik hati nan tampan tersebut. “Ris, Ayah dukung penuh hubunganmu dengan nak Savero. Dia anak yang baik. Kalian jangan bertengkar lagi, ya.” Ayah sangat bahagia kala kuperlihatkan cincin hadiah dari Mas Sav. “Iya, Ayah. Aku nggak akan bertengkar lagi.” Aku tersenyum manis di hadapan Ayah, pun juga Ibu. “Alhamdulillah, Nduk. Kamu lepas dari suami yang jahat, malah dapat calon suami yang baik hati. Kamu har
BAGIAN 84POV RISTIMENUJU ENDING “U-udahlah, Mas. Nggak usah bahas yang—” “Ti … aku serius. Aku hanya pengen tahu dari mulut kamu, Ti. Apakah kamu akan tetap bertahan denganku saat kamu tahu keburukan dari masa laluku, atau kamu malah meninggalkanku nantinya. Aku mohon jawab pertanyaanku.” Mas Sav meminta dari seberang sana. Suaranya masih saja sengau sebab tangis yang menyeru. Aku pun ikut menangis di sini. Perih hatiku mendengarkan guguannya yang pilu. Padahal, aku tak tahu maksud pembicaraan Mas Sav dan sebenarnya aku juga tak ingin tahu secara gambalng apa yang sebenarnya menjadi masalah lelaki ini. Aku hanya … takut menerima kenyataan. Kutarik napas sedalam mungkin. Kuusap perlahan air mata dan kusingkirkan segala ragu di dada. Tak ada manus
POV RISTISetahun berlalu …. “Saya terima nikahnya Sartika Nastitis binti Ridwan Syaifudin dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebentuk cincin emas dua gram, dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Aku menatap dengan mata berkaca ke arah sepasang insan yang baru saja melakukan akad nikah di dalam ruangan mushala lapas Pondok Aren. Tangan Mas Sav yang duduk di sebelah pun tiba-tiba hinggap dan meremas lembut jemariku. “Alhamdulillah, mereka akhirnya menyusul kita, Sayang,” bisik Mas Sav. Aku menoleh ke arah suam
BAGIAN 86 POV AUTHOR OBAT UNTUK INA Hampir dua tahun pasca kematian Lia “Mbakyu … Mas Wito ….” Ina memanggil kakaknya, Rusmina. Hampir dua tahun dia mendekam di dalam RSJ. Bergabung bersama pasien-pasien gangguan jiwa lainnya dalam keadaan hampa. Siang ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ina merasakan ada yang lain dengan tubuh dan jiwanya. Ina serasa telah dilahirkan kembali. Dia bahkan bisa mengingat jelas tentang sosok di hadapannya. “Ina!” Rusmina yang telah bolak-balik hampir setiap bulan untuk mengirimkan air berisi jampi-jampi sebagai obat mental sang adik itu pun penuh semangat. Dilihatnya Ina telah berbicara dengan normal. Apalagi pandangan di kedua mata perempuan itu. Lebih bersinar dari biasanya. “Mbakyu,” lirih Ina lagi. Perempuan yang semakin kurus dan berkulit pucat itu perlahan turun dari ranjangnya. Dia berpijak di atas ubin dengan telanjang kaki. Mendatangi sang kakak yang kini bangkit dari kursinya.
BAGIAN 87POV AUTHORMEMOHON Dengan penuh canggung di hati dan perasaan takut ditolak, Suwito beserta sang istri—Rusmina, membawa adik mereka menuju kediaman mewah Anwar yang kini tak lagi sepi. Anwar sudah tidak lagi mendudak. Tidak lagi bersedih maupun berduka cita. Dia telah menjadi sosok paling berbahagia di muka bumi ini pasca pernikahannya dengan Nami terlaksana enam bulan yang lalu. Suwito dan Rusmina bukannya tak tahu jika sang mantan ipar menikah kembali. Begitu juga dengan Ina. Dia memang dulunya gila. Jiwanya terganggu. Namun, kehadiran Anwar bersama Nami yang cantik alami dan menawan itu telah membuat Ina sadar jika mantan suaminya telah menemukan tambatan hati baru. Bagaimana Ina tak semakin terguncang saat itu? Dia kecewa berat. Depresinya semakin menggila. Untung saja, Suwito dan
BAGIAN 88POV AUTHORIKHLAS “Iya, Bos. Dia datang bersama kakak dan iparnya.” Anwar langsung bangkit dari sofa. Istrinya yang bernama Nami dan telah memutuskan resign sebagai seorang PNS itu buru-buru mendekat sambil membawakan nampan dengan secangkir the di atasnya. Nami kaget mendengar jeritan sang suami yang cukup keras tersebut. “Mas, ada apa?” tanya Nami sambil mempercepat langkah. Wanita berkulit putih dengan tubuh langsing dan perawakan yang cukup tinggi itu segera menaruh cangkir di atas meja. Dia ikut berdiri dan menatap Anwar dengan penuh tanda tanya besar. Tampak oleh Nami wajah suaminya