BAGIAN 72
POV RISTI
Dua bulan kemudian ….
“Mas, ini akte cerai kita.” Aku mengulurkan sebuah map berwarna kuning ke arah Mas Bayu lewat celah jeruji pembatas. Pria yang duduk di hadapanku dengan muka datar itu menerima berkas berisi akte cerai untuk si tergugat. Ya, aku telah menggugat cerai Mas Bayu tepat seminggu setelah kejadian pembunuhan Lia. Papa yang mendukungku secara penuh. Kedua orangtua yang kini tinggal bersamaku di rumah milik Mas Bayu pun juga ikut memberikan suppot terbesarnya agar aku berpisah dari pria yang didiagnosa menderita ganggaun bipolar tersebut.
“Makasih,” ucapnya. Mas Bayu yang kini berkepala plontos dengan tubuh agak kurusan itu menatap nanar ke arah map yang dia pegang erat-erat. Tatapannya benar
BAGIAN 73POV RISTI “Mas, maafin aku lama,” kataku sungkan seraya duduk ke kursi penumpang. Kututup pintu mobil Mas Savero hati-hati. “Eh, kamu udah datang?” Pria yang mengenakan kemeja lengan panjang biru itu buru-buru melepaskan earphone nirkabelnya. Kulihat Mas Savero gegas mematikan musik di ponsel, lalu melemparkan pandang ke arahku. “Iya. Maaf ya bikin lama nunggu,” ucapku lagi. “Santai. Nggak apa-apa. Gimana kondisi Bayu?” Mas Savero yang memotong rambutnya menjadi model french crop
BAGIAN 74POV ANWAR “Lia sayang, lapar ya, Nak? Mau nenen ya, Sayang? Sebentar ya, Nak. Mama bikinkan Lia susu dulu. Hihi!” Kutatap sendu sosok wanita dengan rambut panjang sebahu yang kusut masai itu tengah duduk di sudut ruangan sambil menggendong boneka. Boneka berbentuk bayi dengan rambut botak itu tak pernah dia lepaskan barang sedetik pun. Dia peluk. Dia cium. Seolah-olah dirinya kembali memiliki bayi kecil lagi. “Begitulah kondisinya, Pak Anwar. Sangat memprihatinkan.” Psikiater di sebelahku berucap. Kami berdua yang baru saja tiba lima menit lalu di depan ruang isolasi RSJ Telaga Biru, sama-sama memperhatik
BAGIAN 75POV SAVERO Tok tok tok! Aku mengetuk pintu ruangan direktur sebanyak tiga kali. Setelah mendengar seruan untuk masuk, barulah aku memberanikan diri untuk membuka kenop. Ya, Ayah telah memanggilku. Pria itu menelepon ke saluran IGD. Menyuruhku menghadap ke ruangannya untuk membicarakan sesuatu. Aku benci bila dia memanggilku. Awas saja kalau yang akan dia bahas adalah masalah pribadi. “Selamat siang,” ucapku menyapa Ayah. Pria yang mengenakan seragam putih dengan atribut dan lencana di bahunya tersebut mendongak. Dia me
BAGIAN 76POV SAVERO “Titi, itu siapa?” tanyaku pada Risti ketika dia datang lagi seusai mengantar teman prianya. “Teman sekolahku dulu, Mas. Sama-sama perantau. Dia pesan kue ulang tahun.” “Sudah punya pacar dia?” Aku menginterogasi Risti. Perempuan itu mendadak kaget saat kutanyai demikian. “Nggak tahu, ya. Aku nggak tanya, tuh,” sahutnya acuh tak acuh. Perempuan yang menata rambutnya menjadi ikal gantung dan mewarnainya dengan warna cokelat hazle tersebut duduk di kursi kasir miliknya. Dia menatap bawaanku yang kuletakkan di atas meja. 
BAGIAN 77POV RISTI “Ris, kenapa sikapmu begitu, Nduk, pada nak Savero?” Ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. Beliau naik ke atas ranjang, kemudian mulai mendekati aku yang duduk meringkuk sambil memeluk lutut. Aku membisu. Melamun dengan tatapan kosong dan hati yang beku. Terasa begitu terhina tatkala membaca pesan dari dokter Harie, ayahnya Mas Sav, semalam. [Tolong jauhi anak saya. Sadarilah kalau kalian itu tidak sederajat dan tidak serasi sama sekali.] Begitu isi pesan teks yang dia kirim melalui WhatsApp. Aku marah. Murka. Merasa terkoyak harga diriku. 
BAGIAN 78POV BAYU Sel tahanan kini telah menjadi tempat ternyamanku. Bergabung dengan kawan-kawan tahanan yang kasusnya masih terus bergulir di persidangan, ternyata tak seburuk bayanganku semula. Ada sembilan orang kawanku yang sama-sama mendiami sel nomor 13. Kami bersepuluh mendiami ruangan 4 x 4 meter yang sebenarnya tak begitu luas, tetapi cukuplah untuk sekadar melepas penat. Kegiatan di sini cukup terorganisir. Kami bangun pagi-pagi untuk ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Dilanjutkan olahraga, kemudian bersih-bersih lapangan maupun sel tahanan. Usai keringat terkuras, barulah kami diberikan sarapan. Menunya sederhana saja. Hanya nasi putih, sayur, dan sepotong tempe. Siang nanti menunya juga masih serupa dengan jumlah lauk yang terkadang tak cukup untuk seluruh tahanan. Aku sama sekali tak ma
BAGIAN 79POV RISTI Mas Sav betul-betul menepati janjinya. Dia datang pukul 16.00 sore. Tampilannya sudah rapi klimis. Celana hitam dan kemeja slimfit warna hijau emerald yang lengannya dilinting hingga siku membuat tampilan pria berambut french crop itu sangat menawan. Belum lagi aroma parfumnya yang segar dan maskulin. Jantungku sampai berdegup sangat kencang tatkala melihat kedatangannya. “Ibu, Ayah, saya izin bawa Titi jalan,” kata Mas Sav mohon pamit pada kedua orangtuaku. “Iya, nak Savero. Silakan. Hati-hati di jalan, ya.” Ayah paling semangat. Beliau terus tersenyum semringah kala mendapati kami kembali baikan. “Hati-hati pokoknya. Jangan pulang terlalu larut, ya.” Ibu berpesan. Kedua orangt
BAGIAN 80POV RISTI “E-eh, nggak gitu, Mas,” kataku tergagap. Mas Sav tersenyum. Senyumnya beda. Seperti ada yang mengganjal. Sontak bahuku melorot lemas. Mas Sav pasti salah paham. Mood-ku pun langsung anjlok seketika. Semua gara-gara Fajar! Pesanan kami pun datang. Mas Sav tak kunjung mengajakku bicara. Lelaki itu langsung menyantap hidangannya tanpa bercakap. Hatiku makin bimbang saja. Bagaimana ini, pikirku. Ucapanku pasti sudah membuatnya kecewa. Kurang dari setengah jam, acara makan kami berakhir. Mas Sav tanpa basa-basi langsung bangkit dari duduknya dan melirikku sekilas. Aku pun tahu diri. Itu kode bahwa dia ingin gegas meninggalkan tempat ini.&n
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa