BAGIAN 54
POV ANWAR
Pukul setengah dua pagi aku tiba bersama Andang, Dedi—sopir peternakan, dan pengacara kepercayaanku—Budiman. Mobil SUV silver metalik yang dikemudikan Dedi langsung berhenti di depan rumah sakit Bhayangkara, di mana jenazah Lia sedang diamankan.
Empat jam perjalanan, sedikit pun mata tuaku tak bisa terpejam. Hatiku rasanya seperti diiris sembilu hari ini. Cobaan datang menerpa secara bertubi-tubi. Bisnisku kacau, istriku ketahuan memberikan racun ke dalam makananku, dan kini aku harus menghadapi kenyataan bahwa anak lelaki semata wayangku telah membunuh adik sambungnya sendiri. Belum lagi dengan misteri hilangnya Risti yang bagai ditelan oleh bumi. Menurut polisi setempat yang memeriksa Bayu, anakku belum juga mau memberikan keterangan. Sedangkan Tika yang katan
BAGIAN 55POV ANWAR “Adakah keluarga dari saudari Lia Utami Latuheru?” Sebuah suara tiba-tiba menyeruak. Berasal dari seorang pria dengan seragam serba hijau dan APD lengkap. Pria itu kini berdiri di ambang pintu seraya memegang kenop pintu dengan tangan kanan bersarung karet warna oranye. Aku langsung bangkit dari kursi tunggu di depan kamar jenazah. Kutatap lekat-lekat pria berkacamata goggle, masker medis, dan penutup kepala berwarna hijau tersebut. “Saya bapaknya,” kataku dengan penuh harap cemas. “Proses autopsi sudah selesai. Kami akan memandikan jenazahnya. Bisakah Bapak masuk ke dalam?” tanya pria itu dengan suara yang santun. 
BAGIAN 56POV ANWAR “Dewa, tolong berikan ponselmu kepada istriku,” pintaku dengan napas yang kini memburu. Ada rasa geram yang membara dalam dada. Iba itu kini surut. Malah berganti dengan sakit hati tak tertandingi. Jadi … Lia dan Bayu telah menikah? Di belakangku? Tanpa sepengetahuanku? Kapan? Di mana? Sungguh biadab mereka bertiga ternyata! Kamera ponsel Dewangga pun teralih ke atas langit-langit. Terdengar suara pria muda itu tengah berbicara dengan bahasa yang sangat halus pada Ina. “Bu, Om mau bicara lagi. Silakan, Bu.”&nb
BAGIAN 57POV ANWAR Terburu aku meninggalkan kamar jenazah. Setelah keluar dan kembali menutup pintunya rapat-rapat pun, hawa menyeramkan masih kental menyelimuti. Tak hentinya tengkuk merinding, meski aku telah berhadapan dengan banyak orang. “Bagaimana, Bos?” tanya Ilham sambil bangkit dari duduknya. “Akan dimandikan oleh petugas perempuan. Aku serahkan pada mereka. Sekarang, aku mau menemui Bayu.” Aku berucap tegas. Semua orang yang semula duduk, sontak bangkit dan mengelilingiku. “Budiman, ikut aku ke IGD. Bayu masih di sana untuk pemulihan luka tembak,” ucapku beralih seraya menatap B
BAGIAN 58POV Anwar “Kenapa sampai bisa masuk ke RSJ, Bay?” tanyaku dengan suara yang semakin lirih dan merendah. Kuusap dahi Bayu yang tampak penuh peluh. Tangisnya pun menderu lagi. Tangannya sampai terlihat gemetar bila kuamati baik-baik. Bibir Bayu malah menggigil. Belum mau menjawab. Suara isaknyalah yang mendominasi. “Ceritakan pada Papa, Bay. Papa tak akan marah atau menyalahkanmu,” ucapku lagi masih mengusap dahi dan pipinya. “J-janji?” tanyanya sambil mengerling. Aku mengangguk. Mataku menatap bi
BAGIAN 59POV ANWAR Usai melampiaskan kegeramanku pada Bayu, gegas kutinggalkan anak itu dalam keadaan yang masih menangis pilu. Entah mengapa, rasa kasihan di dalam benakku sudah habis. Budiman yang ternyata menunggu di dekat pintu tampak kaget saat melihatku keluar. Mukanya langsung pias. Terlebih ketika suara tangis Bayu makin terdengar dari luar sini, meski pintu sudah ditutup. “Bos,” panggil Budiman. “Sudah. Jangan ikut campur. Ayo, temani aku ke RSJ,” ucapku sambil berjalan mendahuluinya. Budiman terdengar meng
BAGIAN 60POV ANWAR Setelah diam agak lama, aku akhirnya menyahut Budiman, “Lihat nanti.” Budiman kulirik mengangguk kecil. Bibirnya mengatup erat. Kutahu bahwa dia tak kuasa untuk mengutarakan sanggahan. Dia tahu betul watakku seperti apa. Mobil terus berjalan. Membelah jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu jalanan. Pekatnya langit dini hari tak membuat suasana jadi mencekam. Malah terkesan syahdu akibat terangnya cahaya lampu yang terpasang di sepanjang tepian jalan. Hatiku mulai gelisah. Was-was membelenggu. Tak siap rasanya untuk berhadapan dengan Risti, menantuku. Bagaimana … bila kondisinya m
BAGIAN 61POV ANWAR Sementara mas-mas perawat IGD itu membantu kawannya yang diduga pingsan untuk berbaring di lantai, aku malah bergegas mencari di mana ruang isolasi dua tempat di mana Risti dirawat. Kakiku melangkah secepat kilat. Bunyi langkah pun juga terdengar di belakang sana. Saat kulihat, ternyata ada Budiman. Dia malah menyusulku. “Bos, mau ke mana?” teriaknya sambil berusaha menyejajarkan langkah di sampingku. “Cari ruang isolasi dua!” perintahku sambil celingak-celingkuh ke kiri dan ke kanan. “Itu!” Budiman setengah berteriak. Napasny terengah. Dia menunjuk pintu di depan sana.
BAGIAN 62POV ANWAR “Dokter Savero? Siapa dia?” desakku. Namun, sialnya Gugun malah kembali terlelap. Kepalanya terkulai di atas pembaringan. Kuguncang pundaknya demi membangunkan perawat itu. Tiada hasil. Dia malah mendengkur. “Dokter Savero? Apakah jangan-jangan … Risti diculik olehnya? Atau … jangan-jangan dokter itu telah memberikan obat tidur pada perawat ini?” gumamku bingung. Aku gegas balik badan. Tergesa mendatangi sebuah ruangan yang berada di belakang meja kerja perawat dokter IGD tersebut. Kubuka kenop pintu ruangan yang ternyata terkunci rapat dari dalam. Sudah jam segini, bahkan petugas
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa