BAGIAN 46
POV BAYU
Melenyapkan Mulut Sampah
“Apa?! Ulangi sekali lagi!” Sebab luapan emosi yang membuncah, aku pun langsung berteriak membentak Lia. Kegeramanku sudah menyentuh ambang batasnya. Tubuhku meringsek maju. Membuat ekspresi Lia berubah menjadi ketakutan.
“Ya, aku tidak mencintaimu, Mas! Aku hanya menginginkan hartamu dan harta papamu. Puas?!” Dengan suara yang bergetar, Lia berani-beraninya menjawabku. Di balik mukanya yang berubah pias, masih saja tersimpan arogansi dalam jiwa anak itu.
Hati yang sudah hancur, semakin tambah lebur mendengar ucapan Lia. Kepal tinjuku yang sudah terbentuk dari tadi, kini merekah. Berganti dengan lima jari yang saling merapat, lalu mend
BAGIAN 47POV BAYU Kamar sudah rapi. Aroma terapi dengan harum rose yang kucampur lavender sudah dinyalakan. Baju pun telah kutukar dengan kaus rumah berwarna hitam serta celana jins panjang. Kupatut diri di depan cermin. Tampan. Untuk semakin menggoda Mbak Tika, sengaja kusemprotkan parfum mahal di leher serta pergelangan tangan. Sebenarnya, tanpa usah semaksimal ini pun, sudah bisa kupastikan bahwa Mbak Tika akan langsung jatuh ke pelukan. Yah, setidaknya memberikan perempuan tua itu kebahagiaanlah. Biar dia tak menyesal sebab telah datang ke rumahku. Langit senja di luar sana telah tampak saga. Aku yang duduk menunggu di sofa ruang tamu, sengaja saja membuka pintu lebar-lebar. Kutepis sesaat rasa gelisah u
BAGIAN 48POV BAYU Dan hubungan terlarang itu pun terjadi di antara aku dengan Mbak Tika. Semua kulakukan tanpa membawa serta perasaan ke dalamnya. Hambar. Malah muak mendominasi isi pikiran dan jiwa. Terpaksa. Itulah yang selama kurang lebih setengah jam kurasa. “Makasih, Sayang,” lirih Mbak Tika dengan penuh mesra kepadaku. Perempuan yang ternyata sudah tak perawan meskipun belum pernah menikah tersebut tersenyum nakal padaku. Tubuhnya yang kini polos dan hanya ditutupi dengan selembar selimut itu sibuk ingin merangkulku. Cepat kutepis rangkulan itu. Aku yang masih berbaring menghadap ke arah Mbak Tika, kini memasang mimik dingin. Kutatap dia tajam. Sekarang, giliran aku yang meminta imbalan.
BAGIAN 49POV AUTHORPENGGERUDUKKAN Berjam-jam lamanya Dul Matin dan Karim yang dikirim oleh bos besarnya, Ilham, mondar-mandir bagai setrikaan. Mereka pantang pulang sebelum mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai target yang tengah dimata-matai. Target itu tak lain merupakan anak bos besar dari bos mereka. Meski belum berkesempatan untuk sangat akrab karena perbedaan kasta yang begitu jauh, tetapi kedua sahabat sejati itu tahu betul dengan bos Anwar. Kalau permintaannya tak segera dikerjakan, bisa-bisa pinjaman utang yang dia berikan pada Ilham macet. Itu artinya, gaji serta insentif Dul dan Karim bakal kena imbas juga. Mereka tak menginginkan hal tersebut. Jadi, lapar dan penat pun siap mereka hadapi, asal keduanya bisa memberikan informasi paling akurat mengenai Bayu, si
BAGIAN 50POV AUTHOR Dul dan Karim langsung naik ke atas motor. Keduanya menatap ke arah Maisara yang kini melesat dengan sepeda motornya, hingga punggung wanita bergamis hitam itu lenyap dari pandangan mata. Kini, tatapan Dul beralih ke rumah milik Bayu. Terlihat kondisi sangat sepi di sana. Juga gelap. Lampu teras dan ruang tamu masih belum juga dinyalakan. Mereka pun kini bertanya-tanya, sebenarnya ada apa di sana? “Dul, ayo lekas telepon bos Ilham,” ucap Karim menepuk pundak kawannya. Dul yang baru saja hendak memakai helm, mendadak menghentikan aktifitasnya. Menyangkutkan kembali helm hitam bulukan itu ke atas spion motor
BAGIAN 51POV AUTHORMAYAT, DARAH, DAN JERITAN “Pak, Bu, ini pasti salah paham,” ucap Karim buru-buru sambil berjalan cepat. Tanpa dipersilakan, pria dengan tinggi hanya 158 sentimeter dan berambut depan agak botak itu naik ke atas teras Pak Wardoyo. Ketua RT sekaligus pensiunan guru itu menatap si Karim dengan mata menyelidik. Apalagi Maisara. Janda 40 tahun tersebut segera jaga jarak karena masih ketakutan akan pikirannya sendiri tentang Dul dan Karim yang dia kira penjahat. “Siapa Anda?” tanya Bu Wardoyo yang berdiri di sebelah suaminya. Bahkan, mukena putih yang dia pakai belum sempat dicopot, saking terburu-buru sebab mendengarkan ketukan pintu oleh Maisara. “Saya Kar
BAGIAN 52POV AUTHOR“Siapa?!” terdengar suara jeritan dari dalam. Jeritan itu berasal dari seorang wanita. Namun, bagi Maisara yang sering mendengarkan suara Risti, tetangganya, suara itu beda sekali. Bukan seperti suara Risti yang dia kenal. “Siapa itu?” gumam Maisara heran. Bu Wardoyo yang sedang menggamit lengan Maisara pun sontak menoleh. “Bukan suara Risti?” tanya Bu Wardoyo penasaran. Maisara menggeleng. “Bukan! Sepertinya, itu yang punya mobil, deh,” ucap Maisara sambil menoleh ke arah mobil sedan hitam milik Tika. Ketika daun pintu terbuka, maka para lelaki pun
BAGIAN 53POV AUTHORINTEROGASIDi dalam ruang intergosi, sedang duduk berhadapan Ina dan seorang penyidik bernama Jaka. Sudah hampir dua jam mereka saling berhadap-hadapan, tetapi Ina masih saja bungkam ketika dipaksa untuk mengakui kesalahannya. “Jadi, masih tidak mau mengaku juga?!” Jaka Geram. Sejak sore hingga malam tiba pun, wanita di depannya tak juga mau membuka mulut. Bolak-balik dia keluar masuk ke ruangan berukuran 3 x 2,5 meter ini demi meredam jengkelnya. Namun, usaha Jaka tetap saja gagal. Polisi berusia 36 tahun itu masih belum bisa menaklukkan Ina. Ina tetap diam. Dia sudah berjanji untuk tak mau buka mulut. Sampai mati pun dia enggan mengakui jika opor buatannya sudah dibubuhi potassium sianida yang dia beli secara onli
BAGIAN 54POV ANWAR Pukul setengah dua pagi aku tiba bersama Andang, Dedi—sopir peternakan, dan pengacara kepercayaanku—Budiman. Mobil SUV silver metalik yang dikemudikan Dedi langsung berhenti di depan rumah sakit Bhayangkara, di mana jenazah Lia sedang diamankan. Empat jam perjalanan, sedikit pun mata tuaku tak bisa terpejam. Hatiku rasanya seperti diiris sembilu hari ini. Cobaan datang menerpa secara bertubi-tubi. Bisnisku kacau, istriku ketahuan memberikan racun ke dalam makananku, dan kini aku harus menghadapi kenyataan bahwa anak lelaki semata wayangku telah membunuh adik sambungnya sendiri. Belum lagi dengan misteri hilangnya Risti yang bagai ditelan oleh bumi. Menurut polisi setempat yang memeriksa Bayu, anakku belum juga mau memberikan keterangan. Sedangkan Tika yang katan
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa