Santo datang, dia membantu mendobrak pintu kamar Fatimah. Setelah terbuka, mereka membawa Fatimah ke rumah sakit. Santo dan Aminah panik, Rani segera menghubungi Angga. Mereka berharap tidak terjadi hal buruk pada Fatimah dan janinnya. Tidak berapa lama Angga datang. Dia tampak khawatir, jika terjadi sesuatu dengan janin Fatimah, maka Fatimah tidak bisa menjadi miliknya. "Bagaimana kabar Fatimah, Bu?" tanya Angga setelah sampai di rumah sakit. "Dia masih ditangani Dokter." Aminah tertunduk. "Kenapa bisa begitu?" tanya Angga. "Apa yang terjadi pada Fatimah?" tanya Angga. "Jaka datang, dia bilang meminta izin pada Fatimah untuk berselingkuh dengan Bosnya," jawab Rani. "Untuk apa pria tak berguna itu datang? Dia pasti sengaja karena tahu Fatimah mengharapkan dia kembali," ucap Angga kesal. "Entahlah, Fatimah sepertinya terlalu memikirkan Jaka," kata Aminah. Dokter keluar, dia memberikan keadaan Fatimah baik-baik saja. Hanya saja perlu banya
Hasan mengerutkan kening saat Rani mengenalkan dia pada pria di depannya. Hasan tidak menyangka kalau Rani rela jadi pelakor. "Ran, ayo kita pergi dari sini!" ajak pria itu yang bernama Bimo. Bimo adalah bos di kantor Hasan. Dia merupakan pria beristri, istrinya memang sakit-sakitan karena menderita sakit jantung. "Mas, kenapa kamu seperti ketakutan?" tanya Rani. "Hasan adalah salah satu karyawanku. Aku takut dia melaporkan hubungan kita. Tapi kamu tenang saja, aku akan buat dia bungkam," kata Bimo. "Benarkah? Pantas Mas Hasan seperti mengenal, Mas Bimo. Mas Bimo kerja jadi apa di sana?" tanya Rani. "Aku yang punya perusahaan itu, Rani. Jadi aku yang berkuasa, jika Hasan berani buka mulut dia bisa kehilangan pekerjaannya," jawab Bimo. Rani tersenyum senang, dia mendapatkan pria yang statusnya diatas Hasan. Meskipun Bimo lebih tua, tetapi dia punya Segalanya maka dari itu Rani rela menjadi simpanan Bimo. Rani berharap, Bimo akan
Rani cepat-cepat mengemasi barangnya. Dia juga menelfon Bimo, namun Bimo tidak bisa menjemput. Dia akan menyuruh orang untuk menjemput Rani dan mengantarkannya ke rumah kontrakan sementara. "Ibu jahat, karena Fatimah Ibu tega mengusir Rani. Aku doakan mantu kesayangan Ibu itu bangkrut dan nggak bisa membahagiakan Ibu. Atau kalau perlu dia kabur dan nggak jadi nikahi Fatimah." Rani terus mengomel. "Kamu yang jahat! Bisa-bisanya anggap Ibu kayak pembantu," teriak Aminah. "Kamu yang akan menyesal, Rani," bentak Aminah. Mobil yang menjemput Rani tidak kunjung datang. Dia sudah tidak sabar ingin keluar dari rumah ini. "Kalian apa-apaan sih? Kenapa bertengkar? Ibu jangan usir Rani, nanti dia mau tinggal dimana?" tanya Santo. "Terserah mau tidur di kolong jembatan juga nggak apa," bentak Aminah masih emosi. Fatimah keluar dari kamar, "Tuh biang keladinya," teriak Rani sambil menunjuk Fatimah. "Karena belain dia Ibu tega mengusir aku." Rani mendekati Fatim
Angga tidak menyangka Mamanya akan datang ke rumah Fatimah malam-malam. Angga takut, Verawati akan membuat masalah di rumah Fatimah. "Angga, pulang!" perintah Verawati. "Kamu pria terhormat, juga seorang bos. Tidak baik jika terus-terusan mengunjungi wanita yang bukan istrimu," ucap Verawati. "Tapi Fatimah mengandung anak Angga," sahut Aminah. "Kalian yakin itu anak Angga? Bisa jadi itu anak suaminya," bantah Verawati. "Tidak, Ma. Suami Fatimah mandul, dia tidak mungkin menghamili Fatimah. Ini anakku," ucap Angga. "Pulang sekarang! Atau Mama akan membuat keributan di sini," ancam Verawati. Angga terpaksa pulang, dia tidak ingin terjadi keributan di rumah Fatimah. Dalam perjalanan, Verawati tidak pernah diam. Dia memarahi Angga. "Kamu membuat Mama malu, seorang Angga menghamili istri orang," ucap Verawati. "Kamu sudah lupakan Shaka dan terus memperhatikan wanita itu," kata Verawati. Angga hanya diam saja, dia tidak mau menanggapi u
Mereka membawa Fatimah ke rumah sakit. Aminah tidak lupa untuk menelfon Angga. Angga harus tahu apa yang telah dilakukan sang Mama ada Fatimah. "Kenapa bisa begini?" tanya Angga panik. "Iya, semua gara-gara Mama kamu. Dia yang menyebabkan Fatimah begini. Angga langsung emosi, dia tidak terima. Beruntung kandungan Fatimah baik-baik saja meskipun ada pendaraahan. Hanya saja Fatimah perlu banyak istirahat. Fatimah sudah di perbolehkan pulang. Setelah mengantar Fatimah, Angga menemui sang Mama. "Aku tidak menyangka Mama kejam. Tega sekali Mama menyakiti Fatimah," ucap Angga. "Itu akibatnya kalau dia masih dekat denganmu. Apa lagi berani mengaku jadi kekasih kamu di depan relasi," bantah Verawati. "Aku kecewa dengan Mama. Mulai sekarang aku tidak mau berhubungan dengan Mama lagi," ucap Angga marah lalu membanting pintu dengan kasar. Verawati memang selalu mengurus apapun yang dilakukan Angga. Berbeda dengan Papany yang terkesan diam saja.**
Ella kembali dengan Rani dan seorang pria di belakangnya. Santo langsung menyambut mereka. Tidak dengan Aminah yang tampak cuek saja. "Pak, ini Mas Bimo. Dia calon suami aku," kata Rani memperkenalkan Bimo pada Santo. "Wah waktunya tepat, ayo kita sarapan!" ajak Santo. "Ella siapkan dua piring lagi!" perintah Santo. Mereka duduk di meja makan, Ella sudah menyiapkan alat makan. Selama makan mereka tidak banyak berbicara. Selesai makan, mereka mengobrol di ruang tengah. "Pak, saya ingin menikahi Rani. Mungkin sebelumnya Rani sudah bilang kalau saya punya istri, tapi saya janji akan membahagiakan Rani," ucap Bimo kikuk. "Semua saya serahkan Rani, kalau mau menikah dengan Nak Bimo. Ya silahkan! Bapak merestui!" ucap Santo. Aminah masih diam saja, dia bahkan tidak melihat Rani yang ada di depannya. "Namun, kami punya syarat Nak Bimo. Kalau mau Rani jadi istri Nak Bimo tolong berikan Mas kawin dia sebuah rumah. Rani tidak punya tempat tinggal," kata San
Fatimah mendekati mereka, dia tidak menyayangi Santo senekat itu. Fatimah yakin, Ella terpaksa melakukannya. "Mbak, jangan pecat saya! Saya nggak salah!" ucap Ella berlutut di depan Fatimah. "Aku mohon, Mbak. Maafkan saya," kata Ella menangis. "Bapak kenapa melakukan ini? Kalau Ibu tahu bagaimana? Bapak bisa-bisa disunat hingga habis," bentak Fatimah. "Aku tahu Bapak yang salah. Berapa kali Bapak melakukannya?" tanya Fatimah. "Baru dua kali ini," jawab Santo tertunduk. "Kapan yang pertama?" tanya Fatimah. "Semalam, Mbak. Semalam Bapak masuk ke kamar saya. Padahal sudah saya kunci," jawab Ella. "Berdiri, Mbak." Fatimah menuntun Ella berdiri. "Hai ada apa ini?" tanya Aminah yang sudah pulang. "Nggak, Bu. Ini tadi Ella bikin kesalahan sedikit. Dia udah meminta maaf sama saya," jawab Fatimah. Dia menyembunyikan semua dari Aminah, sebenarnya bukan Santo yang dia lindungi melainkan Ella. Fatimah faham, Ella pasti akan diamuk Am
Beruntung Fatimah datang, dan mencairkan suasana yang semula tegang menjadi santai. "Ibu, ngapain Bapak suka Mbak Ella. Bapak kan sayang sama Ibu," ucap Fatimah. "Mbak Ella, itu supir yang jemput udah datang," kata Fatimah. Fatimah dan Ella keluar rumah, di sana sudah ada pembantu baru. Dia sudah berumur, bahkan di atas usia Aminah. "Mbak, Pak, Bu, saya pamit. Saya mohon maaf bila banyak salah," ucap Ella yang pada akhirnya pergi dari rumah Fatimah. Kini Ella digantikan dengan Mbok Inah. Dia yang akan membantu pekerjaan di rumah Fatimah. Fatimah menjelaskan tugas Mbok Inah.** Setelah kepergian Ella, Fatimah masuk ke dalam kamar. Dia merasa capek padahal tidak melakukan pekerjaan apapun. Angga menelfon menanyakan pembantu baru Fatimah. Fatimah senang Angga perhatian dengan dia. Meskipun dia belum sah menjadi istrinya. Fatimah tiduran sambil memainkan proselnya. Tiba-tiba Aminah datang, dia melihat sudah dari pengadilan yang ditaruh Fatimah di at
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa