Sampai di rumah Fatimah tidak berani menceritakan kejadian tadi pada Aminah. Dia tidak mau jika Aminah malah menemui Verawati. "Sudah pulang? Tadi Jaka pulang ke rumah, dia tahu kamu tidak ada tetapi hanya diam saja," kata Aminah. "Biarkan saja, Bu. Aku mau mandi," ucap Fatimah. "Bagaimana? Kamu sudah melakukannya dengan Angga? Kok pulang-pulang mandi?" tanya Aminah setengah menggoda Fatimah. "Aku gerah, Bu. Angga gak bisa antar tadi," jawab Fatimah. "Sudah aku mau mandi," kata Fatimah lalu masuk ke kamarnya. Aminah tampak tahu jika Fatimah dan Angga telah melakukannya. Aminah senang, dia akan punya cucu.** Jaka pulang, dia membawa pekerjaannya ke rumah. Aminah menuruhnya untuk ke dapur namun Jaka menolak. "Aku tidak mau, Bu. Kalau Ibu dan Fatimah keberatan aku akan cari pembantu," tolak Jaka. "Mas, kenapa harus cari pembantu? Kita kan bisa mengerjakannya," bantah Fatimah. "Sekarang Mas masak buat makan malam, lalu nyetrika," ucap Fatimah
Yunita menatap Jaka dan Rudi bergantian. Sepertinya dia heran karena Rudi terdiam setelah dia datang. "Apa yang kalian bicarakan? Kenapa kalian datang setelah aku datang?" tanya Yunita. "Tidak, Bu. Hanya gurauan saja," jawab Jaka. "Oh ya Pak Jaka, laporannya sudah selesai? Saya mau lihat hari ini," kata Yunita. "Baru mau saya print, Bu. Nanti saya antar ke ruangan Ibu," ucap Jaka. "Baiklah, saya tunggu," kata Yunita lalu keluar dari ruangan Jaka. Rudi merasa lega, Yunita tidak dengar. Rudi kembali ke mejanya, pekerjaannya menanti. Jaka hanya tersenyum, melihat tingkah sahabatnya itu.** Rani asyik mengobrol dengan Fatimah dan Aminah. Mereka sedang membahas tas model baru. Entah sejak kapan, Fatimah suka mengobrol. Biasanya wanita itu suka sekali sibuk di kamar atau dapur. "Fatimah, kamu gugat saja Jaka, lalu nikah sama Angga," kata Rani. "Nggak bisa, Mbak. Mas Jaka yang harus ceraikan aku," kata Fatimah. "Lagian Ibu Mas Angga nggak suka
Dengan berat hati Jaka meninggalkan kamar dan duduk di ruang tamu. Tidak berapa lama, Angga dan Fatimah muncul. "Duduklah!" perintah Jaka. "Kita bicarakan dan selesaikan semua sekarang," ucap Jaka. Mereka duduk berdampingan, seperti dua orang yang akan di sidang. Mereka tertunduk, namun masih diam. "Sejak kapan kalian melakukannya?" tanya Jaka. "Sudah beberapa minggu ini," jawab Angga. "Angga, apa kamu mencintai Fatimah?" tanya Jaka. Ada rasa sakit saat menanyakan hal itu pada Angga. "Ya, aku sangat mencintai dia. Jaka dia ingin punya anak, jadi tolong jangan kekang dia," jawab Angga. "Kekang? Aku tidak mengekangnya." Jaka menjawab sinis. "Fatimah, apa kamu mencintai Angga?" tanya Jaka pandangannya tertuju pada Fatimah. Dia hanya diam, tidak ada jawaban dari mulutnya. Jaka masih sabar menunggu jawaban. "Kenapa diam? Apa kalian melakukannya karena sama-sama suka? Atau karena hanya ingin punya anak?" tanya Jaka lagi. "Mas, tolong jan
Jaka mendekati Yanti, namun wanita itu sudah emosi. Dia ingin tahu jawaban Fatimah. Namun, fatimah hanya diam saja. Yanti menarik Fatimah ke ruang tamu. Dia menjatuhkan Fatimah di sofa dimana Aminah san Rani berada. "Apa selama ini kalian menyuruh Jaka memasak?" tanya Yanti pada Rani dan juga Aminah bergantian. "Iya, Memangnya kenapa? Anakmu di sini hanya sebagai babu, bukan menantu. Sebab apa? Anak kamu mandul," jawab Rani. "Mbak," cegah Fatimah namun semua sudah keluar dari mulut Rani. "Fatimah, sekarang kita sudah ketahuan oleh Ibunya. Jadi untuk apa kita berbohong? Kita lebih baik jujur pada mereka, biar mereka sadar diri," kata Rani. "Kalian tega," ucap Yanti. "Apa benar Jaka, kalau kamu mandul?" tanya Yanti. "Benar, Bu." Jaka sengaja jujur karena semua sudah ketahuan. "Meskipun dia mandul, tapi tidak sepantasnya kalian perlakuan dia seperti itu," bantah Yanti. "Bu, kita ajak Kak Jaka ke rumah saja," kata Rosi. "Kasihan dia k
Hasan menyeret Rani, dia sangat marah pada Rani. Hasan geram dengan Rani yang nggak mau urus anak dan rumah. "Rani kita cerai saja!" teriak Hasan. "Oke kamu kira aku takut, tapi kamu bawa Ahmad. Aku tidak mau dia ikut aku," bentak Rani. Santo dan Aminah hanya menggeleng, dua anak perempuannya akan menjadi janda secara bersamaan. "Hasan tolong dibicarakan baik-baik dulu," bujuk Santo. "Tidak, Pak. Saya sudah bulat menceraikan Rani. Dia wanita nggak becus ngurus suami sama anak," jawab Hasan. Hasan pulang ke rumah, dia memasukkan semua baju milik Rani dan mengantarnya ke rumah Aminah. "Nih baju kamu, kalau ada yang ketinggalan ambil sendiri," ucap Hasan lalu pergi. Sementara Ahmad tinggal di rumah Sugito. Di sana ada adik dan Ibu Hasan yang siap merawat Ahmad. Mereka sebelumnya sudah sepekat jika Hasan menceraikan Rani termasuk Ahmad. Anak itu sudah enggan bertemu Ibunya. Rani bukan bersedih, malah dia senang. Dia berencana menggaet pria
Setelah berpikir matang-matang, Jaka memutuskan untuk menceraikan Fatimah. Itu di sambut baik Oleh keluarga Fatimah. Hal yang mereka harapkan akan terkabulkan. "Jaka, kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Yanti yang masih berharap Jaka dan Fatimah bersatu. "Memang itu jalan terbaik, Bu. Biarkan mereka bercerai, aku tidak rela jika anakku dihina seperti itu," ucap Lukman. "Iya, aku setuju. Lagi pula Fatimah sudah tidak menghargai kamu, Kak," sahut Rosi. Yanti mengalah, dia pasrah karena tidak ada yang mendukungnya. Yanti berharap Jaka tidak akan menyesal. Malam itu, Jaka ke rumah Fatimah. Dia akan meminta surat nikah untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. "Mas, kamu yakin?" tanya Fatimah. "Sudah sebulan lebih aku kamu hianati, jadi aku sudah putuskan untuk menggugat cerai kamu. Bukankah itu maumu? Agar kamu bebas bersama Angga?" tanya Jaka. "Fatimah, biarkan saja. Kita tidak butuh dia lagi. Biarkan saja dia menggugat kamu. Berikan
Jaka ke rumah Fatimah, dia ingin memastikan apa yang dikatakan Fatimah tadi benar atau tidak. Sampai di sana, Aminah malah melarang Jaka bertemu Fatimah. "Anak itu bukan anak kamu, jadi kamu nggak ada hak untuk menyentuh," ucap Aminah. "Bu, biar bagaimanapun aku masih istri Mas Jaka. Biar dia tahu kebenarannya," kata Fatimah. Fatimah menunjukkan tespack yang ada garis duanya. Fatimah benar-benar hamil. "Mas, aku sudah hamil. Bagaimana kalau kita rujuk? Anggap anak ini adalah anakmu," ucap Fatimah. "Semudah itu kamu mengatakan itu? Kalau pun anak itu lahir belum tentu kamu dan Angga tidak berhubungan lagi." Jaka masih belum bisa menerima. Meskipun perceraian di tunda, Jaka enggan rujuk dengan Fatimah. Namun, Fatimah terus membujuk Jaka. Bahkan Fatimah meminta pada Yanti untuk membujuk Jaka menerima anak yang dikandung Fatimah. "Jaka, kamu jangan egois. Fatimah memang hamil bukan anak kamu. Apa tidak sebaiknya kalian rujuk saja," kaya Yanti malam
Angga membawa Fatimah ke rumah sakit. Dokter bilang, Fatimah hanya sedikit stres. Dokter memyarankan agar Fatimah tidak terlalu stres karena bisa membahayakan kandungannya. "Fatimah, kamu dengar kan, apa kata Dokter tadi. Kamu tidak boleh stres. Kamu jangan memikirkan apa kata orang, yang terpenting adalah kesehatan kamu dan bayi yang ada dalam perutmu," kata Angga. Akhir-akhir ini, Fatimah terganggu dengan gunjingan tetangga. Bahkan mereka terang-terangan berbicara di depan Fatimah. Selain itu, dia juga merindukan Jaka. Namun, Jaka sudah tidak peduli lagi dengannya. Setelah menebus obat, Fatimah pulang bersama Angga. Sampai di rumah, dia istirahat. "Bu, Pak, Jaga Fatimah! Jangan biarkan dia stres. Tadi dia sempat pingsan karena bertengkar dengan adiknya Jaka. Aku membawanya ke rumah sakit, kata Dokter dia Stres. Wanita hamil tidak boleh stres nanti berakibat fatal pada janinnya," tutur Angga. Santo dan Aminah mengangguk, "Kamu tenang saja, dia akan kam
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa