Kejadian malam itu adalah ingatan 27 tahun yang lalu.
Tiga pria kekar mencekal pergelangan tangan Adhira, membuatnya tertahan dalam posisi telentang di atas brangkar besi tak beralas. Dia memberontak dengan segenap kekuatan yang tersisa, tapi percuma. Mereka bisa kapan saja menyuntikkan cairan pelumpuh itu ke tubuhnya. Semakin kuat Adhira melawan, semakin kencang pula cengkeraman yang terpaut padanya.
“Cepat, ambil jarumnya!”
Seseorang paling kerdil di antara mereka meraih jarum berkaliber besar, lalu dengan cepat menancapkan ujung yang runcing tadi menembus otot pahanya.
“Argghhh!” Adhira meraung tertahan.
Kedua matanya terpejam saat cairan bening yang ada di dalam tabung silindris itu beredar dalam tubuhnya yang ringkih. Anggota geraknya berhenti meronta seolah seluruh kekuatannya telah terenggut dari dirinya. Namun dia pingsan bukan akibat suntikan itu, melainkan karena telah dikuasai oleh rasa takut akan ujung si jarum runcing itu.
“Bawa dia kembali ke selnya!” ujar seorang laki-laki muda dengan pakaian serba putih itu.
Dua orang pria kekar pun dikerahkan untuk berjaga-jaga bila Adhira melakukan serangan. Walau optimis Adhira sudah benar-benar tak bisa berkutik lagi. Seluruh ototnya tak sanggup berkontraksi memberikan perlawanan. Dia diseret dengan kedua tangan tergantung pada pundak dua pria kekar tersebut.
“Dia kenapa lagi?” tanya seorang petugas penjaga gemuk di pintu sel.
“Dia menggila waktu dipaksa oleh kepala geng. Terpaksa disuntik penenang,” jawab si pria kekar di samping kanan Adhira.
“Pembuat onar ini? Cih! Siapa yang mau memakainya?” Penjaga tadi menggeser selot pintu dan membiarkan ketiganya melintas masuk.
Mereka berhenti ketika sampai di depan sebuah pintu besi. Hanya ada celah kecil yang bisa digunakan sebagai lubang udara. Mereka membuka pintunya dan tubuh Adhira dilempar ke dalam seperti karung pakan. Dia tak lagi memekik karena memar yang tercipta sudah terlampau banyak. Bahkan gerakan kecil hanya akan membuat rasa nyeri semakin menjadi-jadi.
“Membusuklah di sini! Dasar jalang!”
Umpatan semacam itu sudah akrab di telinganya. Lagi pula dia tahu sebutan tersebut secara superfisial membuat hidupnya lebih berwarna. Biasanya mereka akan menghabisinya hingga babak belur bila dia menolak menjadi pelampiasan para napi penguasa penjara ini. Adhira tahu selagi dia bisa menghindar dari sasaran para tahanan kelas kakap itu, dia akan baik-baik saja.
Namun kesialan kerap menghampirinya. Ketika para sipir sudah tak lagi mengawasi mereka, para tertindas seperti dirinya akan jadi bulan-bulanan mereka. Dan semua derita ini begitu mudah berada dalam pengabaian.
“Haus….” Suara parau Adhira terngiang di antara batuk darah.
“Kau haus sekali, ya?”
Sang pria yang tadinya hendak menutup pintu besi tadi segera mencengkeram rambut Adhira yang semrawut. Dengan cepat dia mengempas kepala Adhira ke lubang pembuangan yang ada di sudut ruangan, mencelup seluruh wajahnya ke permukaan cokelat genangan air di lubang tersebut.
Adhira harus menahan napasnya sepanjang prosesi tadi. Dia tak tahu sudah berapa banyak air yang lolos ke saluran napasnya. Usahanya untuk batuk tak membuahkan hasil. Kotoran tadi masih melekat di rongga hidungnya.
“Bagaimana? Masih haus?”
Adhira tak sempat menjawab pertanyaan tadi. Wajah dan mulutnya kini dipenuhi kotoran berbau busuk—jika saraf penghidunya masih berfungsi. Hidungnya yang mancung sering jadi sasaran pukulan bagi para penghuni rumah tahanan ini.
Namun siksaan fisik yang bertubi-tubi menerpanya ini tak membuatnya menyerah. Dia kebal akan perlakuan demikian, bahkan cenderung menikmatinya.
Kepalanya masih dalam cengkeraman laki-laki kekar itu ketika untuk ketiga kalinya dia merendam wajahnya dalam kotoran tersebut. Cengiran lebar terlukis dari wajah lusuh itu. Geligi putih yang sudah dilumuri lendir dan kotoran tersembul dari rekahan bibirnya.
“Dasar sinting!”
Sekali lagi tubuh Adhira dilempar ke sudut lantai tak berkeramik. Tawanya lepas seketika.
Iya, kewarasannya memang sudah hilang. Menyaksikan kegilaan yang tak berujung tadi, kedua laki-laki tadi meninggalkannya teronggok di dalam sel, berhenti menggubris lenguhannya.
Adhira meringkuk, gemetar menahan sakit. Masa suram ini hanyalah sebuah kepingan kecil kehidupan mengerikan yang telah dihadapinya selama sebelas tahun ini. Cahaya redup yang dipancarkan lampu ruangan tak cukup membuatnya lebih cerah. Jika keterpurukan ini bisa digantikan dengan rasa bersalah, mungkin Adhira tak akan repot-repot melakukan semua ini.
Tubuhnya sangat kotor sekarang. Terkutuk dan tak bermartabat. Hanya kegilaan yang bisa membuatnya tetap hidup. Dia menghirup udara sambil terbatuk. Gumpalan darah kembali tersembur dari rongga mulutnya. Dia tak berhenti batuk akhir-akhir ini. Napasnya kian berat dan Adhira berharap sesuatu bisa diembuskan ke paru-parunya agar dia tak perlu menarik napas dengan susah payah lagi.
“Ssst... Sisi!” desis seseorang dari balik jendela. Rambutnya tergerai menutupi sebagian wajahnya.
“Aku?” tanya Adhira masih belum dapat melihat dengan jelas.
Laki-laki itu mengangguk. “Memangnya siapa lagi? Bos menyuruhmu ke ruang periksa.”
Adhira yang ringkih tak bisa mengangkat tubuhnya lebih jauh dari ambang pintu. Pria tadi pun membuka pintu yang tergembok dari luar. Dia memanggilnya Sisi dan Adhira mau tak mau harus menerimanya. Dia tak suka dipanggil seperti itu, tapi panggilan apa pun saat ini sudah tidak penting. Tidak ada lagi yang memanggil namanya sekarang. Dia juga mungkin akan lupa dengan namanya sendiri.
“Kau dipukul lagi sama dua troll itu?”
Adhira hanya tersenyum sebagai balasan. Tetesan darah kental masih sesekali mengalir dari sudut bibirnya. Pria tadi memberikan sapu tangan kepada Adhira. Noda kecokelatan di sarung tangan yang tadinya berwarna putih itu makin bertambah suram.
“Sepertinya mereka selalu marah kalau berada di dekatmu,” katanya.
“Mereka selalu marah di dekat siapa pun,” desah Adhira sambil mengelus sudut bibirnya yang memar. “Mereka diciptakan untuk memperkeruh masalah, Nahif.”
Nahif tak mengangguk atau menggeleng. Dia selalu berpikir bahwa Adhira tidak pernah patuh dengan mereka sehingga kedua troll itu semakin menindasnya.
Lorong panjang yang gelap dilalui orang itu dengan langkah tergopoh. Mereka baru sampai di ujung pintu kedua setelah beberapa menit berjalan.
“Bos yang memintaku membawanya ke ruang periksa,” ucapnya pada seorang sipir penjaga.
Si penjaga dengan wajah garang tadi menarik kerah baju Adhira yang sudah lusuh sambil mendengus jijik. Dia mendorong tubuh Adhira ke balik jeruji besi sambil menghela napasnya. “Waktunya sampai jam lima sore. Lewat dari itu, tidur di luar.”
“Hei, aku keluar karena permintaan bosmu,” bantah Adhira. Dia mengelap bibirnya yang masih juga bercucuran darah.
“Aku bilang waktumu sampai jam lima sore.” Si penjaga itu mengulang lagi kalimat tadi. Dia masih mencengkeram kerah baju Adhira yang berkerut separuh mencekik lehernya. Guratan kemerahan terbentuk di leher Adhira. Adhira menepuk tangan sang sipir sebagai bentuk ketidakberdayaan. “Atau kau mau membusuk di antara jariku.”
Kecaman tadi seolah tak menyulutkan kemarahan Adhira. Dia tergelak getir. Perasaan mengasihani dirinya sudah padam sejak beberapa tahun yang lalu.
“Ehm, bos sedang menunggu, Troll,” kecam Nahif lagi.
“Kau….” Geram karena dipanggil dengan sebutan tadi membuat penjaga itu hampir saja memukul wajah Nahif.
Nahif melipat tangannya sambil menaikkan alisnya sebagai ekspresi ancaman. Lagian si penjaga tak akan terlalu banyak menuntut kalau sudah bos mereka yang perintah.
Adhira diseret lagi memasuki ruangan yang lebih terang. Ada kaca besar yang dari perkiraannya hanyalah sebuah jendela satu arah. Adhira memandang berkeliling. Pelupuk matanya yang bengkak membatasi jangkauan pandangnya. Dia mencoba menerka tempat ini.
Tempat terjauh yang pernah dijangkaunya hanyalah di gedung sebelah, sekitar setahun yang lalu, saat akan dilakukan renovasi. Mereka bersama tahanan lain membantu sebagian besar tugas para tukang itu.
Dia didudukan di atas kursi besi dengan setiap kaki yang juga terikat di kaki kursi. Kedua tangannya diborgol.
“Adhira Limawan?”
Suara seorang laki-laki paruh baya masuk melalui pintu yang berbeda. Dia membawa selembar pita hitam yang kemudian digunakan untuk menutupi kedua mata Adhira.
Adhira mencoba mengingat lebih detil wajah laki-laki itu sampai akhirnya kegelapan menyertainya. Dia tak lagi bisa melihat siapa saja orang yang masuk ke dalam dan duduk di hadapannya. Dari suara yang terdengar, mereka tengah berbincang tentang keputusan membawa dia keluar dari rumah tahanan ini.
“Kalian tak bisa membawanya,” ujar salah satu dari mereka dengan suara yang dalam.
“Kita tak harus membawanya sendiri. Mereka yang akan kemari,” jawab salah satu dari mereka lagi.
“Mereka tak bisa dipercaya,” tukas yang lain.
“Sudah ada perintah khusus,” tangkis yang lain.
Adhira bisa mendengar akhirnya orang itu hanya bisa mengalah. Salah satu duduk di hadapannya sambil berdeham kecil. Napas yang berbau rokok terendus ke hidung Adhira. Bahkan Adhira bisa menebak langkahnya yang pendek, serta suara gesekan jam tangan di tangannya. Pria yang duduk di depannya tak lain adalah seorang berbadan bongsor dengan tubuh pendek, dan berkumis. Dia bisa mendengar suara gesekan lidahnya di sekitar bibirnya saat dia menyerumput minuman di atas meja.
“Baiklah, aku tidak akan berlama-lama meladenimu, Adhira,” ujarnya setelah selesai meneguk hampir separuh kopi di dalam cangkir tersebut. “Seseorang memintaku untuk membawamu ke pusat rehabilitasi.”
Adhira hanya mengangguk. Dia sadar semestinya mereka tidak perlu meminta izin padanya. Dia hanya tahanan yang tak berhak mengelak.
“Kau jangan senang dulu. Jika hasil pemeriksaanmu tidak bermasalah, kau akan dikembalikan ke sini.”
Adhira terkekeh dalam hati. Dia harap mereka tidak bisa melihat bagaimana kini dia tengah menertawakan nasibnya yang akan berubah dalam waktu dekat. Pergi dari tempat ini adalah impiannya sejak dulu.
“Siapa yang mengajukan perintah itu?” tanya Adhira.
“Kau tak perlu tahu,” jawabnya lagi.
Ketiga orang tadi beringsut dari ruang periksa, meninggalkan Adhira yang kini sendiri dengan tangan yang terborgol dan mata tertutup. Beberapa menit Adhira hanya mendengar dalam senyap.
“Oi, kalian mau mengurungku berapa lama? Kakiku gatal!”
Adhira mencoba menggeliat di kursi yang keras itu. Tidak ada suara yang dia dengar selain pekikannya sendiri.
“Oi! Nahif! Tuan penjaga! Bapak-bapak! Tuan berkumis!” panggilnya berulang-ulang. “Bisakah kalian menggaruk kakiku?”
Pintu besi yang dilewatinya tadi mengayun terbuka. Adhira lega ada yang masuk ke dalam.
“Hehe, bisa bantu aku lepaskan borgolnya? Kakiku sangat gatal!”
Adhira memelas pelan. Dia bisa merasakan seseorang tengah mengelus wajahnya dengan kain basah. Rasa perih perlahan menggerogoti wajahnya. “Auch, aku minta kalian menggaruk betisku. Bukan mukaku.”
“Diam,” gertak suara tadi. Itu suara perempuan.
Adhira kembali berspekulasi, perempuan dengan rambut ikal yang tergerai hingga ke punggung serta kulit berwarna lebih gelap yang tengah menatapnya secara saksama. Adhira bisa merasakan bubuk talkum yang menempel di wajah perempuan tadi hinggap ke rongga hidungnya, berhasil memicu bersin. Desir halus napas menggaung melewati liang telinganya. Adhira diam mengimajinasikan bentuk wajah perempuan tadi.
Semua luput ketika perempuan itu berkata, “Menjijikan! Benar-benar menjijikan!”
Dia meludah ke tubuh Adhira. Cukup sering dia dicecar dengan ujaran penghinaan tersebut. Adhira tersenyum dari balik penutup matanya.
“Kalau begitu, jangan dekat-dekat!” maki Adhira balik. “Mengotori saja! Minggir!”
Adhira bisa membayangkan ekspresi wajahnya ketika satu hantaman kembali mendarat di tulang pipinya. Dia tertawa lebih keras. Bahkan darah segar yang ada di hidungnya kembali terisap masuk, membuat tenggorokannya gatal.
Perempuan tadi mengeram murka. Dia menyingkir dari Adhira dan berjalan menjauh. Adhira mendengar ada bisik-bisik halus antara perempuan tadi dengan orang di luar sana. Mereka seperti tengah memperdebatkan sesuatu. Hingga akhirnya dua orang laki-laki masuk dan melepaskan seluruh ikatan di tubuh Adhira. Membiarkannya bebas dari jeratan rantai dan borgol di pergelangan tangan dan kakinya.
Seusai melahap habis nasi kuning berkuah gulai yang diberikan sipir perempuan tadi, Adhira diminta untuk memasuki sebuah ruang lain di lapas itu, tempat lain yang juga belum pernah dijamahnya. Bau klorin bercampur desinfektan mengelilingi dirinya. Ia diminta untuk mandi sebelum memasuki ruang perawatan yang berada dalam satu kawasan. Baru kali ini sejak bertahun-tahun lamanya Adhira tidak mandi dengan air hangat dan busa yang menyejukkan. Luka segar yang terpahat di sekujur tubuhnya sudah tak dia gubris lagi. Dia membiarkan air membasuh segala jenis perih dan sakit yang senantiasa menyengat dirinya. Tak pernah dia merasakan kedamaian hakiki yang berlimpah ruah seperti ini. Bahkan orang-orang ini juga menyediakan pakaian baru yang lebih wangi, menggantikan kaos oblong tipis yang berbau anyir itu. Kedua matanya kembali ditutup setelah keluar dari tempat tersebut. Dua orang menggiringnya memasuki ruang perawatan. Seluruh luka dioles semacam salep dengan aroma yang menye
Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.Lim
Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu. Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya. Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang t
Matahari sudah setengah tenggelam di ufuk barat ketika Odin selesai menggores jawaban terakhir di buku matematikanya. Berkat petuah singkat dari tahanan yang baru kabur itu, tugas penting Odin rampung dalam waktu singkat. Sebagai balasan, Odin mengajaknya makan malam bersama di rumah reyotnya di bantaran kali. Langkah mereka berhenti di persimpangan jalan yang dikelilingi penjaja makanan. Di balik deretan pertokoan ini merupakan lahan perkumuhan yang lebih padat lagi. Rumah Odin berdiri di ujung gang sempit pinggir sungai. Bangunan berdinding kayu dengan atap seng berkarat itu merupakan tempat anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya Tepat ketika Adhira hendak berpisah dengan bocah tadi, keributan kecil menyeruak di antara keramaian. Tiga petugas berseragam hijau lumut berdiri berdiskusi alot dengan beberapa masyarakat setempat. “Kami sudah menetap di sini selama lebih dari setengah abad, kalian tidak bisa sembarangan menggusur kami seenaknya saja!” bent
“Siapa namamu sebenarnya?” Pertanyaan tadi membuat Adhira mematung selama beberapa detik. “Apa maksud Ibu? Namaku Gauhar.” “Kamu bisa membohongi Odin, tapi aku tahu nama yang kamu caplok itu dari buku matematikanya kan?” Bibir Adhira terbungkam. Kepalanya merunduk saat Salimah menangkap basah ekspresi kagetnya. “Ternyata benar begitu.” “Aku….” Salimah melangkah ke tepian jendela untuk mengelap tetesan hujan yang masih merintik di luar sana. “Aku tidak tahu apa motifmu berteman dengan Odin.” “Motif? Saya tidak mengerti apa yang ibu bicarakan?” “Kamu tahanan yang kabur dari Pusat Rehabilitasi itu, kan? Kamu juga pasti mengincar kami karena tindakan manusia biadab bernama Mivar itu.” Adhira mengerutkan dahinya heran. “Maaf, saya bukan mau membohongi Ibu. Saya hanya….” Adhira terbatuk keras. Darah yang berkumpul di kerongkongannya sudah berhenti keluar, tapi udara dingin ini menggelitik saluran napasnya.
Juli 2003 Matahari yang menggantung di antara kerumunan awan bersinar lebih terik dari biasanya. Dua kakak beradik berjalan menyusuri deretan toko menuju ke gerbang sekolah yang ada di antara keramaian kota itu. SMA Equator sebetulnya bukan sekolah favorit seperti yang sering dibangga-banggakan orang. Sekolah itu menjadi bergengsi hanya karena murid-murid di dalamnya berasal dari strata teratas para elit di kota itu, membiaskan tempat super keren yang tak lebih dari tempat mengenyam ilmu seperti SMA lainnya. Jika bukan karena permintaan paman serta bantuan dari keluarga Sadana, mereka tidak akan bisa menyentuh tempat tersebut. “Kiara!” seru Adhira pada gadis berusia 13 tahun itu. “Tunggu!” Perempuan yang berkucir kuda itu melesat ke arah Adhira tanpa menghentikan langkahnya. Dia mengitari Adhira yang ngos-ngosan seperti burung pipit. “Berhentilah berlari, Kiara!” desau Adhira di ujung napasnya. Kiara dengan riang melompa
Adhira mengempaskan tubuhnya di kursi kelas sembari memijat kedua kakinya yang keram. Setelah berlari sejauh tiga kilometer dari rumah, ditambah dengan hukuman berdiri di bawah tiang bendera, otot betisnya menolak untuk bergerak. “Semua gara-gara anak pato itu!” umpatnya. Kuswan yang ternyata berada dalam satu kelas dengan Adhira mengambil tempat di sampingnya. “Adhi, kamu benar-benar zonk banget sampai bisa bertemu anak Sadana itu,” ucap Kuswan. “Pakai acara telat segala lagi. Sudah tahu Equator tu masuknya tiga puluh menit lebih awal dari sekolah lain.” “Ya, mana kutahu. Kan biasanya juga bisa langsung ikut upacara. Terus, kok di sini upacara harus pakai atribut-atribut begituan sih?” Kuswan hanya bisa menertawakan Adhira yang biasanya sangat sembrono soal aturan-aturan kaku tersebut. Adhira baru sadar kalau ternyata ada lebih banyak lagi lempengan papan yang bertuliskan aturan yang harus dipatuhinya. S
Langkah Ervan terhenti. Kernyitan bergelombang terbentuk di rekahan pelupuk matanya. Wajah dengan kulit putih seperti tak pernah kena sinar matahari itu akhirnya berbalik, menghunuskan tatapannya ke arah tersangka yang telah menyebutkan kata terlarang tadi. Namun sikap demikian justru ditanggapi Adhira dengan cengiran lebar. Dia berhasil membuat Ervan merespons panggilannya. Belum puas dengan pengusikan tadi, Adhira menghampiri Ervan dan merebut buku tebal yang dipeganginya sejak awal masuk kelas. Ervan sontak mencengkeram pergelangan tangan Adhira. Dengan lincah, Adhira memutar tubuhnya. Membuat Ervan tak bisa menahannya lebih lama. Dia segera memelesat keluar sebelum Ervan berhasil mencegatnya. “Hahaha!” Adhira terbahak-bahak, sementara Kuswan menganga resah. Murid lain turut terkejut melihat tingkah Adhira yang terbilang sangat berani itu. “Sepertinya umurku bakal lebih pendek kalau lama-lama di sini,” gumam Kuswan. Ervan menghela napasnya geram. T
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A