Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.
Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.
Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.
Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.
Lima belas menit setelah pasien ketiga masuk, terdengar gertakan meja yang keras. Petugas langsung menghampiri, meja kaca itu sudah retak terbelah dua dan pria yang masih di dalam tengah mengancam akan menuntutnya.
Hampir tiga jam pasien keempat duduk di dalam ruangan itu. Dia keluar dengan pandangan kosong seolah jiwanya sudah direnggut oleh malaikat maut.
Pasien kelima adalah pasangan suami istri. Mereka muncul dari ruangan sambil bertengkar hebat dan dari suaranya yang keras, sang istri hendak mengajukan surat cerai pada suaminya.
Itu keseharian yang harus dijalani Ervan mungkin sepanjang sisa hidupnya. Ketika berita menyedihkan harus terucap dari bibirnya, maka biasanya dia hanya akan diam menunggu sampai luapan emosi itu terlampiaskan. Dia akan menunggu dengan sabar hingga akhirnya masing-masing pasien menyerah menyalahkan dirinya.
“Tidak mungkin, ini tak mungkin kan, Dok?”
Ervan termenung selama beberapa menit. Dia tahu itu pertanyaan demikian tidak membutuhkan jawaban. Dia tak akan menjawabnya kalaupun mereka menggertak dengan keras.
“Ada terapi yang bisa menekan jumlah virusnya,” ucap Ervan di sela-sela bergumulan batin.
Setelah mendengar pernyataan menenangkan tadi, mereka akan mulai tenang. Mencoba mengendalikan amarahnya dan mulai mendengarkan penjelasan Ervan.
Rutinitas ini dilakukan Ervan dari pukul tiga sore hingga pukul tujuh malam. Setelah sesi konsultasi berakhir, dia pun pulang kembali ke apartemennya yang tak jauh dari klinik tersebut. Sudah setahun ini dia tidak lagi pulang ke rumah. Kesendiriannya kian membuat Ervan makin terpuruk. Siapa yang tidak kenal dengannya? Seorang ilmuwan cendekiawan yang berasal dari keluarga berada di kota ini. Ervan memiliki apa saja yang bisa membuatnya tetap berada di tangga teratas dari kasta peradaban manusia.
Lebih dari ini, Ervan hanyalah pria biasa yang tak lagi menyala. Api hidupnya seperti sudah padam sejak dua belas tahun lalu. Kisah memilukan menyelubungi ekspresi sedih tadi. Kadangkala dia menyiksa tubuhnya untuk mengatasi kesedihan itu. Menyembunyikan rasa sakit ternyata lebih mudah daripada mengatasi kehilangan.
“Ervan, besok Om mau kembali ke Jakarta, kamu bisa jemput di bandara?” Ucapan dari telepon memecah suara hujan yang masih menerpa kaca jendela.
“Ya,” jawab Ervan singkat.
“Oke, nanti waktu mau take off, Om telepon lagi ya.”
Sambungan terputus. Om Renal merupakan adik dari ayahnya. Umur mereka hanya terpaut tiga tahun. Jadi Ervan selalu menganggapnya seperti kakaknya sendiri ketimbang pamannya.
Ervan melirik ke botol obat yang masih tergeletak di atas meja sambil melirik jumlah di dalamnya. Botol kaca bening tanpa tulisan itu berisi sekitar lima butir tablet obat yang tidak bernama. Ervan meraupnya masuk ke dalam kantung bajunya sebelum dia akhirnya beranjak dari tempat duduknya.
“Dokter Ervan?” Suara seorang perempuan bergema dari earphone yang terpasang di telingnya. “Sudah ditemukan.”
Ervan nyaris menghentikan mobilnya di tengah jalan raya. Jantungnya berdegup cepat saat mendengar berita yang diwartakan orang dalam teleponnya tadi.
“Di mana?”
“Pemakasan.”
“Hm.” Telepon ditutup.
Ervan segera memutar roda kemudinya. Mengarah ke jalan yang lebih lengang di sudut kota. Kali ini dia tak akan membiarkan kesempatan itu hilang.
Jembatan penghubung dua pulau yang membelah Selat Madura ini mengakomodasi mobil putih itu berpindah dari satu pulau ke pulau lain dalam waktu yang singkat. Ervan belum berhenti hingga malam menjelang dan dia tiba halaman lapas. Seseorang bertengger menantinya di muka jalan.
Secara beriringan keduanya memasuki ruang periksa yang berada di lantai dua.
“Aku sudah mengurus berkas yang diperlukan. Besok pagi dia akan diantar ke Pusat Rehabilitasi.”
“Apa aku bisa menemuinya sekarang?” Ervan bertanya penuh harap.
Pria yang kacamata dan berkumis tebal di depannya menggeleng pasrah. “Kita tidak bisa melepaskan tahanan tanpa izin kepala lapas. Semua prosedurnya sudah jelas. Jika hasil pemeriksaannya benar, dia bisa dipindahkan ke Pusat Rehabilitasi.”
Lirikan Ervan pada berkas di depannya membiaskan keresahan yang terselubung. Dia membaca nama yang tertera tanpa berkomentar lebih lama. Bergegas Ervan merapikan berkas tadi dan memasukkannya dalam sebuah map plastik tebal, memperlakukannya sebagai kertas rapuh yang bisa hancur bahkan saat tertiup angin.
Ada kertas koran yang sudah menguning terselip di dalam map tadi. Pria itu menengok separuh tercengang.
“Ini?”
Ervan mengangguk. Lembaran usang tadi mewartakan kabar yang sudah berlalu belasan tahun silam. Berita baik bagi orang-orang yang hanya membaca dari sepotong surat kabar itu.
“Dari mana kau mendapat berita ini? Kenapa di sini ditulis dia sudah meninggal?”
Ervan tersenyum getir. “Terlihat meyakinkan bukan?”
Pria di hadapan Ervan melihat barisan tulisan di kertas tadi dengan lebih saksama. Sebuah berita menggembirakan bagi sebagian orang mereka kejadian bunuh diri yang dilakukan pembunuh berantai di kota ini. Jika saja tidak ada inisial Adhira yang diterangkan dengan sangat jelas dalam deretan tulisan tadi, mereka mungkin tak percaya bahwa Adhira yang kini masih mendekam di dalam sel penjara itu masih hidup.
Ervan merunduk cukup lama saat membaca ulang koran usang itu. Dia baru sadar isi yang tertera hanyalah rekayasa keluarga Sadana untuk mengalihkan dirinya dari cedera masa lalu itu.
“Tenanglah, aku pastikan dia dibawa ke Pusat Rehabilitasi besok,” ucap pria berkaca mata itu sambil menepuk bahu Ervan.
“Jam berapa aku bisa bertemu dengannya?”
“Kita tidak bisa memastikan. Kami akan menghubungimu lagi bila waktunya sudah tiba.”
“Kau sempat berjumpa dengannya?”
Pria itu mengangguk. “Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya orang yang begitu ingin kau temui ini?”
“Dia… sahabat baikku.”
***
Rapat Aliansi Lima Pilar yang dahulu secara misterius dilaksanakan oleh para keluarga konglomerat di kota ini sudah lama tak lagi digaungkan. Bukan karena mereka tidak lagi melaksanakan pertemuan tahunan tersebut. Akan tetapi, sudah bukan lagi lima keluarga yang hadir di pertemuan itu. Mereka tidak berminat memberinya nama baru meski ritual itu tetap diadakan secara bergilir di rumah para anggota aliansi.
Ada empat ketua aliansi yang akan menjadi pemimpin rapat: Lodra Refendra; Gerwin Defras; Kuswan Pranadipa; dan Haris Sadana. Kekayaan tak terhingga yang mereka miliki menguasai berbagai bidang di negara ini secara turun-temurun.
Lodra Refendra baru-baru ini diangkat sebagai ketua utama rapat aliansi penting ini. Dia seorang pengusaha terkaya yang memiliki belasan saham besar. Sejak sebelas tahun belakangan, namanya menjadi nomor satu keluarga berada. Sahamnya membidangi berbagai sektor. Rata-rata rumah sakit di kota itu masih berjangkar di bawah perusahaan yang dikelolanya. Meski sebagian sekolah dan universitas ada dalam lingkupan keluarga Sadana, Refendra juga memiliki beberapa badan pelatihan besar di negara ini.
Baru-baru ini Lodra menyatukan seluruh sahamnya dalam naungan Hadaya Group. Sebuah icon besar bersimbol lima roda bergerigi dikenal orang-orang sebagai lambang kekayaan dan kemakmuran yang tak berhenti berputar layaknya kincir air.
“Tuan, rapatnya sudah dimulai.” Seorang pelayan berseragam serba hitam memanggil Lodra yang masih termenung di dalam ruang kerja.
Dia pun melangkah menuju paviliun besar yang ada di tengah-tengah danau. Suasana sekeliling paviliun begitu gemerlap dan tenang malam itu. Lampu-lampu yang berjajar mengitari jalan menuju ke tengah danau, mewarnai pemandangan malam yang damai.
Di dalam aula besar itu sudah ada sekitar 50 orang yang hadir. Mereka duduk sesuai dengan aturan yang tak kasat mata. Semua memakai pakaian paling glamor yang bisa mereka beli di kota itu, terkecuali dua pria yang duduk di tengah aula. Wajah anggun nan bersahaja itu mengamati sekitar ruangan dalam diam. Semerbak bunga lavender menyeruak saat mereka berjalan. Pakaian mereka selalu paling sederhana di antara keluarga yang lain. Bukan karena mereka tidak mampu, mereka hanya memiliki aturan khusus tentang cara berpakaian.
Baju mereka hanya berupa kemeja putih dengan jas yang berwarna biru muda. Senada dengan celananya yang hanya berwarna krem terang dan sepatu slip on berwarna putih. Yang menandakan mereka dari keluarga Sadana hanyalah dari penampakan sederhana yang monoton itu.
“Renal?” sapa Lodra memecah perhatian kerumunan orang-orang.
Renal menoleh dan tersenyum ramah. Di sampingnya ada sosok pria yang lebih muda. Ekspresinya hanya diam tanpa reaksi. Dia mengikuti Renal menuju ke si penyapa tadi.
“Wah, senang sekali kalian bisa hadir. Bagaimana proyekmu di Singapura? Sudah beres?” tanya Lodra berbasa-basi. “Dan Ervan? Katanya klinikmu makin ramai saja.”
“Masih ada sisa sedikit lagi. Mungkin akhir tahun baru selesai,” jawab Renal.
Lodra langsung menjawab, “Haha, baguslah. Hari ini rencananya kita mau bahas tentang ikatan kerja sama Sadana Group dengan Hadaya. Tadinya mau diresmikan sama-sama. Tapi berhubung ada urusan mendesak, aku terpaksa harus tunda dulu.”
“Oh, ya? Urusan apa?”
“Pernikahanku dan Kiara,” jawab Lodra.
Jawaban tadi sempat membuat Ervan memaku pandangannya pada Lodra. Nama calon pengantin yang disebutkan Lodra begitu menarik perhatiannya sekarang. Namun Ervan hanya diam menyimak obrolan Renal dengan Lodra tanpa menyela.
“Oh, jodoh memang tidak akan jauh ke mana. Selamat atas pernikahanmu, Lodra,” ucap Renal.
Lodra seperti mengarahkan Renal menuju ke salah satu meja yang berisi banyak minuman dan makanan. Renal mengutus pelayan memindahkan tumpukan kotak buah persik untuk turut mengisi meja yang ditata begitu apik itu.
“Oh ya, kemarin waktu ke Singapura, kami beli buah ini. Rencananya memang mau dibagikan waktu Rapat Lima… emh.. Rapat Tahunan.”
Renal masih belum berpindah dari menyebut rapat spesial mereka itu dengan nama Rapat Aliansi Lima Pilar. Kenyataannya memang hanya tersisa tiga orang saja.
Ervan melirik ke buah-buahan serba mahal yang menjadi primadona mereka malam ini. Bisa ditebak harganya akan sama dengan harga uang sewa apartemennya selama setahun. Namun Ervan tak peduli dengan keangkuhan para keluarga konglomerat itu. Lagian rapat ini memang sudah menjadi ajang pamer kekayaan. Dia mengambil tempat agak ke sudut ketika kepala keluarga akhirnya saling menyatu dan larut dalam obrolan.
Ervan menggeser layar tabletnya tanpa memperhatikan orang-orang itu lagi. Ketika acara makan dimulai, dia justru melangkah keluar.
“Dokter Ervan?” Lodra seperti tahu apa yang hendak Ervan kerjakan untuk menghindari keramaian. “Kamu tidak ikut makan malam?”
“Ada konsul,” jawab Ervan datar. Dia membawa serta tabletnya dan kembali larut dalam layar monitor tersebut. Lodra melirik tajam tak berdaya mencegat Ervan lebih jauh.
Setidaknya Lodra tahu Ervan memang selalu bersikap demikian dingin pada semua orang. Dia melangkah masuk dan mendekati orang-orang yang ada di dalam aula. Mereka mulai menyantap makan malam yang terdengar lebih riuh itu.
Ervan mendekati kursi besi yang ada di taman bunga anggrek milik keluarga Rafendra itu.
Dia kabur.
Pesan singkat itu terpampang di depan Ervan. Itu pesan tadi siang. Ketika keterlambatannya menyebabkan orang yang dia cari-cari tersebut kembali lenyap. Ervan bahkan tak sempat melihatnya.
Dalam sunyi, dia kembali berbalas pesan.
Dia pasti ke rumah sakit. Cari di rumah sakit terdekat.
Gesekan kursi roda menguik semakin dekat ke arah Ervan. Cukup keras untuk membuat Ervan sadar ada orang lain di tempat penyendiriannya itu.
“Ervan, kamu kenapa di sini?” Seorang perempuan yang sepantaran dengan Ervan duduk di atas kursi roda.
Ervan hendak bangkit dari hadapan perempuan tersebut, sebelum dia mencegatnya lagi. “Kamu masih menunggu dia?”
Ervan menghentikan langkahnya. Mencerna pertanyaan menjurus yang diutarakan perempuan tersebut. Dia adalah Myra Defras. Ayahnya adalah salah satu dari Aliansi Lima Pilar. Namun sudah meninggal tiga belas tahun lalu. Menyisakan seorang anak perempuan yang cacat. Myra terlahir dengan penyakit yang membuatnya tak dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya dan hanya mengandalkan kursi roda itu seumur hidupnya.
“Adhira sudah mati,” tandas Myra. “Kamu hanya berharap pada kesia-siaan.”
Ucapan tersebut tak menggoyahkan pergemingan panjang Ervan. Rembulan yang memantulkan cahaya redup itu merundungi Ervan dalam kesepian dan kehilangan. Dia berlalu meninggalkan gadis di atas kursi roda itu dalam gelap. Kembali melanjutkan konsultasinya dengan pasien virtual yang muncul di layar monitor.
Sebuah pesan singkat secara tiba-tiba mencuat dari kolom percakapannya. Ervan membaca dengan mata terpicing.
Ada yang melihatnya di tepi sungai.
Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu. Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya. Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang t
Matahari sudah setengah tenggelam di ufuk barat ketika Odin selesai menggores jawaban terakhir di buku matematikanya. Berkat petuah singkat dari tahanan yang baru kabur itu, tugas penting Odin rampung dalam waktu singkat. Sebagai balasan, Odin mengajaknya makan malam bersama di rumah reyotnya di bantaran kali. Langkah mereka berhenti di persimpangan jalan yang dikelilingi penjaja makanan. Di balik deretan pertokoan ini merupakan lahan perkumuhan yang lebih padat lagi. Rumah Odin berdiri di ujung gang sempit pinggir sungai. Bangunan berdinding kayu dengan atap seng berkarat itu merupakan tempat anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya Tepat ketika Adhira hendak berpisah dengan bocah tadi, keributan kecil menyeruak di antara keramaian. Tiga petugas berseragam hijau lumut berdiri berdiskusi alot dengan beberapa masyarakat setempat. “Kami sudah menetap di sini selama lebih dari setengah abad, kalian tidak bisa sembarangan menggusur kami seenaknya saja!” bent
“Siapa namamu sebenarnya?” Pertanyaan tadi membuat Adhira mematung selama beberapa detik. “Apa maksud Ibu? Namaku Gauhar.” “Kamu bisa membohongi Odin, tapi aku tahu nama yang kamu caplok itu dari buku matematikanya kan?” Bibir Adhira terbungkam. Kepalanya merunduk saat Salimah menangkap basah ekspresi kagetnya. “Ternyata benar begitu.” “Aku….” Salimah melangkah ke tepian jendela untuk mengelap tetesan hujan yang masih merintik di luar sana. “Aku tidak tahu apa motifmu berteman dengan Odin.” “Motif? Saya tidak mengerti apa yang ibu bicarakan?” “Kamu tahanan yang kabur dari Pusat Rehabilitasi itu, kan? Kamu juga pasti mengincar kami karena tindakan manusia biadab bernama Mivar itu.” Adhira mengerutkan dahinya heran. “Maaf, saya bukan mau membohongi Ibu. Saya hanya….” Adhira terbatuk keras. Darah yang berkumpul di kerongkongannya sudah berhenti keluar, tapi udara dingin ini menggelitik saluran napasnya.
Juli 2003 Matahari yang menggantung di antara kerumunan awan bersinar lebih terik dari biasanya. Dua kakak beradik berjalan menyusuri deretan toko menuju ke gerbang sekolah yang ada di antara keramaian kota itu. SMA Equator sebetulnya bukan sekolah favorit seperti yang sering dibangga-banggakan orang. Sekolah itu menjadi bergengsi hanya karena murid-murid di dalamnya berasal dari strata teratas para elit di kota itu, membiaskan tempat super keren yang tak lebih dari tempat mengenyam ilmu seperti SMA lainnya. Jika bukan karena permintaan paman serta bantuan dari keluarga Sadana, mereka tidak akan bisa menyentuh tempat tersebut. “Kiara!” seru Adhira pada gadis berusia 13 tahun itu. “Tunggu!” Perempuan yang berkucir kuda itu melesat ke arah Adhira tanpa menghentikan langkahnya. Dia mengitari Adhira yang ngos-ngosan seperti burung pipit. “Berhentilah berlari, Kiara!” desau Adhira di ujung napasnya. Kiara dengan riang melompa
Adhira mengempaskan tubuhnya di kursi kelas sembari memijat kedua kakinya yang keram. Setelah berlari sejauh tiga kilometer dari rumah, ditambah dengan hukuman berdiri di bawah tiang bendera, otot betisnya menolak untuk bergerak. “Semua gara-gara anak pato itu!” umpatnya. Kuswan yang ternyata berada dalam satu kelas dengan Adhira mengambil tempat di sampingnya. “Adhi, kamu benar-benar zonk banget sampai bisa bertemu anak Sadana itu,” ucap Kuswan. “Pakai acara telat segala lagi. Sudah tahu Equator tu masuknya tiga puluh menit lebih awal dari sekolah lain.” “Ya, mana kutahu. Kan biasanya juga bisa langsung ikut upacara. Terus, kok di sini upacara harus pakai atribut-atribut begituan sih?” Kuswan hanya bisa menertawakan Adhira yang biasanya sangat sembrono soal aturan-aturan kaku tersebut. Adhira baru sadar kalau ternyata ada lebih banyak lagi lempengan papan yang bertuliskan aturan yang harus dipatuhinya. S
Langkah Ervan terhenti. Kernyitan bergelombang terbentuk di rekahan pelupuk matanya. Wajah dengan kulit putih seperti tak pernah kena sinar matahari itu akhirnya berbalik, menghunuskan tatapannya ke arah tersangka yang telah menyebutkan kata terlarang tadi. Namun sikap demikian justru ditanggapi Adhira dengan cengiran lebar. Dia berhasil membuat Ervan merespons panggilannya. Belum puas dengan pengusikan tadi, Adhira menghampiri Ervan dan merebut buku tebal yang dipeganginya sejak awal masuk kelas. Ervan sontak mencengkeram pergelangan tangan Adhira. Dengan lincah, Adhira memutar tubuhnya. Membuat Ervan tak bisa menahannya lebih lama. Dia segera memelesat keluar sebelum Ervan berhasil mencegatnya. “Hahaha!” Adhira terbahak-bahak, sementara Kuswan menganga resah. Murid lain turut terkejut melihat tingkah Adhira yang terbilang sangat berani itu. “Sepertinya umurku bakal lebih pendek kalau lama-lama di sini,” gumam Kuswan. Ervan menghela napasnya geram. T
Jam istirahat tak terasa tiba. Seluruh murid tumpah ruah ke luar. Kuswan langsung menghampiri Adhira dan mengajaknya makan ke kantin sekolah mereka. “Kamu pasti penasaran kan dengan makanan di sini,” tawar Kuswan. “Ayo, kubawa ke tempat mi langgananku.” Adhira menutup buku yang diberikan Bu Tamara dan mendapati buku biologi Ervan masih ada di mejanya. Dia melirik ke kursi Ervan yang sudah kosong. Adhira pun menyimpannya kembali ke dalam tas. Lebih baik tidak mengembalikannya dulu. Ervan tidak akan kekurangan buku untuk dibaca. Suasana kantin sekolah ini begitu lengang. Bahkan pelayan yang melayani para murid menggunakan seragam khusus. Adhira jadi merasa seperti berada di sebuah restoran bintang lima. Lagi-lagi dia melihat lempengan papan peraturan di beberapa sudut kantin. Isinya tak terlepas dari aturan memesan makanan, kebersihan, penggunaan peralatan makan, dan etika-etika aneh lainnya. “Bagaimana sih kalian bisa bertahan di sini?” keluh Adhira.
Keesokan harinya, Adhira kembali datang terlambat. Rambutnya kacau balau seperti korban angin topan. Dia berlari cepat memasuki kelas yang hening itu. Pak Heno yang ketika itu sedang menerangkan kalimat prosa langsung mengernyit garang. “Adhira Limawan!” Suara Pak Heno bergema dan menggetarkan seisi kelas yang senyap tadi. Kuswan yang duduk di bangku belakang separuh menutup wajahnya dengan buku. Dia begitu enggan memandangi wajah Pak Heno kalau sedang marah itu. “Mm, maaf Pak. Jet lag,” desah Adhira sambil mengusap matanya yang penuh dengan kotoran mata. “Tidak usah banyak alasan kamu. Sudah dua kali kamu terlambat masuk ke sekolah. Sekarang kamu berdiri sepanjang kelas.” “Yah, Pak… Kasih saya keringanan sedikit Pak.” “Keringanan, kamu pikir bayar tunggakan?” “Saya kan baru dua kali. Saya bersumpah tidak akan mengulanginya lagi besok.” “Banyak alasan kamu. Sekarang, angkat satu kaki!” perintah sang guru. “Taha
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A