Seusai melahap habis nasi kuning berkuah gulai yang diberikan sipir perempuan tadi, Adhira diminta untuk memasuki sebuah ruang lain di lapas itu, tempat lain yang juga belum pernah dijamahnya. Bau klorin bercampur desinfektan mengelilingi dirinya. Ia diminta untuk mandi sebelum memasuki ruang perawatan yang berada dalam satu kawasan.
Baru kali ini sejak bertahun-tahun lamanya Adhira tidak mandi dengan air hangat dan busa yang menyejukkan. Luka segar yang terpahat di sekujur tubuhnya sudah tak dia gubris lagi. Dia membiarkan air membasuh segala jenis perih dan sakit yang senantiasa menyengat dirinya. Tak pernah dia merasakan kedamaian hakiki yang berlimpah ruah seperti ini. Bahkan orang-orang ini juga menyediakan pakaian baru yang lebih wangi, menggantikan kaos oblong tipis yang berbau anyir itu.
Kedua matanya kembali ditutup setelah keluar dari tempat tersebut. Dua orang menggiringnya memasuki ruang perawatan. Seluruh luka dioles semacam salep dengan aroma yang menyengat. Luka bekas tusukan di area punggung juga kembali dibalut dengan perban. Meski dia tahu di balik kulit yang telah terbalut perban itu, beberapa tulangnya sudah remuk. Gigi gerahamnya ada yang patah akibat hantaman sekelompok napi. Darah yang mengalir sudah berhenti. Kadangkala dia menyayangkan hal tersebut. Terlebih saat sedang sangat haus, darah dari mulutnya sering diisap ulang. Namun sekarang dia tak perlu melakukannya. Minuman menyegarkan tadi siang lebih dari cukup merehidrasi tubuhnya yang gersang ini.
“Apakah ini waktunya aku dieksekusi?” tanya Adhira pada salah satu perawat yang mengoles luka di bibirnya.
Tidak ada suara yang menjawabnya. Adhira juga tidak berminat bertanya lagi. Dia tidak akan menerkanya jika saja memang waktu kematiannya sudah dekat. Tapi dia curiga, apakah seperti ini perlakuan yang diberikan untuk narapidana yang akan dieksekusi mati? Dia tahu kesalahannya sangat fatal sehingga hukuman mati bukan hal yang mengerikan lagi. Hanya saja, membuai dirinya dalam kenyamanan sebelum menjemput ajal seperti ini, bukan pula sesuatu yang dia senangi.
Setelah mereka menjelma sosok runyam itu menjadi manusia yang baru, dua orang pria kekar tadi kembali mengaitkan kedua tangannya. Makanan siang besar yang disantapnya tanpa jeda itu mulai memompa sebongkah energi ke setiap atom di tubuhnya, tapi Adhira harus menunggu sedikit lebih lama untuk menjalankan misinya.
“Kalian membawaku ke tempat lain lagi?” Adhira bertanya tanpa mengharapkan jawaban.
Biasanya dia akan segera ditempeleng saat mengutarakan hal seperti itu. Untuk kali ini mereka hanya diam, mengawasi tanpa reaksi. Selain menebak kejutan apa lagi yang hendak mereka persembahkan untuknya, Adhira hanya diam menunggu mobil yang membawanya ini berhenti dan kedua matanya bisa kembali melihat dalam terang.
Terakhir dia ingat dia dibawa memasuki sebuah kendaraan besar. Di dalamnya ada jok besar yang cukup luas untuk merebahkan tubuhnya. Mereka membiarkan Adhira tertidur sepanjang perjalanan. Dia terlalu lelah memikirkan kemungkinan tak menyenangkan apa yang akan terjadi padanya. Hal terburuk adalah organ tubuhnya dijual atau dia dibunuh. Walau Adhira yakin itu tidak mungkin, darahnya terlalu kotor untuk bisa dijadikan pendonor. Tidak ada yang mau menerima setitik saja bagian dari dirinya yang hina-dina ini.
Mobil yang membawanya baru berhenti setelah melaju sekitar dua jam dari waktu pertama kali Adhira masuk. Kemungkinan besar mereka membawanya kembali ke Surabaya. Sudah ada jembatan besar yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Adhira diturunkan dan digiring lagi memasuki sebuah gedung.
Kedua matanya dibuka ketika dia telah berada di sebuah ruangan berdinding putih dan berjendela kaca di lantai tiga bangunan bertingkat enam itu. Adhira mengambil tempat duduk dan mulai mengamati sekitarnya bingung. Tangannya sudah tidak lagi diborgol, tapi bekas kemerahan masih menoreh di tempat semula.
Adhira selalu membayangkan dirinya berada dalam ikatan. Keinginan untuk kabur kembali terbesit dalam pikirannya. Dua perawat hilir mudik melakukan pemeriksaan padanya. Setelah menilai keadaan Adhira yang baik-baik saja, mereka pun kembali meninggalkannya. Adhira mengintip ke balik pintu yang ternyata dijaga dengan ketat oleh dua orang pria kekar. Dia melirik ke jendela kaca.
Ada jalan!
Dia bisa melompat dari koridor sana dan berlari melalui halaman belakang.
Walau tidak tahu apa yang akan ditemuinya di balik semak itu, Adhira tak lagi bisa berpikir terlalu jauh. Sekarang dia harus keluar atau kembali terkurung dalam jeruji besi lagi. Adhira menarik selot yang menutupi kaca jendela. Dia berharap keberuntungan kembali memihak padanya. Adhira mengambil ancang-ancang.
Dengan cepat dia melangkahi pembatas jendela. Tubuhnya dilipat sedemikian ramping hingga seluruh anggota geraknya berhasil menyelinap dari rekahan sempit itu. Ketika sudah sampai ke pijakan pendingin ruangan di balik dinding, Adhira melepaskan tangannya dari pegangan jendela. Dia merayap ke pijakan pipa di bagian tepi AC. Masih ada jarak sekitar sepuluh meter dari posisinya ke tanah basah di bawah sana. Terlepas tulang belulangnya yang sudah remuk dikeroyok para napi berandalan saat di lapas, tidak ada pilihan baginya untuk tidak melompat.
Untung saja ada pohon beringin besar yang menutupi sisi dinding tempatnya kabur. Bayangan pohon yang menjiplak di sudut dinding menyamarkan pelariannya.
“Ada yang kabur!” pekik seorang wanita dari balkon gedung seberang.
Seruan tadi meramaikan segenap penghuni gedung. Tanpa banyak pertimbangan, Adhira pun melompat ke ranting pohon terdekat. Tubuhnya terantuk keras ke batang pohon sebelum akhirnya meluncur jatuh ke tanah berumput. Pada detik yang sama dia segera memacu kedua kakinya untuk berlari sekencang-kencangnya dari tempat itu.
Yang dipikirkannya saat ini adalah keluar dari tempat apa pun yang terlihat mengancam baginya. Gonggongan anjing membahana dari kejauhan. Tiga anjing ras muncul dari balik gedung, merangsek ke arah Adhira yang baru tiba di tepi pagar. Beruntung mereka tak bisa menggapai tubuhnya karena ada pagar besi yang membatasi predator bertaring itu dari pengejaran.
Adhira tak membuang lebih banyak waktu untuk bersyukur karena di depannya masih ada penjaga yang juga sama galaknya dengan hewan berbulu di belakang mereka. Namun dari raut wajah mereka, dua penjaga tersebut masih bingung. Karena mereka belum mengerti permasalahan apa yang tengah terjadi. Adhira tidak ingin mengambil risiko. Para pengejarnya sudah hampir mendekati pintu depan.
Adhira segera memanjat dinding tanaman yang membatasi halaman luar dengan jalan raya. Tidak sulit baginya untuk menarik tanaman rambat tersebut dan memanjat naik. Hanya saja, tubuhnya terlalu letih saat ini. Luka di tangan dan kakinya yang baru diobati beberapa jam lalu kembali terbuka. “Ah!”
Tiga laki-laki sudah mulai menyusulnya naik ke dinding. Mereka seperti tidak pernah kehabisan tenaga mengejarnya. Pecahan kaca yang berada di atas dinding kembali menghalangi dirinya untuk keluar dari wilayah pusat rehabilitasi itu. Goresan sepanjang lima senti terbentuk di paha kanannya saat melangkahi dinding tersebut.
“Sial!” umpatnya tertahan.
Di balik sungai yang mengelilingi bangunan Pusat Rehabilitasi ini ada jalan panjang yang mengarah ke kawasan pasar. Tidak pilihan lain selain menceburkan dirinya ke dalam aliran sungai deras di bawah sana. Adhira menarik napas panjang sebelum akhirnya tubuhnya hanyut bersama buih-buih air sungai kecokelatan di balik dinding.
Desakan arus yang dingin menghajar kulitnya yang compang-camping ini. Secepatnya Adhira mengayunkan kedua tangannya agar kepalanya segera mencapai permukaan air. Dia hanya bisa tetap menggerakkan kaki-kaki yang kian kebas itu menjauhi dasar sungai. Meski terlihat tenang, sungai ini mengalir dengan cukup deras. Bahkan dengan ketidakmampuannya berenang, Adhira tak perlu repot-repot menyeret tubuhnya menuju ke hilir sungai. Tubuhnya seketika terbawa menjauhi bangunan Pusat Rehabilitasi itu.
Dia mendongak ke atas dan mengamati penjaga yang hanya bisa mengintip dari balik tembok. Tidak ada yang berani melompat ke bawah menyusulnya. Sebuah poin kemenangan tipis yang bisa diperoleh Adhira di saat terdesak seperti ini.
Sungai panjang pemisah dua bukit tersebut terlihat tak dalam. Tubuhnya kandas di antara bebatuan pada hilir sungai yang lebih dangkal.
Banyak kancil yang berhasil menyeberangi aliran itu tanpa terlalu banyak hambatan. Darah yang masih bersimbah di wajahnya terbasuh oleh air sungai yang jernih. Berulang kali Adhira terbatuk dengan sangat keras. Darah yang keluar tak kunjung reda dan dia merasakan dadanya lebih sesak dari biasanya. Entah sejak kapan tubuhnya jadi begini lemah.
Apa yang akan dihadapinya sekarang menjadi sebuah tanda tanya besar. Dia bisa mengemis di jalanan seperti yang dulu sering dilakukannya. Atau dia juga bisa mencuri di pasar. Menambah sedikit dosa tidak akan terlalu banyak memengaruhi hidupnya lagi. Saat ini, dia resmi menjadi buronan.
Tidak mungkin lagi kembali ke neraka itu. Mungkin dia akan tidur di alam liar untuk beberapa waktu. Makanan siang tadi dapat dicerna sampai besok pagi. Dia punya waktu untuk mengumpulkan tenaga dan mencari tempat berteduh besok pagi.
Langit juga terlihat mulai redup. Dia merebahkan tubuhnya di bawah langit lembayung yang bertabur bintang. Dengan pelan dia menarik napas. Mengelabui dirinya yang kini tengah terbang di antara awan. Adhira tak berharap menemukan hari esok jika saja kejadian lebih buruk terjadi padanya. Namun dia tahu semua ini tak akan berlangsung lama. Dia harus kembali ke kota dan menyelesaikan persoalan yang belum selesai itu.
Hira?
Suara itu terngiang di telinganya. Adhira bangkit dari lahan berumput dan mendapati kehampaan. Halusinasi semu tadi kembali memburunya.
Dia duduk mengamati sekeliling tepi sungai yang masih lengang. Ada serangga kecil yang berdesing tak jauh darinya. Dia tak memedulikan hal tersebut. Pakaiannya yang baru itu kembali basah oleh air sungai. Adhira terpaksa bergeser ke tempat yang lebih jauh.
Ayam berkokok dari arah yang pemukiman. Dia tak bisa menebak ini sudah jam berapa. Tidurnya terlalu dalam. Namun setelah panggilan halus tersebut, Adhira tak lagi bisa mengatupkan kedua matanya.
Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.Lim
Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu. Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya. Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang t
Matahari sudah setengah tenggelam di ufuk barat ketika Odin selesai menggores jawaban terakhir di buku matematikanya. Berkat petuah singkat dari tahanan yang baru kabur itu, tugas penting Odin rampung dalam waktu singkat. Sebagai balasan, Odin mengajaknya makan malam bersama di rumah reyotnya di bantaran kali. Langkah mereka berhenti di persimpangan jalan yang dikelilingi penjaja makanan. Di balik deretan pertokoan ini merupakan lahan perkumuhan yang lebih padat lagi. Rumah Odin berdiri di ujung gang sempit pinggir sungai. Bangunan berdinding kayu dengan atap seng berkarat itu merupakan tempat anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya Tepat ketika Adhira hendak berpisah dengan bocah tadi, keributan kecil menyeruak di antara keramaian. Tiga petugas berseragam hijau lumut berdiri berdiskusi alot dengan beberapa masyarakat setempat. “Kami sudah menetap di sini selama lebih dari setengah abad, kalian tidak bisa sembarangan menggusur kami seenaknya saja!” bent
“Siapa namamu sebenarnya?” Pertanyaan tadi membuat Adhira mematung selama beberapa detik. “Apa maksud Ibu? Namaku Gauhar.” “Kamu bisa membohongi Odin, tapi aku tahu nama yang kamu caplok itu dari buku matematikanya kan?” Bibir Adhira terbungkam. Kepalanya merunduk saat Salimah menangkap basah ekspresi kagetnya. “Ternyata benar begitu.” “Aku….” Salimah melangkah ke tepian jendela untuk mengelap tetesan hujan yang masih merintik di luar sana. “Aku tidak tahu apa motifmu berteman dengan Odin.” “Motif? Saya tidak mengerti apa yang ibu bicarakan?” “Kamu tahanan yang kabur dari Pusat Rehabilitasi itu, kan? Kamu juga pasti mengincar kami karena tindakan manusia biadab bernama Mivar itu.” Adhira mengerutkan dahinya heran. “Maaf, saya bukan mau membohongi Ibu. Saya hanya….” Adhira terbatuk keras. Darah yang berkumpul di kerongkongannya sudah berhenti keluar, tapi udara dingin ini menggelitik saluran napasnya.
Juli 2003 Matahari yang menggantung di antara kerumunan awan bersinar lebih terik dari biasanya. Dua kakak beradik berjalan menyusuri deretan toko menuju ke gerbang sekolah yang ada di antara keramaian kota itu. SMA Equator sebetulnya bukan sekolah favorit seperti yang sering dibangga-banggakan orang. Sekolah itu menjadi bergengsi hanya karena murid-murid di dalamnya berasal dari strata teratas para elit di kota itu, membiaskan tempat super keren yang tak lebih dari tempat mengenyam ilmu seperti SMA lainnya. Jika bukan karena permintaan paman serta bantuan dari keluarga Sadana, mereka tidak akan bisa menyentuh tempat tersebut. “Kiara!” seru Adhira pada gadis berusia 13 tahun itu. “Tunggu!” Perempuan yang berkucir kuda itu melesat ke arah Adhira tanpa menghentikan langkahnya. Dia mengitari Adhira yang ngos-ngosan seperti burung pipit. “Berhentilah berlari, Kiara!” desau Adhira di ujung napasnya. Kiara dengan riang melompa
Adhira mengempaskan tubuhnya di kursi kelas sembari memijat kedua kakinya yang keram. Setelah berlari sejauh tiga kilometer dari rumah, ditambah dengan hukuman berdiri di bawah tiang bendera, otot betisnya menolak untuk bergerak. “Semua gara-gara anak pato itu!” umpatnya. Kuswan yang ternyata berada dalam satu kelas dengan Adhira mengambil tempat di sampingnya. “Adhi, kamu benar-benar zonk banget sampai bisa bertemu anak Sadana itu,” ucap Kuswan. “Pakai acara telat segala lagi. Sudah tahu Equator tu masuknya tiga puluh menit lebih awal dari sekolah lain.” “Ya, mana kutahu. Kan biasanya juga bisa langsung ikut upacara. Terus, kok di sini upacara harus pakai atribut-atribut begituan sih?” Kuswan hanya bisa menertawakan Adhira yang biasanya sangat sembrono soal aturan-aturan kaku tersebut. Adhira baru sadar kalau ternyata ada lebih banyak lagi lempengan papan yang bertuliskan aturan yang harus dipatuhinya. S
Langkah Ervan terhenti. Kernyitan bergelombang terbentuk di rekahan pelupuk matanya. Wajah dengan kulit putih seperti tak pernah kena sinar matahari itu akhirnya berbalik, menghunuskan tatapannya ke arah tersangka yang telah menyebutkan kata terlarang tadi. Namun sikap demikian justru ditanggapi Adhira dengan cengiran lebar. Dia berhasil membuat Ervan merespons panggilannya. Belum puas dengan pengusikan tadi, Adhira menghampiri Ervan dan merebut buku tebal yang dipeganginya sejak awal masuk kelas. Ervan sontak mencengkeram pergelangan tangan Adhira. Dengan lincah, Adhira memutar tubuhnya. Membuat Ervan tak bisa menahannya lebih lama. Dia segera memelesat keluar sebelum Ervan berhasil mencegatnya. “Hahaha!” Adhira terbahak-bahak, sementara Kuswan menganga resah. Murid lain turut terkejut melihat tingkah Adhira yang terbilang sangat berani itu. “Sepertinya umurku bakal lebih pendek kalau lama-lama di sini,” gumam Kuswan. Ervan menghela napasnya geram. T
Jam istirahat tak terasa tiba. Seluruh murid tumpah ruah ke luar. Kuswan langsung menghampiri Adhira dan mengajaknya makan ke kantin sekolah mereka. “Kamu pasti penasaran kan dengan makanan di sini,” tawar Kuswan. “Ayo, kubawa ke tempat mi langgananku.” Adhira menutup buku yang diberikan Bu Tamara dan mendapati buku biologi Ervan masih ada di mejanya. Dia melirik ke kursi Ervan yang sudah kosong. Adhira pun menyimpannya kembali ke dalam tas. Lebih baik tidak mengembalikannya dulu. Ervan tidak akan kekurangan buku untuk dibaca. Suasana kantin sekolah ini begitu lengang. Bahkan pelayan yang melayani para murid menggunakan seragam khusus. Adhira jadi merasa seperti berada di sebuah restoran bintang lima. Lagi-lagi dia melihat lempengan papan peraturan di beberapa sudut kantin. Isinya tak terlepas dari aturan memesan makanan, kebersihan, penggunaan peralatan makan, dan etika-etika aneh lainnya. “Bagaimana sih kalian bisa bertahan di sini?” keluh Adhira.
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A