Adhira berpikir dia akan menghabiskan waktu lebih panjang di pemakaman Profesor Alan, tapi nyatanya Adhira merenung lebih lama di depan nisan Yasir Pranadipa. Nyawa seseorang telah melayang karena kelalaiannya. Dia tahu Yasir telah membuatnya emosi dan mengakibatkan kematiannya sendiri, namun Adhira tak pernah ingin mencabut nyawa orang yang disayangi oleh sahabatnya sendiri.
Walau kini dia bersujud dan meminta pengampunan, tragedi di antara mereka sudah berlalu. Kuswan tak akan pernah lagi tersenyum padanya, mengalungkan tangan di bahunya, dan mengatakan, “Mainkan sebuah lagu dan aku akan berpuisi untukmu.”
Kuswan tak akan lagi mau mengajaknya berkubang dalam keonaran dan saling menertawakan kesialan masing-masing, atau menandani rambutnya seperti seekor burung merak. Dia tak akan pernah lagi mendapat teman semenyenangkan itu.
Kuswan yang sekarang adalah pria berwajah galak yang siap mengepalkan tangannya setiap melihat Adhira, yang akan memakinya d
Sebenarnya saat Flora mengutarakan motifnya menyelidiki tentangnya, Adhira juga menanyakan beberapa hal padanya, termasuk meminta Flora menceritakan apa yang telah terjadi pada keluarganya dan keluarga Defras.Adhira ingat ketika Genever harus dikeluarkan dari sekolah karena pertikaiannya dengan Raula saat SMA dulu. Dia putus sekolah dan bersama ibunya bekerja di kediaman Defras. Pekerjaan di dapur kediaman Defras tidak membutuhkan banyak keahlian. Dia bertugas mengantar bahan pangan dari pasar untuk dijadikan makanan siap makan.“Gene, kenapa hari ini wortelnya jelek sekali?” ujar ibu pelayan. “Kamu tahu kan Nona Lyra maunya wortel yang warna merah? Bukan yang kuning begini.”“Suruh dia sendiri yang beli ke pasar.” Genever menukas ketus.Wajahnya sebagian sudah berubah menjadi jaringan parut. Kulit yang kontraktur itu menarik sisi leher dan rahang kanannya.“Hush, Gene! Jangan ngomong begitu, tidak e
Mereka menghabiskan banyak waktu sepanjang hari di taman belakang semenjak Myra mengundangnya dalam kelas belajar. Genever sering menunjukkan foto-foto saat dia berjalan-jalan di luar. Setiap gambar yang diperlihatkannya, Myra selalu menatap dengan penuh minat.Satu hal yang akhirnya membuat Genever mengerti, Myra memiliki keterbatasan untuk bisa keluar dari rumahnya. Gadis ini tak pernah mendapat kesempatan seperti anak-anak lainnya. Semias terlalu sibuk untuk mengajaknya jalan-jalan. Dia hanya terkurung di rumah mewahnya ini tanpa pernah melihat dunia luar.Myra ingin melihat laut, menginjak pasir dan membelah ombak, menghirup udara gunung yang sejuk, menari di bawah sinar matahari. Dia selalu mendengar cerita orang-orang. Itu pula yang membuat lukisan lansekap yang dibuatnya tak pernah terlihat hidup. Itu hanya dia tiru dari majalah bekas dengan sedikit imajinasinya sendiri.Genever memperhatikannya untuk beberapa waktu sebelum bertanya, “Myra, apa kamu
Seorang pria berusia separuh abad itu turun dari mobil, diikuti dengan dua pelayan lain.“Papa?”Dengan sedikit geram, dia berkata pada mereka, “Myra, kembali ke mobil. Dan kamu, jangan ajak anak saya keluar lagi setelah ini.”Keduanya tak bisa berkutik saat pelayan tadi menurunkan Myra dari motor Genever dan membawanya masuk ke mobil.“Sudah berapa kali Papa bilang kamu tidak boleh pergi keluar sendiri,” tegur pria itu dalam perjalanan pulang.“Myra kan perginya sama Gene. Bi Iren kan juga mamanya Gene.”“Myra!” bentak Semias pada anak gadisnya tadi. “Kamu ini dibilang malah membantah. Dia itu anak pelayan yang dikeluarin dari sekolahnya karena terlalu bandel. Kamu tidak boleh berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Terus orang-orang yang bagaimana yang pantas? Gene dikeluarkan juga karena dia tidak sengaja menumpahkan air keras itu.”&ld
Lyra dan Ingvar duduk di pelantara depan dengan senyuman tajam.“Bagaimana kencannya?” sindir perempuan itu saat Myra didorong masuk ke dalam rumah.Ingvar yang tak mengerti ucapan Lyra hanya memandang heran. “Myra, ke mana sepatumu?”Myra tahu Ingvar tak bermaksud bertanya karena perhatian padanya. Niatnya lebih dari itu. Dia ingin Myra selalu ditutupi oleh rasa malu sehingga saat kesempatan itu memang muncul, dia kembali menggaungkan cibiran pedas kepadanya.“Untuk apa memakai sepatu kalau tidak dipakai buat berjalan?” cetus Lyra.Myra berlalu tanpa menggubris baik pertanyaan Ingvar atau juga jawaban dari saudara perempuannya yang sangat masuk akal.Sejak kejadian tersebut, Genever tidak pernah lagi muncul setiap dia turun ke dapur atau belajar di taman. Myra berulang kali menitipkan barang untuk diberikan diantarkan oleh Genever, tapi setiap dia meminta Bi Iren mengantar barang, Genever tidak pernah ada
“Akhirnya kau datang juga.”Dari balik pohon beringin tua, suara itu muncul.“Aku sudah menemukan buktinya,” ucap Genever tanpa menoleh. “Dia orang yang telah membunuh ayahku.”Orang itu menepuk bahu Genever, “Sudah kubilang mereka mengasihanimu karena mereka merasa bersalah.”Genever mencekal kedua tangannya penuh amarah, “Berikan aku racunnya.”Dia sudah berdiri di tengah-tengah seutas tali. Tidak ada jalan lain selain melepaskan diri dari dendam yang menjeratnya. Sejak malam waktu ayahnya ditembak dua belas tahun lalu, Genever selalu dihantui bayangan mengerikan. Dia harus menghabisi orang itu sebelum segala yang dimilikinya kembali hilang.Sosok dalam gelap tadi menyodorkan sekantung pakaian serba putih beserta sebuah vial kecil berisi cairan bening kekuningan.“Di dalamnya ada benda yang kamu butuhkan. Jangan salah langkah,” ucap pria itu lagi. “Butuh s
Tiga bulan sejak kematian Semias, kediaman Defras didatangi seorang pria yang merupakan adik kandungnya. Pria bernama Gerwin itu pernah bekerja di perusahaan yang dikelola Semias. Hanya saja, Gerwin bukan orang yang terampil dalam mengurus perusahaan besar. Mentalnya operator dan jiwa bisnisnya gersang. Jadi selain melanjutkan apa yang telah ditinggalkan Semias, perusahaan Defras sebetulnya sudah di ambang kehancuran.Untungnya anggota aliansi masih mengasihani perusahaan besar yang sudah bobrok di tangan penerus yang tak kompeten tadi. Menurut mereka, harga persahabatan masih bisa dibayar dengan uang. Jadi pada akhirnya, ini semua hanyalah sebuah simbiosis mutualisme antar perusahaan di aliansi belaka.Gerwin membawa istri dan anak-anaknya ke rumah tersebut. Seluruh anaknya adalah perempuan dan jumlah mereka ada enam!Keadaan yang begitu ramai tentu membuat Myra kembali mengurung diri di kamarnya. Hal yang berbeda terjadi pada Lyra, sejak enam anak perempuan it
“Akan banyak hal yang akan jadi pertama untukmu, Myra.”“Jangan bilang kamu mau….”Satu kecupan hinggap di bibir Myra. Ini salah satu yang dikatakan Genever barusan. Ciuman itu hangat, menggelora, sedikit tergesa-gesa, tapi sangat manis. Bibirnya kenyal dan basah. Genever merasa dia ingin menyedot Myra dalam perlekatan kecil ini.Tubuhnya kembali masuk ke dalam air, tapi itu tidak membuat Genever melepaskan ciuman mereka. Keduanya tetap melanjutkannya di dalam air. Ya, benar! Genever bahkan tak membiarkan kesempatan pada gadis itu untuk menghindar. Tangannya mengikat wajah Myra agar tetap berada dalam jangkauannya.Myra berhenti bernapas. Berhenti berpikir. Berhenti memberontak. Bahkan bila dia bisa hidup dengan jantung yang tak berdetak, dia pun akan berhenti melakukan itu semua. Yang dirasakannya hanyalah kehangatan. Kehangatan di antara gemuruh air yang berjatuhan di atas mereka.Selama sekian detik jiwa mereka ber
“Kalau boleh tahu, kapan ayahmu meninggal?” “Sekitar dua belas tahun lalu. Aku tidak terlalu ingat. Dia meninggal bersamaan dengan keluarga Limawan.” Myra terhenyak. Sesuatu telah terjadi pada keluarga mereka. Hanya Myra belum bisa menyimpulkan apa-apa. Kematian ayahnya sendiri sampai sekarang belum menemukan titik terang, meski pelayan wanita yang mengantarkan anggur itu mengaku telah meracuninya. Gerwin menghentikan penyelidikan tersebut tanpa sepengetahuan mereka. “Aku yakin ayahmu pasti sudah tenang di sana,” ucap Myra, “seperti juga ayahku.” Kepala Flora sedikit tertunduk. Namun dia terlihat sudah tak begitu ingat dan tak begitu peduli akan kejadian tersebut. Ayahnya mati saat usianya begitu kecil, sehingga kenangan yang muncul tak begitu jelas. “Ayahku tidak mati karena ledakan itu,” ucap Flora. Myra mengangkat kedua alisnya. “Kata Kak Gene, ada yang menembaknya. Tidak tahu siapa yang melakukan hal itu, tapi Kak Gene bila