Siang yang terik itu harus dihabiskan Adhira dengan membersihkan lantai, mengelap jendela, memotong rumput, dan menyemir sepatu. Tentu saja bukan sepatunya. Itu milik Willian Osman, suami dari Tante Durga. Tante Durga sendiri saudara perempuan ibu kandung Adhira. Pada ledakan listrik dua belas tahun lalu, kedua orang tuanya mati tersambar listrik. Peristiwa mengenaskan tersebut membuat Adhira resmi menjadi anak yatim piatu.
Sejak usia tiga tahun Adhira tinggal bersama keluarga Tantenya. Hampir seluruh pekerjaan rumah dihibahkan pada Adhira. Sesekali Kiara ikut membantu. Tapi Tante Durga tidak pernah senang kalau anak sematawayangnya itu menolong Adhira. Bagi mereka, hutang Adhira tak pernah bisa terbayarkan melalui pekerjaan kasar tersebut.
“Setelah nyemir, nanti kamu tolong potong rumput di depan sana ya.” Tante Durga mulai memerintah dengan suara nyaring. Dia baru saja selesai membuat kue tart untuk ulang tahun Kiara besok.
“Bukannya ada Pak
Bermalam di bawah pohon merupakan salah satu hal mengenaskan yang sering diterima Adhira semasa tinggal bersama keluarga Osman. Tiupan angin menusuk hingga ke tulang dan lapisan ototnya, membuatnya menggigil sepanjang malam. Adhira terbangun ketika bebek yang dipelihara Kiara mematuki perutnya yang kejatuhan biji kenari. Sadar akan keterlambatannya, Adhira segera bangkit dari semak dan melangkah menuju ke sekolahnya lagi. Sudah cukup angin fajar ini menghajar tubuhnya semalaman, dia tidak mau hukuman di Equator makin memperpendek usianya lagi. Kiara diantar oleh Willian pagi itu. Pamannya sengaja melakukan itu untuk menghukum Adhira secara tidak langsung. Biasanya berjalan sejauh tiga kilometer menuju sekolah bukan hal yang berat baginya. Namun untuk kali ini, tungkainya seperti menolak untuk bergerak. Sementara dia harus lebih cepat mencapai Equator karena dia bangun setengah jam lebih lama dari seharusnya, dan dia juga berniat mandi di sekolah bila memungkinkan.
“Kamu sudah siap baca pidato?” “Saya… belum selesai Pak,” jawab Adhira salah tingkah. Jelas-jelas dia belum mengerjakan tugasnya sama sekali. “Sudah sejam lebih saya kasih waktu untuk kerjain tugas ini. Kamu sudah tulis sampai mana? Baca saja sampai batas yang sudah kamu kerjakan.” Pak Heno duduk di meja guru menantikan Adhira ke depan kelas. Adhira mengamati meja belajarnya yang hanya ada buku kosong dengan potongan kertas koran yang tadi dijadikannya selimut itu. Dengan perlahan dia melangkah ke depan. Ervan masih duduk tenang mengerjakan pidatonya. Adhira yang tengah melintasi tempat duduk Ervan dengan cepat merebut bukunya dari Ervan. Usahanya tak berhasil karena Ervan dengan erat memegang bukunya. Kertas yang tadi diperebutkan malah robek. Terlepas dari kemarahan Heno, sekarang Ervan ikut kesal dengannya. Adhira tak punya pilihan selain maju dan mengarang naskah pidato yang ada di kepalanya. Sebuah tugas yang akan sangat berat dilakukan b
Seusai membereskan tabung kimia yang berserakan di meja praktikum, Adhira pun kembali ke kelasnya. Rasa terbakar baru terasa ketika dia hendak meraih buku yang ada di laci mejanya. Jemarinya terhenti permukaan kulit yang terpercik air keras tadi bergesekan langsung dengan permukaan bawah meja yang tak berpelitur. Namun bukan itu saja yang membuat Adhira tertegun.Sepucuk surat beramplop cokelat tergeletak di atas tumpukan buku tersebut. Adhira tidak bisa menebak dari mana surat itu berasal karena tidak ada tulisan apa-apa di luarnya selain gambar lima roda gerigi. Sebuah kertas tebal yang menyerupai kartu terbungkus di dalamnya.UNDANGAN RAPAT ALIANSI LIMA PILARKepada: Adhira LimawanTempat: Aula Utama Paviliun CenturionWaktu: Minggu, 20 April 2003 19.00 WIBTerdapat barcode hitam putih tercetak di bagian bawah tulisan tersebut. Mungkin itu kode yang bisa dipakai untuk ikut dalam rapatnya. Hanya itu saj
Sosok Alan Sadana yang disebut-sebut perintis Aliansi Lima Pilar itu tiba beberapa menit setelah bel istirahat kedua berdering. Adhira pernah melihat rupa sang guru besar itu saat upacara bendera. Rambutnya sudah sepenuhnya berwarna putih. Keriput merambat di sekeliling matanya. Walau begitu, kilatan terang dari kedua bola matanya tampak begitu dalam dan tajam.Berhubung kelas pelajaran kewarganegaraan sedang kosong, Profesor Alan Sadana yang merupakan ketua yayasan SMA Equator itu pun mengisinya dengan materi penguatan moral.Adhira memandang pria tua tadi melangkah perlahan menuju ke tengah kelas. Ada satu orang pendamping yang selalu mengekor di belakang Profesor Alan. Kata Kuswan itu adalah keponakannya yang paling muda. Namanya Renal Sadana. Sekarang sedang menempuh ujian masuk universitas di Jerman. Dia almamater SMA Equator juga. Perawakannya tinggi dan dia memiliki kulit bersih. Seperti juga keluarga Sadana yang lain, Renal terlihat patuh dan disiplin. Me
Adhira keluar dari halaman sekolah dengan lesu. Mengingat pertengkarannya dengan paman dan bibinya, membuatnya enggan kembali ke tempat itu lagi. Lamunannya diruntuhkan ketika seorang gadis SMP muncul dan langsung menggandeng tangannya melangkahi gerbang depan sekolah.“Kak Adhi, pulang yuk.” Kiara menariknya memasuki bus yang mengarah ke jalan pulang. “Tenang aja, Mama pasti sudah tidak marah lagi kok.”Saat hendak memasuki bus, Adhira sempat melihat Ervan yang dijemput oleh seorang sopir. Ervan sempat menoleh ke arah Adhira, yang segera disambut dengan lambaian tangan.“Daffin, besok bagi cotekan soal biologi ya!”Muka muram Ervan langsung tersembul di wajahnya yang putih itu. Dia tak menggubris permintaan Adhira dan segera melayang masuk ke mobilnya.Kiara menempelkan kartu busnya dua kali saat Adhira sudah berada di dalam bus. Dia mengeluarkan sebongkah es krim dari tas ranselnya.“Dari mana?&rdq
Penjaga tersebut melihat lengan Ervan yang berdarah langsung kembali sigap menahan Adhira.“Hei, aku bukan orang jahat. Aku temannya.” Adhira protes sambil tetap memeluk kantung berisi ceri. “Daffin, itu rumahmu? Kenapa tidak bilang dari tadi?”Ervan menutup lengannya yang terluka tanpa menggubris ocehan Adhira. Dia berjalan beriringan dengan anjing tersebut melewati jembatan. Sementara tiga penjaga langsung mencekal kedua lengan Adhira dengan erat.“Daffin, ayolah, kita kan teman sekelas. Masak kamu mau menangkapku begitu saja?”“Jangan banyak alasan!” ujar salah satu penjaga. “Sudah maling, mau culik orang lagi.”“Culik? Siapa juga yang mau culik tuan kepala es kayak dia? Aku cuma minta beberapa biji ceri kalian saja. Pelit amat sih!”Adhira mengernyit tak setuju. Namun percuma. Semua pembelaannya terlihat sia-sia. Ervan hanya diam membiarkannya bercelotek sepanjang pe
Kuswan menghampiri Adhira yang masih berkali-kali menguap dan menggaruk matanya. “Tumben tidak telat.” Saat Adhira melintas ke tempat duduknya, aroma khas lavender terendus dari tubuh Adhira, “Kamu kok…” Kuswan tak berani banyak berkomentar. Dia hanya menduga Adhira menggunakan minyak wangi yang sama dengan Ervan sekarang. “Apaan sih?” “Kamu sudah mengerjakan tugas biologi?” dalih Kuswan. “Pinjam dong.” Raut Adhira langsung berseri. “Tentu saja. Ayo, mau bayar berapa?” Kuswan langsung manyun. Dia menarik kertas folio tadi dari tangan Adhira. Takjub dengan hasil tulisan tersebut. Bagaimana Adhira bisa menjadi begini rajin sekarang? Dia segera menyalin jawaban ke kertas tugas miliknya. Waktu mereka sudah tidak banyak. Pak Okra tiba saat bel berdering untuk ketiga kalinya. “Beri hormat!” Suara Ervan yang lantang menertibkan tiga puluh murid dalam satu waktu. “Selamat pagi Pak Okra!” “Baik, kemarin ada tugas
Hujan baru mengguyur kota ini saat menjelang sore. Untuk pertama kalinya Adhira bisa datang ke bimbingan matematika yang sempat ditawarkan Bu Tamara beberapa waktu lalu. Hanya ada segelintir murid yang ada dalam ruangan tersebut. Kelas besar ini terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai peminatannya masing-masing.“Kamu datang juga akhirnya.” Bu Tamara menyambut dengan nada datar. Ada dua orang siswa yang juga tengah mengerjakan soal yang ada di selembar kertas. Ketika alarm berbunyi, mereka langsung meletakkan pensilnya.Adhira mengambil tempat di belakang mereka.“Tidak usah duduk terlalu jauh. Kita di sini hanya berempat.”Bu Tamara mengeluarkan sekaleng soda dari tas kecilnya itu. Dia membaginya pada setiap murid yang ada. Tampaknya anak-anak jenius ini memiliki keistimewaan khusus untuk tidak perlu mematuhi peraturan sekolah yang ketat itu. Bahkan Adhira bisa melirik salah satu dari siswa itu hanya datang menggunakan sandal jep
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A