Aroma rumah sakit yang menyengat membuat Adhira selalu pusing. Jadi dia bergegas menyelesaikan segala prosedur yang dimintakan Ervan dan mengendap di ruang konsultasinya yang bebas dari bau desinfektan itu. Sebelum ke rumah sakit, Adhira sudah membuat lupis dan cemilan ringan untuk Ervan. Dia tahu Ervan tak akan sudi membelinya di pasar atau pinggiran. Adhira membuatkan khusus untuknya.
Saat Adhira mendatanginya, seorang perempuan duduk dengan bercucuran air mata di depan Ervan. Dari seragam yang dikenakannya, wanita itu bukanlah pasien.
“Kamu sudah tahu konsekuensi yang telah kamu lakukan,” ucap Ervan datar. “Jika tidak ada urusan lagi, silakan tinggalkan ruangan ini.”
“Dokter Ervan, saya betul-betul minta maaf. Saya tidak tahu kalau kecerobohan itu mengakibatkan pasienmu….”
“Pergilah!” hardik Ervan dengan nada suara yang lebih keras.
Baru kali ini Adhira melihat Ervan membentak seorang wanita
Saat jam istirahat Ali pun mendatangi meja Adhira dan Ervan. Dia masih mengenakan pakaian jaga dan topi OK. Berhubung Adhira tanpa sengaja mengajaknya ikut makan siang bersama, dengan semangat Ali pun turun ke ruang makan. Tempatnya tak jauh dari kantin rumah sakit, hanya lebih teduh karena ada pepohonan dan kolam ikan koi di sekelilingnya.“Wah, aku baru tahu kamu bisa memasak,” puji Ali dengan wajah lapar. “Jadi, mana jatahku?”Ervan sudah menarik kotak ketiga ke bawah kotak makanan pertamanya. Jadi wadah yang tersisa hanya nasi liwet yang tinggal separuh beserta lauk dan kuah opor.Ali agak kecewa, tapi karena gratis dia pun tak menolak.“Aku juga tidak menyangka Ervan bisa makan begitu banyak hari ini. Lain kali aku akan buat lebih banyak lagi.”“Tidak perlu,” ucap Ervan. “Aku akan pulang dan makan di apartemen jika kamu membuat makanan.”“Tapi apartemenmu kan jauh.”
Adhira berpikir dia akan menghabiskan waktu lebih panjang di pemakaman Profesor Alan, tapi nyatanya Adhira merenung lebih lama di depan nisan Yasir Pranadipa. Nyawa seseorang telah melayang karena kelalaiannya. Dia tahu Yasir telah membuatnya emosi dan mengakibatkan kematiannya sendiri, namun Adhira tak pernah ingin mencabut nyawa orang yang disayangi oleh sahabatnya sendiri.Walau kini dia bersujud dan meminta pengampunan, tragedi di antara mereka sudah berlalu. Kuswan tak akan pernah lagi tersenyum padanya, mengalungkan tangan di bahunya, dan mengatakan, “Mainkan sebuah lagu dan aku akan berpuisi untukmu.”Kuswan tak akan lagi mau mengajaknya berkubang dalam keonaran dan saling menertawakan kesialan masing-masing, atau menandani rambutnya seperti seekor burung merak. Dia tak akan pernah lagi mendapat teman semenyenangkan itu.Kuswan yang sekarang adalah pria berwajah galak yang siap mengepalkan tangannya setiap melihat Adhira, yang akan memakinya d
Sebenarnya saat Flora mengutarakan motifnya menyelidiki tentangnya, Adhira juga menanyakan beberapa hal padanya, termasuk meminta Flora menceritakan apa yang telah terjadi pada keluarganya dan keluarga Defras.Adhira ingat ketika Genever harus dikeluarkan dari sekolah karena pertikaiannya dengan Raula saat SMA dulu. Dia putus sekolah dan bersama ibunya bekerja di kediaman Defras. Pekerjaan di dapur kediaman Defras tidak membutuhkan banyak keahlian. Dia bertugas mengantar bahan pangan dari pasar untuk dijadikan makanan siap makan.“Gene, kenapa hari ini wortelnya jelek sekali?” ujar ibu pelayan. “Kamu tahu kan Nona Lyra maunya wortel yang warna merah? Bukan yang kuning begini.”“Suruh dia sendiri yang beli ke pasar.” Genever menukas ketus.Wajahnya sebagian sudah berubah menjadi jaringan parut. Kulit yang kontraktur itu menarik sisi leher dan rahang kanannya.“Hush, Gene! Jangan ngomong begitu, tidak e
Mereka menghabiskan banyak waktu sepanjang hari di taman belakang semenjak Myra mengundangnya dalam kelas belajar. Genever sering menunjukkan foto-foto saat dia berjalan-jalan di luar. Setiap gambar yang diperlihatkannya, Myra selalu menatap dengan penuh minat.Satu hal yang akhirnya membuat Genever mengerti, Myra memiliki keterbatasan untuk bisa keluar dari rumahnya. Gadis ini tak pernah mendapat kesempatan seperti anak-anak lainnya. Semias terlalu sibuk untuk mengajaknya jalan-jalan. Dia hanya terkurung di rumah mewahnya ini tanpa pernah melihat dunia luar.Myra ingin melihat laut, menginjak pasir dan membelah ombak, menghirup udara gunung yang sejuk, menari di bawah sinar matahari. Dia selalu mendengar cerita orang-orang. Itu pula yang membuat lukisan lansekap yang dibuatnya tak pernah terlihat hidup. Itu hanya dia tiru dari majalah bekas dengan sedikit imajinasinya sendiri.Genever memperhatikannya untuk beberapa waktu sebelum bertanya, “Myra, apa kamu
Seorang pria berusia separuh abad itu turun dari mobil, diikuti dengan dua pelayan lain.“Papa?”Dengan sedikit geram, dia berkata pada mereka, “Myra, kembali ke mobil. Dan kamu, jangan ajak anak saya keluar lagi setelah ini.”Keduanya tak bisa berkutik saat pelayan tadi menurunkan Myra dari motor Genever dan membawanya masuk ke mobil.“Sudah berapa kali Papa bilang kamu tidak boleh pergi keluar sendiri,” tegur pria itu dalam perjalanan pulang.“Myra kan perginya sama Gene. Bi Iren kan juga mamanya Gene.”“Myra!” bentak Semias pada anak gadisnya tadi. “Kamu ini dibilang malah membantah. Dia itu anak pelayan yang dikeluarin dari sekolahnya karena terlalu bandel. Kamu tidak boleh berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Terus orang-orang yang bagaimana yang pantas? Gene dikeluarkan juga karena dia tidak sengaja menumpahkan air keras itu.”&ld
Lyra dan Ingvar duduk di pelantara depan dengan senyuman tajam.“Bagaimana kencannya?” sindir perempuan itu saat Myra didorong masuk ke dalam rumah.Ingvar yang tak mengerti ucapan Lyra hanya memandang heran. “Myra, ke mana sepatumu?”Myra tahu Ingvar tak bermaksud bertanya karena perhatian padanya. Niatnya lebih dari itu. Dia ingin Myra selalu ditutupi oleh rasa malu sehingga saat kesempatan itu memang muncul, dia kembali menggaungkan cibiran pedas kepadanya.“Untuk apa memakai sepatu kalau tidak dipakai buat berjalan?” cetus Lyra.Myra berlalu tanpa menggubris baik pertanyaan Ingvar atau juga jawaban dari saudara perempuannya yang sangat masuk akal.Sejak kejadian tersebut, Genever tidak pernah lagi muncul setiap dia turun ke dapur atau belajar di taman. Myra berulang kali menitipkan barang untuk diberikan diantarkan oleh Genever, tapi setiap dia meminta Bi Iren mengantar barang, Genever tidak pernah ada
“Akhirnya kau datang juga.”Dari balik pohon beringin tua, suara itu muncul.“Aku sudah menemukan buktinya,” ucap Genever tanpa menoleh. “Dia orang yang telah membunuh ayahku.”Orang itu menepuk bahu Genever, “Sudah kubilang mereka mengasihanimu karena mereka merasa bersalah.”Genever mencekal kedua tangannya penuh amarah, “Berikan aku racunnya.”Dia sudah berdiri di tengah-tengah seutas tali. Tidak ada jalan lain selain melepaskan diri dari dendam yang menjeratnya. Sejak malam waktu ayahnya ditembak dua belas tahun lalu, Genever selalu dihantui bayangan mengerikan. Dia harus menghabisi orang itu sebelum segala yang dimilikinya kembali hilang.Sosok dalam gelap tadi menyodorkan sekantung pakaian serba putih beserta sebuah vial kecil berisi cairan bening kekuningan.“Di dalamnya ada benda yang kamu butuhkan. Jangan salah langkah,” ucap pria itu lagi. “Butuh s
Tiga bulan sejak kematian Semias, kediaman Defras didatangi seorang pria yang merupakan adik kandungnya. Pria bernama Gerwin itu pernah bekerja di perusahaan yang dikelola Semias. Hanya saja, Gerwin bukan orang yang terampil dalam mengurus perusahaan besar. Mentalnya operator dan jiwa bisnisnya gersang. Jadi selain melanjutkan apa yang telah ditinggalkan Semias, perusahaan Defras sebetulnya sudah di ambang kehancuran.Untungnya anggota aliansi masih mengasihani perusahaan besar yang sudah bobrok di tangan penerus yang tak kompeten tadi. Menurut mereka, harga persahabatan masih bisa dibayar dengan uang. Jadi pada akhirnya, ini semua hanyalah sebuah simbiosis mutualisme antar perusahaan di aliansi belaka.Gerwin membawa istri dan anak-anaknya ke rumah tersebut. Seluruh anaknya adalah perempuan dan jumlah mereka ada enam!Keadaan yang begitu ramai tentu membuat Myra kembali mengurung diri di kamarnya. Hal yang berbeda terjadi pada Lyra, sejak enam anak perempuan it
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A