Tepukan pada punggung tangan dengan cepat menarikku dari seluruh ingatan itu. Dalam putaran waktu yang sebenarnya bahkan belum berlalu satu jam, tapi aku malah merasa seakan mengulang satu demi satu kejadian itu selama bertahun-tahun.
Mengingatnya kembali, membuatku seperti berjalan di dalam labirin, setiap belokan yang harus dilewati untuk menuju jalan keluar menyuguhkan rekam dengan begitu nyata rasa sakitnya. Tertatih, terhuyung, sudah tak terhitung berapa sering aku membentur ataupun menginjak kerikil tajam yang menusuk.
“Kakek sama nenek nyeremin ternyata. Padahal, kalau datang atau disamperin selalu kasih uang banyak,” komentar Nisa setelah mendengar seluruh cerita itu.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Aku tak bermaksud untuk mengejek apalagi menjelekkan orang tua sendiri, tapi seperti itulah adanya mereka. Ibu selalu menganggap uang adalah segalanya, nilai kebaikan di mata wanita itu adalah saat dia berhasil memenuhi kebutuhan dan memberi.
“Tadi malam aku liat Nayla duduk berduaan si Makmur di pelatar. Mana mepet banget lagi,” celetuk sebuah suara yang sepertinya sengaja dinyaringkan.Aku yang semula menjemur pakaian, mencuri pandang untuk memastikan. Nurul tampak memeragakan dengan kedua tangan yang ditangkupkan saling bergenggaman. Meski sedang lari pagi bersama Laila, sepertinya dia masih bisa mengatakan ucapan itu dengan cukup lancar.“Aku semakin yakin kalau ada apa-apa sama mereka,” timpal Laila.Aku menggeleng berpura-pura tak mendengar. Dibanding memikirkan ucapan mereka, masalah yang kuhadapi sekarang jauh lebih mendesak untuk segera diselesaikan. Bagaimana aku harus bisa melepaskan diri dari pria bejat itu sebelum ada yang semakin curiga.Tadi malam saja, sebuah keberuntungan karena Kak Makmur akhirnya mengalah. Perihal dia percaya atau tidak, lebih baik aku tak membahasnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari pertanyaannya yang selalu tepat dengan
Aku menunduk memandangi piring. Tangan yang gemetar kupaksakan bergerak untuk menyendok makanan sendiri dan menyuapnya.“Nay, maaf kalau tadi aku udah lancang,” sesal Husin pelan.Aku hanya mengangguk pelan, mengunyah makanan yang rasanya seperti duri-duri beracun setiap ditelan. Tak ada lagi percakapan, ruang pendengaran hanya mendapati suara sendok yang beradu dengan piring. Aku menyadari sepi yang semakin mengelilingi. Kesepian diliputi rasa bersalah yang menjadi-jadi.“Aku mau ambil air dulu,” pamitku yang segera melangkah ke dapur.“Mbak Nay, nitip, ya?” pinta Nisa yang masih terdengar ragu-ragu.Aku hanya meneruskan langkah tanpa menjawab. Di dapur, kuambil teko air dan mengisinya penuh. Meletakkan pada nampan bersama dua gelas kosong. Sebelum membawa keluar, aku memilih mengisi satu gelas air terlebih dahulu.Di sisi galon, aku berjongkok memandangi gelas di genggaman. Kaca-kaca yang mul
Pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan itu semakin sering menyudutkanku. Bagaimanapun aku membuat alasan, rasanya aku sangat yakin kalau mereka takkan serta merta mempercayai hal itu.**Usai mandi, kugantungkan handuk di luar untuk dianginkan sebentar. Kemudian turut duduk di pelatar bersama Kak Lily dan Kak Aulia yang sedang berbincang. Sambil menyisir rambut, aku hanya menyimak mereka yang sedang membahas sulitnya menjadi satu-satunya wanita di rumah. Selain anak, mereka terdengar sama-sama mengeluhkan suami yang manja, lalu malah saling tertawa setelahnya.“Rasanya kaya punya dua bayi, tapi beda usia!” celetuk Kak Lily yang segera ditimpali Kak Aulia dengan tawa.“Apa pernikahan itu harus? Apa perempuan harus tunduk sama laki-laki?” tanyaku tanpa sadar saat di kepala terbesit ingatan tentang perlakuan Kak Ijul.“Laki-laki seperti apa yang pantas dijadikan suami, sih?” lanjutku lagi yang malah mengubah
“Rasanya lebih menyenangkan saat melihat kamu yang ceria. Jadi, apa pun masalah yang kamu punya, kapan pun itu, aku selalu terbuka buat mendengarkan.” ** “A-apa Kakak ingat ucapan Kak Yuni saat marah malam itu?” tanyaku dengan hati-hati. Berusaha mengalihkan pembicaraan sekaligus menjadikan hal itu sebagai alasan agar berhenti ditanyai. “Ingatanku masih berfungsi dengan sangat baik, Nay. Semuanya, dengan jelas,” jawab Kak Makmur. Setelah memastikan bahwa Kak Makmur benar-benar berjanji akan merasahasiakan percakapan kami, aku menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan. Kualihkan pandangan darinya dengan menjadikan bintang-bintang di langit sebagai fokus. “Sebenarnya aku sedikit terganggu karena itu. Apa aku terlihat seperti orang yang tak tahu balas budi? Apa aku seperti orang jahat kalau menganggap Kak Yuni mengatakan semuanya hanya karena tak ingin dipandang jelek sendirian?” Kukepalkan genggaman tangan saat dugaan-dugaan seperti itu
Baru tertidur saat menjelang Subuh membuatku dan Nisa terbangun lebih siang dibanding biasanya. Suasana sekitar sudah sepi, sepertinya tiap-tiap orang telah pergi untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Nisa sendiri memilih tetap di kamar dengan alasan masih lemas dan mengantuk.Aku sendiri terpaksa melawan rasa malas, mengingat harus mencuci pakaian agar tak sempat menumpuk dan juga beberapa pekerjaan rumah lain. Rasa segar dari guyuran air yang mengenai kulit perlahan-lahan mengusir sisa kantuk. Ketukan cukup yang terdengar membuatku menengok ke luar kamar mandi. Tampak tak ada siapa pun. Ketika kembali terdengar, segera kumatikan kran air untuk memastikan asal arah bunyi tersebut. Beberapa saat, aku baru menyadari kalau bunyi itu berasal dari dinding kamar mandi di belakangku, dinding kayu yang membatasi antar rumah Kak Yuni dengan rumah Kak Lily. Rasa dingin dengan cepat mengundang gigil di sekujur tubuh saat menerka-nerka siapa yang melakukannya.
Usai sarapan, Husin membantuku mengangkat piring ke dapur. Aku sama sekali tak bisa apalagi berani membantah karena dia memegang satu kunci rahasia. Walau terganggu, aku hanya bisa bersabar seiring tingkahnya yang semakin berubah.“Jangan takut seperti itu, aku juga gak punya hak buat melarang kalau kamu ingin memakainya,” godanya yang turut duduk tak jauh dari kamar mandi.“Aku gak berniat seperti itu.” Kufokuskan pandangan pada gerak tangan yang tengah menggosokkan spons penuh busa pada permukaan piring.“Kalau begitu, untuk apa kamu menyimpannya? Aku sempat mendengar kalau kamu juga mencoba bunuh diri waktu itu, jadi sepertinya cukup wajar kalau kamu memakai obat itu untuk mengurangi rasa depresi. Aku juga pemakai, jadi kamu gak usah khawatir kalau rahasia itu bakal bocor.” Ungkapan yang diucapkan Husin dengan bangga itu, lebih tidak bisa dianggap sebagai sebuah pengertian.“Kamu cukup menelannya. Efek yang
(Bab ini mengandung adegan kekerasan yang dikhawatirkan akan menimbulkan trauma. Harap bijak saat memutuskan ingin membaca. Terima kasih)Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang baru terbuka. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaran. Denyut menjalari kepala yang terasa berat.Sebuah langit-langit bangunan yang tampak membuatku terkesiap dan segera bangkit. Terlebih saat duduk, angin yang leluasa menerpa langsung pada kulit menyadarkanku kalau pakaian tak lagi terpasang utuh. Selain pada punggung dan pinggang, nyeri juga terasa pada area kewanitaanku.Tergesa aku memakai kembali pakaian dan berdiri. Terpaksa berpegangan pada tembok karena lutut yang benar-benar lemas tak bertenaga.Apa aku tertidur? Sejak kapan? Berapa lama? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi padaku? Di mana Kak Ijul? Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk itu semakin membuatku merasa gelisah bercampur sesal. Lagi-lagi, aku membiarkan hal itu terulang meski telah berniat ingin mengakhirinya.
Begitu selesai makan malam, Kak Yuni memerintahkan Nisa untuk segera tidur. Namun, sebaliknya malah memintaku untuk menunggu sebentar dengan alasan ada yang ingin dibicarakan. Aku hanya menurut dan memilih membaca buku sambil menanti Nisa benar-benar terlelap.Menjelang pukul sembilan, barulah Kak Yuni mendatangi aku yang menunggu di kamar. Keseriusan yang tercermin pada raut wajahnya membuatku merasa sedikit gugup dan mulai menebak-nebak.‘Apa ada yang mengetahui tentangku dan Kak Ijul tadi siang lalu melaporkannya?’ Hanya satu hal itu yang terus berulang kali kupertanyakan.“Ujian sudah di depan mata, Nay. Apa kamu sudah belajar dengan serius?” tanyanya yang duduk di sebelahku.“Selama sekolah, kan, aku tiap pulang selalu mengulang pelajaran. Malamnya juga sebelum menyiapkan buku buat dibawa, aku baca-baca dulu. Jadi, aku bisa cuma mengulang membaca aja, Kak,” sahutku agar Kak Yuni tak perlu terlalu mengkhawatirka
"Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli