“Saya adalah wujud dari pusaka Kembang Wijaya, Tuan,” jawabnya. Soleh menatap lelaki itu, wajah itu akrab sekali baginya. seperti pernah mengenalnya, entah di mana. Rendra pun bertanya kepada lelaki itu, apa yang harus dilakukannya. “Saya tidak bisa mengatakan apapun, Tuan. Hanya anda yang mengetahui bagaimana caranya,” tutur lelaki itu. Sosok wujud dari pusaka itu pun menghilang, Rendra duduk bersila di atas tempat tidurnya. Lelaki itu memejamkan matanya lalu fokus mencari jawaban di dalam diamnya. Sinar berwarna putih keperakan yang menyilaukan kembali keluar dari dalam dadanya. Tubuh Wahini dan Wahiru yang sedang duduk bersila melayang lalu berhenti tepat di depannya. Rendra membuka mata, kedua telapak tangannya di letakkan di dada keduanya. Jeritan kesakitan terdengar saat sinar putih itu masuk ke dalam tubuh Wahini dan Wahiru. Lelaki itu terbayang perjuangan keduanya, air matanya menitik karena terharu. Benaknya terus saja merutuki dirinya yang penakut. Rasa bersalah bergela
Fitri menoleh ke arah suara, wanita itu kini sudah berada di sisinya dan menatapnya seolah akan menelannya saat itu juga. Gadis itu menelan air liurnya dengan susah payah, wajahnya kini pucat. Saat akan menjawab, Fitri melihat mata wanita yang menyapanya itu sudah berubah menjadi hitam gelap seperti malam kelam. Sari menyikut lengan Fitri, gadis itu tergagap. “Maafkan saya, Bu. Gugup sekali dan juga saya lapar karena belum sarapan,” tutur Fitri. “Panggil saya Bu Sinta, pemilik supermarket ini. Baiklah, maju ke depan dan perkenalkan dirimu,” perintah Sinta. Fitri pun memperkenalkan dirinya kepada karyawan lainnya. Kemudian satu persatu karyawan itu memperkenalkan dirinya berikut dengan jabatannya. Tampak seorang lelaki tampan berkulit putih menatapnya tajam. “Baiklah, Fitri hari ini berada di bagian pembelian sebagai kasir, menggantikan Hilda yang tidak masuk selama seminggu. Panji, dia adalah anggotamu, ajari dengan baik,” titah sinta. Lelaki itu mengangguk pelan dan tampak tak a
Wajah Fitri memerah, napasnya tersengal seiring dengan dadanya yang naik turun. Cekikan itu semakin kencang, bahkan paru-parunya seakan ingin meledak. ‘Allahuakbar ... Allahuakbar, Lailahailallah,’ ucap Fitri di dalam batinnya. Gadis itu memejamkan matanya dengan air mata menetes. Brak. Tubuh Fitri terhempas ke belakang, saat cahaya biru melesat keluar dari balik bajunya. Tangan yang mencekiknya menghilang, begitu juga dengan kepala tanpa tubuh yang berada di atas mejanya itu. “Alhamdulillah ... “ ujar Fitri. Gadis itu lalu mengambil sebuah cermin untuk melihat lehernya. Tampak jelas bekas cekikan berada di sana. Fitri kembali terkejut, tatkala sesosok nenek berada di belakangnya. Gadis itu segera membalikkan tubuhnya, tidak ada apapun. Dia kembali melihat cermin, sosok itu masih berada di sana. Sosok itu seakan mengatakan sesuatu kepadanya. Rasa takut membuat tangan gadis itu gemetar, sehingga cermin yang berada di tangannya pun ikut bergetar. Fitri berusaha meneguk salivanya de
Wajah Sinta tampak mengerikan, persis seperti ular dan selalu mendesis. Rambutnya tiba-tiba berubah sangat panjang, dan acak-acakan. Bagian tubuh yang lainnya juga sudah menjadi ular kini seolah sedang berdiri tegak. Kedua tangannya bersisik seolah ingin menggapai sesuatu. Air terus saja mengalir membasahi tubuhnya, taring mulai muncul satu persatu. Guyuran air itu seakan tidak bisa meredam panas di dalam tubuhnya sehingga tubuhnya terus saja berubah menjadi sosok ular yang sangat besar. Fitri sudah selesai dengan laporannya. Kini waktu menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima menit. Gadis itu menghitung sisa uang yang berjumlah tiga juta rupiah kemudian menuju ruangan Panji. “Permisi, Pak. Mau laporan hari ini,” ucap Fitri. Panji yang sedang sibuk dengan pekerjaannya pun mengangkat kepalanya. Lelaki itu meminta Fitri meletakkan buku dan uang di atas mejanya dan memintanya segera keluar dari ruangannya. Fitri pun meletakkan sesuai dengan permintaan atasannya itu lalu pamit k
“Siapa kau?” tanya Soleh digin.Fitri yang memangku kepala Sari pun tersentak mendengar suara itu. Dadanya berdebar tidak karuan, dia tidak sadar jika liontinnya tidak bereaksi apapun. Wajahnya bersemu merah dan sikapnya gugup.Beberapa gadis yang juga mengerumuni Sari dan Fitri pun menyingkir. Sebagian dari mereka berbisik memuji ketampanan lelaki itu dan mulai berandai-andai.“Aku ... Hildaaa,” jawab Sari.Suara itu bukan milik Sari, suaranya lirih dan seperti kesakitan. Sari tiba-tiba membelalakkan matanya, tampak bola matanya memutih seluruhnya, Fitri gemetar ketakutan sementara gadis lainnya menyingkir perlahan bahkan ada yang berlari ketakutan kembali ke kamarnya. Hawa dingin dan berbau busuk mulai menguar. Gadis yang tersisa memaksakan diri berada di sana karena pesona Soleh, penjaga kos pun berlari tergopoh-gopoh menuju lelaki itu. Gadis-gadis itu merasakan bulu halus di tubuh mereka mulai meremang, Beberapa ada yang mengusap tengkuk dan lengan mereka lalu bergidik.Penjaga ko
“Jadwal Bu Sinta Libur? Supermarket ‘M’? Ini kunci apa?” tanya Soleh pada dirinya.Tak mau membuang waktu, lelaki itu segera menuju masjid dan duduk di tangga sebelah pintu masuk.Lelaki itu mulai menghubungkan pesan arwah tadi dengan kotak yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.Soleh meletakkan kotak itu di dalam lemari kaca tempat penyimpanan perlengkapan salat, lalu segera ke luar untuk mengambil wudu. Lelaki itu kemudian menunaikan salat dengan tenang.“Tega bener ga nyamperin aku,” sungut Rendra.Rendra heran tidak seperti biasanya Soleh tetap berada di dalam masjid usai salat maghrib. Kali ini dia duduk di teras sambil termenung.Soleh menoleh sebentar kemudian kembali mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan. Rendra duduk di sisinya dan melakukan hal yang sama. Tiba-tiba Soleh menjentikkan jarinya dan menepuk bahu sepupunya itu.Rendra yang sedang termenung tentu saja merasa terkejut dan memasang wajah cemberut.“Sepertinya aku harus meminta bantuanmu,” tandas Soleh.
“Loh ... di mana kunci itu? Tadi ada di saku,” gumam Soleh.“Ketinggalan mungkin. Besok kita antar lagi,” saran Rendra.Rendra pun melangkah terlebih dahulu meninggalkan sepupunya, namun segera dicegah oleh Soleh.Soleh menatap serius, lalu memejamkan matanya. Kemudian meminta Rendra melakukan hal yang sama dan mengatakan apa saja yang di rasakannya.“Kamarnya panas sekali,” ujar Rendra.“Kamu benar, itu biasanya salah satu tanda jika penghuninya akan dijadikan tumbal,” sahut Soleh. “Ayo, nanti kita kemaleman,” ajak Soleh.Mereka berdua bergegas menuju kamar kos yang akan mereka tuju. Tampak oleh mereka Sari dan Fitri sedang bersenda gurau sambil makan malam.Kedua lelaki itu mengucapkan salam yang dijawab oleh kedua gadis itu. Mengetahui siapa yang datang, jatung Fitri berdegup kencang, sesekali liontinnya bergetar. Wajahnya tersipu dan mencuri pandang ke arah Soleh.Rendra dan Sari memperhatikan Fitri yang mulai salah tingkah. Sementara Soleh tetap bersikap dingin, tak mengacuhkann
“Maaf, Pak Panji, saya yang meminta mereka. Ada daging tiga minggu yang lalu yang akan di retur,” celetuk Sari.Tampak Sari membawa selembar kertas dan di periksa oleh Panji, lelaki itu mengangguk, lalu ke luar.Tubuh Fitri yang gugup dan gemetar ketakutan luruh ke lantai. Sari bergegas mendekat dan meminta Soleh membukan ruangan yang tertutup rapat itu segera.“Waktu kita tidak banyak, ruangan ini terlalu dingin. Bisa berbahaya terlalu lama di sini,” sosor Rendra.Soleh membuka pintu dengan perlahan, udara mendadak bertambah dingin. Tubuh Sari dan Fitri mengigil. Ruabng kedua itu memiliki suhu yang jauh lebih dingin daripada ruangan pernyimpanan yang pertama.Tampak bayangan Hilda yang transparan seolah terbentuk dari air yang jernih berdiri di salah satu Freezer box. Soleh segera berlari dan tiba-tiba saja kotal itu terbuka.Di dalamnya terdapat seprai berwarna putih,Soleh memberikan kode kepada Rendra agar membantunya, Sari mengambil troly. Dengan susah payah, tubuh Hilda berhasil
Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku
“Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab
Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi
“Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng
“Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn
"Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b
"Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le
"Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b
"Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k