“Maaf, Pak Panji, saya yang meminta mereka. Ada daging tiga minggu yang lalu yang akan di retur,” celetuk Sari.Tampak Sari membawa selembar kertas dan di periksa oleh Panji, lelaki itu mengangguk, lalu ke luar.Tubuh Fitri yang gugup dan gemetar ketakutan luruh ke lantai. Sari bergegas mendekat dan meminta Soleh membukan ruangan yang tertutup rapat itu segera.“Waktu kita tidak banyak, ruangan ini terlalu dingin. Bisa berbahaya terlalu lama di sini,” sosor Rendra.Soleh membuka pintu dengan perlahan, udara mendadak bertambah dingin. Tubuh Sari dan Fitri mengigil. Ruabng kedua itu memiliki suhu yang jauh lebih dingin daripada ruangan pernyimpanan yang pertama.Tampak bayangan Hilda yang transparan seolah terbentuk dari air yang jernih berdiri di salah satu Freezer box. Soleh segera berlari dan tiba-tiba saja kotal itu terbuka.Di dalamnya terdapat seprai berwarna putih,Soleh memberikan kode kepada Rendra agar membantunya, Sari mengambil troly. Dengan susah payah, tubuh Hilda berhasil
“Buka pintunya, Panas, nih!” seru Soleh.Rendra melirik takut-takut lalu menolehkan kepalanya ke kiri. Tampak Soleh sudah berkacak pinggang di luar sana.Seraut wajah menyembul lalu menyeringai kepadanya dari balik punggung Soleh. Sosok itu tidak memiliki mata sebelah, hanya rongga tengkorak saja, sementara sebelahnya, bola matanya bergelantungan hampir terjatuh. Daging di wajah tampak menghitam juga terkelupas. Sosok itu memiringkan kepalanya dan terdengar suara tulang patah, kini kepala itu nyaris putus dan tergantung di leher seolah akan menggelinding.Soleh menyadari kehadiran sosok di belakangnya, lalu memutar tubuhnya. Tidak ada apapun, hanya meninggalkan sisa energi jahat juga dendam. Rendra membuka pintu, lalu bergegas masuk.“Dasar kurang ajar, gak setia kawan. Main kabur aja, sampai kapan kau begini terus? Atasi rasa takutmu,” gerundel Soleh.Rendra hanya tersenyum kecut.“Kita ke rumahku, Bu Lek menunggu,” imbuh Soleh.Soleh meracau sepanjang jalan, Rendra hanya diam saja
“Loh? Kok malah jadi hitam semua gambarnya?Aku yakin kok hasil fotonya tadi bagus,” cetus Rendra. Lelaki muda itu menceritakan kondisi gambar yang di ambilnya. Bagian kepala melesak ke dalam seperti terkena benda pukulan benda tumpul sejenis pipa, tetapi yang menjadi aneh adalah seperti ada jejak sisik. “Apakah di pukul pakai pipa atau pakai ekornya?” tanya Rendra. Murad mengatakan bisa saja mahluk itu tidak ingin terlihat dalam bentuk apapun. Mengenai keadaan janggal pada jenasah Hilda, dia berpendapat bisa saja demikian dengan meminta bantuan jin peliharaan yang berwujud ular. Menekan kepala Hilda hingga melesak ke dalam, namun sedikit aneh, karena tulang tengkorak yang keras seharusnya pecah, atau menimbulkan kerusakan yang kurang rapi dan ada serpihan dari tulang tengkorak kepala, bukan meninggalkan jejak seperti bekas di hantam oleh pipa. “Begitulah kira-kira menurut pendapatku. Hal gaib ini cukup aneh dan sulit sekali diterima oleh akal sehat karena kejanggalannya,” tutur Mur
Tampak sesosok sangat besar dengan mengenggam sebilah pedang berkilat seperti petir berukuran panjang. “Loh ... sejak kapan berada di situ?” tanya Rendra. Sosok Rahayu tiba-tiba menyusut dan kembali ke wujudnya seperti biasa. “Ketahuilah, dia sekarang sedang mengukur kekuatan kalian sebagai lawan. Karena kini Jenggala Manik sudah memiliki sekutu baru yang akan membantunya,” kata Rahayu. “Dasar iblis jelek, bisa-bisanya dia menganggu tidurku,” gerutu Wunisa. Manusia Harimau cantik itu menghilang sambil mengaum melampiaskan rasa kesalnya. Rahayu mengatakan bahwa kini Jenggala Manik memiliki sekutu baru yang sama sekali tidak bisa dianggap enteng karena peliharaanya terkenal kejam. “Sekutunya adalah wanita. Dia bersekutu untuk mendapatkan kecantikan dan hidup abadi,” ucap Rahayu. Usai mengucapkan kalimat peringatan, dia pun menghilang. Kini tinggallah Soleh dan Rendra saling bertukar pandang dengan kejadian yang aneh dan membuat keduanya kesal. Suara wanita berteriak memangil nama
Jenggala Manik mengendus udara, namun tidak di dapatinya ada aroma manusia selain dari Sinta dan gadis yang di jadikan tumbal. “Apa kau tidak salah? Aroma tumbal ini satu-satunya yang bau manusia,” kata Jenggala Manik. Sosok yang berkepala seperti kelelawar dan bertubuh manusia itu kembali memperhatikan sekeliling dan mengendus udara. Dengan kepala yang tertunduk ia meminta maaf. “Tak apa, Bati. Itu karena kau sangat waspada. Ayo kita mulai makan,” ajak Sendala. Di depan Fitri yang sudah terikat terdapat sebuah meja yang besar. Di atas meja sudah terhidang kepala manusia, tubuh mungil dari mayat bayi yang masih terbalut kain kafan, seekor ayam jantan yang kakinya terikat terus saja bersuara karena ketakutan. Tiga buah gelas transparan yang sudah terisi dengan cairan berwarna merah pekat dan berbau amis pun tampak di sana. “Jangan ... tolong jangan sakiti aku,” pinta Fitri ketakutan. Air mata mengalir karena takut. Mata terbelalak dan memandang liar kesana kemari. Gadis itu bert
“Ningsih? Menyingkirlah, jangan halangi kami!” bentak Soleh. “Aku peringatkan kalian, iblis yang kalian hadapi sangat licik. Perhatikan langkah dan jalan jangan sampai tersesat, karena tempat ini adalah wilayahku yang dilapisi oleh kekuatan gaib yang mampu menyesatkan pikiran serta raga. Saat kalian tersesat, di sanalah aku akan menghabisi kalian!” ancam Ningsih. Sosok itu menghilang, meninggalkan bau busuk yang sangat menyengat. Tak membuang waktu kedua lelaki muda itu segera menuju mobil. Sari mendengar suara langkah kaki mendekat dan menarik tangan Fitri agar merunduk. Mendengar pintu mobil di buka, mata keduanya terbelalak dan menutup mulut masing-masing. Detak jantung bertalu-talu karena takut jika iblis kembali menemukan mereka. Namun setelah mendengar suara yang mengucapkan hamdalah, keduanya muncul dari arah belakang. “Alhamdulillah, Mas, kita selamat,” kata Sari. Soleh dan Rendra mengangguk lalu melajukan mobilnya ke luar dari tempat itu. Di perjalanan, rute yang mereka
"Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k
"Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b
Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku
“Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab
Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi
“Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng
“Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn
"Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b
"Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le
"Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b
"Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k