Home / Horor / Dendam Sang Tumbal / Di teror Arwah Ningsih

Share

Di teror Arwah Ningsih

Author: Dinara Sofia
last update Last Updated: 2023-06-13 03:04:00

Marwoto melemparkan sesuatu yang berada di telapak tangannya tadi, lalu berdiri di sudut kamarnya. Matanya memandang keliling kamarnya yang remang. Hanya ada satu lampu minyak berukuran kecil di dekatnya berdiri sekarang.

Lelaki itu merapatkan tubuhnya ke dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu itu. Anehnya, ibunya seperti tak mendengar suaranya, padahal, kamarnya tepat berada di sebelahnya. Raut wajah ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara seperti menggaruk kayu dengan kuku di jendelanya.

Dengan kaki gemetar dan takut, lelaki itu pun menuju jendela dan membukanya. Tidak ada apapun. Saat akan menutup kembali jendelanya, sesuatu menahan jendelanya, Marwoto berusaha menarik nya dengan paksa. Ternyata, tangan tanpa daging sedang menahan jendelanya.

Marwoto jatuh terjengkang, kini, tubuh Ningsih menembus dinding, lalu mendekati dirinya.

"Ah ... Jangan bunuh aku, Ningsih, aku terpaksa, sungguh," ucap Marwoto ketakutan.

Bau pesing pun menguar memenuhi rongga hidung lelaki itu, tentu saja bau itu berasal dari cairan yang keluar dari bagian tubuh Marwoto karena ketakutan.

"Apa kau pikir aku peduli dengan rengekanmu itu? Kau mengkhianati aku dan membunuhku dengan kejam. Sekarang, waktunya kau merasakan hal yang sama!" sergah sosok itu.

Udara mendadak berubah menjadi sangat dingin, seolah ingin membekukan apapun yang dilewatinya. Jangkrik enggan bersuara, hanya burung gagak yang terdengar bersahut-sahutan.

Marwoto beringsut ke belakang menggunakan tangannya, lagi-lagi dia merapatkankan tubuh ke dinding kamar. Suara gesekan dedaunan yang diterpa angin membuat hati semakin ciut. Belum lagi aroma busuk bercampur wangi bunga setaman yang menguar yang tertiup semilir angin.

Sosok itu tertawa melengking, lalu dengan cepat tangannya yang ber kuku tajam itu mengoyak dada lelaki itu lalu mengeluarkan jantungnya dan menjejalkan jantung Marwoto ke dalam mulutnya sendiri.

Mata lelaki itu terbelalak dan tubuhnya diam tak bergerak.

Teriakan histeris dari ibu Marwoto pun terdengar memecah malam yang sunyi. Ibu Marwoto menangis tersedu-sedu, terdengar pilu menangisi kematian putra kesayangannya itu. Suara guruh berhenti, kini hanya terdengar rintik hujan yang membasahi atap rumah penduduk.

"Apa yang terjadi padamu, Nak? Siapa yang berbuat keji seperti ini?" ratapnya.

Suara kentongan terdengar bertalu-talu di desa Dukuh Seribu. Para tetangga pun mulai berdatangan.

Beberapa warga tampak bergidik karena angin malam yang berhembus tanpa permisi. Dinginnya menusuk, hingga harus mengeratkan kain sarung di kepala untuk menangkis angin yang datang.

"Mengapa bisa seperti ini, Bu Sukemi? Ini cara kematian yang aneh sekali," tanya Pak Sugi.

Dia adalah Tetua Kampung Dukuh Seribu. Usai mengucapkan kalimat itu, angin seperti hembusan napas bertiup ke daun telinganya. Sontak saja bulu kuduknya merinding lelaki itu mengusap tengkuk lalu bergidik ngeri.

"Saya tidak tahu, Pak. Saat akan buang air kecil pintu kamar anakku terbuka tidak seperti biasanya, lalu saya melihatnya sudah dalam keadaan begitu." Jawab Bu Sukemi sambil menangis.

Pak Sugi pun mengangguk, entah mengapa perasaannya terus saja tidak enak dan merinding.

"Aku akan membunuh semuanya!" hardik Sukemi.

Pak Sugi terkejut bukan main lalu beringsut mundur. Mata wanita itu tiba-tiba memutih dan suaranya berubah menjadi seperti beberapa orang yang berbicara bersamaan dengan kalimat yang sama.

"Bu, sadar ... " ujar Pak Sugi.

Para tetangga yang melihat itu pun ikut ketakutan, suara burung gagak bersahutan dan semilir angin di sertai suara dedaunan yang bergesekan menambah seram suasana duka itu. Hembusan angin yang datang tiba-tiba hampir saja memadamkan obor yang berada di tangan beberapa penduduk dan lampu yang diletakkan di tengah ruangan.

Satu jam kemudian Darman pun tiba dan meratapi kematian adiknya. Ibunya yang baru siuman mendadak marah dan menyerang putra sulungnya itu.

"Semua ini karena kau. Pasti kau jadikan tumbal adikmu kan? Katakan, dasar kau pengabdi iblis!" tuduh Sukemi.

Darman diam saja tidak ingin melawan wanita yang sudah susah payah melahirkannya. Bahkan ketika sang ibu memukulinya dia diam saja, tidak bereaksi apapun. Sedih, hanya itu yang dirasakannya kini.

Hati Darman sakit sekali dituduh seperti itu. Tidak mungkin dirinya mengungkapkan keadaan yang sebenarnya kepada sang ibu.

Lelaki itu menunduk sedih. Perasaannya campur aduk, ibunya sering kali membedakan perhatian dan kasih sayangnya antara dirinya dengan Marwoto. Alasannya karena wajahnya terlalu mirip dengan ayahnya yang meninggalkan mereka demi wanita lain dari kampung sebelah.

"Darman, kemarilah," panggil Pak Sugi.

Lelaki itu menceritakan kejadian saat sebelum ibunya pingsan. Darman terkejut, benaknya berpikir bagaimana bisa Ningsih merasuki ibunya itu. Padahal Ningsih tidak jelas manusia atau arwah.

Pagi harinya, para warga pun menguburkan jasad Marwoto. Cuaca mendung mengiringi kepergian lelaki yang belum lama menikmati kekayaannya itu. Awan hitam bergulung seolah memberi tanda akan ada duka lainnya.

"Kasian sekali si Puspa. Padahal baru saja mereguk indahnya berumahtangga malah ditinggal mati," ujar salah seorang tetangga.

Angin kembali berhembus, suara ranting patah dan terjatuh pun mengagetkan mereka. Sontak saja mereka mengambil langkah seribu meninggalkan area pemakaman.

Sukemi meminta menantunya istirahat di kamar, karena sedang hamil muda yang kemungkinan berbahaya bagi calon cucunya.

Puspa menurut dan berjalan berjalan gontai menuju kamarnya, karena kelelahan wanita itu tertidur.

Istri Marwoto bermimpi melihat semua tindakan keji suaminya kepada Ningsih, lalu tiba-tiba wajah Ningsih berada tepat di depannya kemudian membuka mulut lebar. Ratusan kelabang dan belatung berebutan keluar dari mulut itu.

"Aaaaah ... " teriak Puspa.

Wanita itu ketakutan melihat penampakan yang menyeramkan dan terjaga dari tidur. Tangannya mengenggam sesuatu yang lunak dan terasa dingin sekali.

"Apa ... Kau bermimpi buruk, Puspa?" ujar seseorang dari arah samping.

"Ka-kau Ningsih?" tanyanya terbata-bata.

Puspa kembali ketakutan melihat tangannya sedang mengenggam tangan Ningsih yang sangat dingin, wajah itu tampak pucat dan rambut berantakan.

Perasaan Sukemi tidak enak dan teringat akan menantunya, Wanita itupun segera memeriksa keadaan Puspa di kamar.

Sesampainya di kamar, Sukemi melihat Puspa tertunduk lalu perlahan mendekatinya. Tiba-tiba saja menantunya itu mengangkat kepala, mata Puspa memutih dan seolah sedang memandang sang mertua.

"Berikutnya adalah kau!" seru Puspa.

Suaranya sama seperti saat Sukemi kerasukan tadi. Aroma busuk bercampur wangi bunga setaman kembali muncul, Sukemi mundur ketakutan sehingga menabrak tubuhnya anaknya, Darman.

"Ada apa, Bu?" tanya lelaki itu.

"Pu-Puspa kesurupan," sahut Sukemi.

Wanita itu memalingkan wajahnya dari menantunya dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Puspa. Darman tidak melihat tanda apapun, karena yang dilihatnya adik iparnya itu sedang tertidur pulas.

"Bu, lihat. Puspa lagi tidur," ucap Darman.

Sukemi pun perlahan menolehkan wajahnya ke arah Puspa, lalu memberanikan diri memandang dari ujung kaki hingga ke arah kepala, tiba-tiba mata Puspa terbuka dan menyeringai mengerikan. Wanita itu kembali terkejut.

"Di-dia menyeringai mengerikan, Darman," kata Sukemi.

Wanita itu menenggelamkan wajahnya di dada putranya itu.

Darman memandang adik iparnya itu, tidak ada yang aneh. Lelaki itu meminta ibunya menunggunya sementara dia mendekati Puspa yang tampak tertidur pulas itu.

Pencahayaan yang mulai redup membuatnya kesulitan melihat dari jarak jauh.

Tiba-tiba, mata Puspa terbuka lebar dengan bola mata memutih lalu bertukar menjadi hitam gelap seperti palung yang kelam, tepat saat Darman mendekatkan wajahnya untuk memastikan keadaannya.

"Aaaah ... " seru Darman.

Lelaki itu terkejut dan jatuh terduduk. Sukemi heran karena dalam pengelihatannya Puspa masih memejamkan mata, mengapa anaknya terjatuh seperti itu?

Perlahan Puspa memutar tubuh dengan kepala masih menghadap ke atas, tangannya kini mencekik Darman. Lelaki itu terengah-engah.

'Sembolo ... Datanglah, tolong aku!' jerit Darman dari dalam hatinya.

Angin kencang disertai petir menyambar berulang kali. Puspa menjerit melengking lalu tubuhnya kembali pada posisi semula dan masih dalam keadaan tertidur.

"Dendam arwah ini bukanlah hal yang bisa kau atasi dengan mudah, buka matamu lebar-lebar, lihat siapa yang kini berada di dekatmu. Grrrrrr," ujar Sembolo.

Darman membaca sebuah mantra sambil memejamkan matanya, kemudian memandang sekelilingnya.

Nyatanya, kini lelaki itu bukan berada di dalam rumah Ibunya lagi namun, berada di bawah jendela kamar Marwoto.

Tampak olehnya beberapa mahluk berjenis peri yang mampu menghipnotis manusia dengan mudah dan memakannya. Wujud sosok itu bertelinga kecil namun lebar menempel ke kulit kepala dengan manik mata hijau dan berambut putih keperakan.

"Kurang ajar, kalian berani menyerangku!" hardik Darman.

Sembolo segera merasuki tubuh Darman dan menyerang semua peri itu. Ternyata bukan hal yang mudah untuk menaklukan peri itu, karena, mereka adalah utusan terkuat dari Jenggala Manik, iblis taklukan sekaligus peliharaan Darsima.

Tiba-tiba saja angin kencang dan suara bergemuruh kembali terdengar, pohon tua mulai berderak seolah akan tumbang. Terdengar suara dari bayangan hitam sambil menunjuk ke arah Darman.

"Bunuh dia."

Related chapters

  • Dendam Sang Tumbal   Duka Beruntun

    Pertarungan Darman dan para peri itu berlangsung sengit, yang berakhir dengan Sembolo terluka dan keluar dari tubuh inangnya, yaitu Darman.Tubuh Darman pun ambruk. Peri-peri itu pun menghilang setelah mendengar suara suitan dari sosok bayangan hitam. Angin pun berhenti, berganti suara yang mirip seperti lolongan.Sosok Ningsih mendekati Darman perlahan, lelaki itu berusaha menggerakkan tubuhnya agar bisa lari. Ningsih mengangkat tubuh Darman dengan cara mencekiknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang berkuku tajam itu mengoyak dada kirinya mengambil jantung dan menyumpal mulut lelaki itu dengan organ tubuhnya sendiri."Aaaaah," teriak Sukemi.Ningsih melempar tubuh Darman ke arah wanita itu. Seketika tubuhnya ambruk. Aroma busuk dan wangi bunga kembali menguar, suara melengking pun menggema, terdengar hingga ke seluruh desa itu.Sukemi semakin berduka dengan kematian kedua putranya sekaligus. Wanita malang itu seketika di anggap gila dan warga meminta agar dirawat ol

    Last Updated : 2023-06-13
  • Dendam Sang Tumbal   Manto

    Manto yang baru saja hendak tertidur, tiba-tiba terdengar bunyi kaca jendela seperti diketuk. Lelaki itu turun dari ranjang dengan malas, lalu menuju arah jendela dan menyibak kain gorden."Tidak ada apapun, ganggu aja," ujarnya.Lelaki itu kembali menuju ranjangnya. Saat akan memejamkan matanya, suara itu kembali terdengar. Manto kesal sekali."Hei ... Kalau kau macam-macam, aku akan membunuhmu!" hardik lelaki itu.Lagi-lagi Manto menuju jendela dan menyibakkan gordennya, tetap tidak nampak apapun, selain aroma busuk mulai menguar. Semilir angin yang datang tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding. Dia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.Saat akan menutup gorden nampak seraut wajah pucat yang menempel pada kaca jendela dan mulai masuk dengan menembus kaca.Manto terjengkang ke belakang karena terkejut. Seraut wajah itu menembus jendela secara perlahan, kini sudah lengkap dengan seluruh tubuhnya. "Pergi kau setan ... Atau aku akan membunuhmu dan kau mati dua kali," usir

    Last Updated : 2023-06-30
  • Dendam Sang Tumbal   Bertemu Rendra

    "Den Ayu?" ujar Ningsih. Sosok itu pun menghilang. * * * _Juni 2020_ "Aaaah, tolong ... " Rendra segera berlari menuju arah suara itu. Tampak olehnya seorang lelaki berseragam SMA berada di tengah kebun jagung miliknya. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di kebun jagungku sore begini?" tanya Rendra. Lelaki itu membantu anak SMA itu berdiri. "Saya Adnan, Mas. Asal saya dari Desa Dukuh Seribu, di Kota Kijang ini, saya sekolah," jawab Adnan.Rendra melihat saku di dada kiri lelaki itu sedikit terkoyak, dan terdapat lima buah titik hitam seperti terkena sejenis benda tajam. Melihat Rendra memperhatikan dada kirinya, Adnan pun melihat ke arah yang sama. Lelaki itu terkejut melihat tanda itu. Lalu menatap Rendra."Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi? Ayo ku antar pulang, sebentar lagi maghrib. Ceritakan di perjalanan," desak Rendra. Anak muda itu pun mengikuti langkah Rendra dan duduk di belakangnya. "Tadi sepulang sekolah, ada wanita cantik dengan wajah pucat Mas, lalu mengajakku p

    Last Updated : 2023-06-30
  • Dendam Sang Tumbal   Membawa Sukma Rendra

    "Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru. Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang. Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur. Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud. "Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau. Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu. "Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra. Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang. Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding. Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling deng

    Last Updated : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Menculik Ratri

    Kedua mahluk berbeda jenis dan sering berkelahi itu pun, kini sibuk menyadarkan Rendra. Wajah Kunit tampak sedih saat memandang Rendra. "Kun ... Menurut mu, apakah sosok itu melihat kita?" tanya Posum cemas. "Pulihkan saja dulu kekuatan kita, baru kita pikirkan kemudian," sahut Kunit. Tiba-tiba, Kunit kini seperti transparan, Posum terkejut. Kunit memandang Posum dengan sedih. Lalu berpesan, agar menjaga Rendra sahabat mereka itu. "Katakan padanya, aku menyayanginya. Dia adalah manusia yang baik," pesan Kunit. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang. Posum meraung keras melihat sahabatnya itu musnah. Mahluk itu sedih sekali kehilangan sahabatnya. Suaranya itulah membuat Rendra siuman. "Apa yang terjadi?" tanya Rendra. Posum menjelaskan, bahwa waktu itu Kunit melihat Rendra dalam bahaya. Mereka berdua berusaha untuk ikut ke alam di mana Ningsih membawa Rendra. Tanpa di sadari, usaha yang dilakukan Kunit untuk menolong Rendra, malah akan membuatnya musnah. "Jadi ... Sekarang Kunit

    Last Updated : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Ragu

    "Apa yang kau lakukan kepada anak cucu turun ku, Ningsih?" tanya seorang wanita.Suaranya menggema, diiringi angin kencang. "Ra-Rahayu?" sahut Ningsih, tampak ketakutan saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Muncul seorang wanita anggun. Berpakaian bangsawan Jawa di masa lampau. Angin kencang sama sekali tidak merusak penampilannya, hanya ujung bajunya saja yang sesekali berkibar pelan. Ningsih menundukkan kepalanya. Wanita yang bernama Rahayu itu pun mengibaskan tangan kirinya, hingga terlepaslah ikatan Ratri dari sebuah tiang kayu. Rendra berlari ingin menolong ibunya yang sudah pingsan, namun, Soleh sudah lebih dahulu menangkap tubuh bibinya itu. Lelaki itu menarik tangan Rendra dengan tangan kirinya lalu menghilang. "Maafkan aku, Den Ayu Rahayu. Cicit turun mu itu akan menganggu ku dalam membalas dendam. Aku tidak bermaksud menentang mu," urai Ningsih. "Gadis yang akan di selamatkan oleh Rendra adalah kunci untuk memutus perjanjianmu dengan iblis itu bukan? Bukankah

    Last Updated : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Sosok Aneh

    "Apa kau meragukan dirimu sendiri? Kau sudah memiliki anugerah itu sejak lahir. Sebaiknya kau asah," usul Soleh.Rendra pun mulai memikirkan usul sepupunya itu. Memang benar jika dirinya memang memiliki kelebihan yang tidak semua orang miliki, namun, dirinya masih saja takut jika ada penampakan tiba-tiba di depannya.Rasa takut dan menganggap itu tidak penting yang membuat lelaki itu malas untuk mengasah kemampuannya. Kini, wajahnya tampak serius, menimbang baik dan buruknya."Tak usah kau pikirkan rasa takutmu, itu hanya akan menghambat kemampuanmu saja," sambung Soleh.Rendra pun mengangguk, ucapan sepupunya itu benar. Rasa takutlah yang selama ini menghampiri."Baiklah, sepertinya nanti malam bisa kita coba," sahut Rendra.Soleh menghela napas lega. Akhirnya amanat dari leluhurnya itu bisa juga dilaksanakannya. Rendra tidak mengetahui hal itu, karena, Rahayu menitipkan Rendra kepada Soleh untuk mengasah kemampuannya. Wajah Soleh kini berbinar, senyum pun menghiasi wajahnya sekarang,

    Last Updated : 2023-07-15
  • Dendam Sang Tumbal   Membebaskan Harimau

    "Sssst ... Kamu denger suara?" tanya Rendra.Soleh menggeleng pelan."Katanya, pindahkan patung Harimau itu dari reruntuhan bangunan," ungkap Rendra.Soleh mengerutkan keningnya. Seharusnya perjalanan lintas alam kali ini hanya untuk latihan saja, tetapi, mengapa seperti tersirat sebuah pesan? Burung yang bisa berbicara, keadaan alam yang aneh, semua menimbulkan tanda tanya di benaknya. Rendra memandang sekitar, tangannya memegang lengan Soleh, seperti biasa, wajahnya ketakutan.Normalnya langit berwarna biru, tetapi itu tidak berlaku di alam yang sedang mereka kunjungi ini. Semua tampak putih, tak ada matahari, namun terang, kondisi udara lembab.'Mungkin saja karena ini hutan, makanya lembab seperti ini,' batin Soleh.Tangan Rendra mencengkram lengan Soleh. Lelaki itu menoleh untuk melihat raut wajah sepupunya yang tampak ketakutan itu."Ayo, pindahkan saja patung itu. Waktu kita tidak banyak," ajak Soleh.Lelaki itu melangkah pelan, mendekati reruntuhan bangunan itu. Rendra mengiku

    Last Updated : 2023-07-15

Latest chapter

  • Dendam Sang Tumbal   Tamat

    Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku

  • Dendam Sang Tumbal   Rencana

    “Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab

  • Dendam Sang Tumbal   Darsima Melatih Fitri

    Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi

  • Dendam Sang Tumbal   Ningsih Datang Lagj

    “Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng

  • Dendam Sang Tumbal   Mengantar Maya

    “Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn

  • Dendam Sang Tumbal   Misteri Maya

    "Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b

  • Dendam Sang Tumbal   Kabar Dari Aidan

    "Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le

  • Dendam Sang Tumbal   Pertanda

    "Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b

  • Dendam Sang Tumbal   Menguburkan Sinta

    "Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k

DMCA.com Protection Status