Share

Manto

Penulis: Dinara Sofia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-30 22:19:16

Manto yang baru saja hendak tertidur, tiba-tiba terdengar bunyi kaca jendela seperti diketuk. Lelaki itu turun dari ranjang dengan malas, lalu menuju arah jendela dan menyibak kain gorden.

"Tidak ada apapun, ganggu aja," ujarnya.

Lelaki itu kembali menuju ranjangnya. Saat akan memejamkan matanya, suara itu kembali terdengar. Manto kesal sekali.

"Hei ... Kalau kau macam-macam, aku akan membunuhmu!" hardik lelaki itu.

Lagi-lagi Manto menuju jendela dan menyibakkan gordennya, tetap tidak nampak apapun, selain aroma busuk mulai menguar. Semilir angin yang datang tiba-tiba membuat bulu kuduknya merinding. Dia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

Saat akan menutup gorden nampak seraut wajah pucat yang menempel pada kaca jendela dan mulai masuk dengan menembus kaca.

Manto terjengkang ke belakang karena terkejut. Seraut wajah itu menembus jendela secara perlahan, kini sudah lengkap dengan seluruh tubuhnya.

"Pergi kau setan ... Atau aku akan membunuhmu dan kau mati dua kali," usir lelaki itu ketakutan.

Manto adalah putra pertama Darman dengan istri pertamanya. Lelaki garang serta sering bertindak sesukanya itu pun mulai gemetar dan ketakutan, wajahnya mulai pucat sekarang.

Sosok itu seolah berjalan terseok-seok dengan memegang dadanya yang berlubang. Darah mengucur deras dan beraroma busuk, belatung pun berloncatan dari lubang di dadanya itu.

Tiba-tiba angin kencang, kain gorden pun berkibar tertiup angin. Sosok itu menghilang, Manto menghembuskan nafas lega. Lelaki itu berusaha berdiri lalu membalikkan tubuhnya untuk menuju ranjangnya.

"Aaaah ... "

Suara jeritan kesakitan pun terdengar.

Sosok berwajah pucat dengan rambut acak-acakan itu mencengkeram dada kirinya lalu menusukkan kukunya yang tajam dan mengeluarkan jantungnya, kemudian menyumpal mulut lelaki itu dengan jantungnya sendiri.

Suara derit engsel terdengar, pintu terbuka dengan sendirinya dan bergoyang pelan. Seolah baru saja ada orang yang melewatinya.

Pagi harinya, warga desa Dukuh Seribu heboh dengan meninggalnya Manto, kasak kusuk warga yang melayat pun mulai terdengar.

"Tanda kematian ini terjadi lagi, sudah berulang kali, aku rasa sumpah Ningsih bukan isapan jempol belaka," ujar seorang lelaki.

Dua orang lelaki lainnya bergidik ngeri dan memintanya untuk berhenti membicarakan Ningsih. Wajah mereka tampak ketakutan.

Meski masih pagi, suasana mendung dan tampak suram. Awan hitam bergulung seolah tidak mau meninggalkan desa itu.

"Hiii ... Seram sekali, gelap, mana angin kencang seperti ini, jangan ... Jangan ... ," ujar salah seorang pelayat.

"Hus ... Jangan sembarangan bicara," timpal yang lainnya.

Seorang pria paruh baya, meminta agar para lelaki membantu menguburkan jasad Manto segera, karena, keadaan masih saja gelap. Beberapa lelaki mulai membungkus tubuh Manto dengan kain, lalu membawa di dalam tandu menuju ke area pemakaman.

Angin berhembus kencang dengan hawa dingin menusuk tulang. Sesekali pembawa tandu terlihat kewalahan akibat terjangan angin.

Perjalanan menuju area pemakaman berjarak satu kilometer itu terasa sangat lambat. Petir sesekali menyambar seakan lewat tepat di atas kepala mereka. Liang lahat untuk jasad lelaki itu sudah siap. Segera para lelaki memasukkan jasad itu, lalu menguburnya.

"Sebaiknya kita bergegas pulang, alam seperti sedang tidak berpihak kepada kita," ujar lelaki paruh baya tadi.

"Benar, Pak De, kami ketakutan," timpal pembawa tandu.

Akhirnya, pembawa tandu berlarian tunggang langgang terlebih dahulu, keluar dari area pemakaman, hingga kini tertinggal lelaki sepuh itu saja.

Dengan santai, lelaki itu mengambil tandu dan menyeretnya dengan tangan kirinya lalu keluar dari pemakaman.

"Tolong aku," ucap suara wanita lirih dan parau.

"Ningsih, sampai kapan kau akan seperti ini? Kasihan tubuh dan rohmu," jawab lelaki itu.

Suara tanpa wujud itupun menghilang, lelaki itu kembali menyeret tandu.

"Aku akan seperti ini sampai mereka semua mati menerima hukumanku,"

Terdengar suara yang berat dan seperti ada beberapa yang berbicara namun hanya satu suara yang terdengar.

Sosok itu tiba-tiba sudah berada tepat di depan lelaki itu dengan jarak satu jengkal saja. Aroma busuk serta wangi bunga setaman menguar, lalu sosok itu membuka mulutnya lebar, rahangnya seperti terlepas. Ribuan kelabang dan kalajengking berebutan keluar dari mulutnya.

"Pergilah, jika balas dendam memang pilihanmu, ingat ... kau sudah mengorbankan Ibumu, Kakak kandung kakekku," perintah lelaki itu.

"Akan tetapi, aku sudah lelah dengan dendam ini. Aku tidak berada di manapun. Bukan arwah, bukan juga manusia. Tolong aku," ungkap Ningsih.

Suara tangisan melengking pun terdengar di iringi gerimis yang mulai datang. Petir bersahutan.

Lelaki itu melanjutkan perjalanannya dengan menyeret tandu itu, hingga sampai di rumahnya. Petir menggelegar dan hujan deras pun turun. Raungan tangis tanpa wujud pun terdengar pilu dan mengerikan, menambah suasana semakin mencekam.

Pintu rumah penduduk semua tertutup, tidak ada aktivitas apapun di luar rumah. Ladang sepi, bahkan halaman yang biasanya ramai anak-anak mandi hujan pun tidak ada.

"Jangan pernah mendekati jendela jika ada yang mengetuk!" teriak lelaki itu.

Sepanjang jalan, lelaki itu terus menerus berteriak seperti itu, hingga sampai di depan rumahnya.

"Ini bukan salahku, semua ini karena kalian,"

"Hentikan dendammu itu, Ningsih,"

Terdengar suara lembut dari sisi kanan Ningsih.

Bab terkait

  • Dendam Sang Tumbal   Bertemu Rendra

    "Den Ayu?" ujar Ningsih. Sosok itu pun menghilang. * * * _Juni 2020_ "Aaaah, tolong ... " Rendra segera berlari menuju arah suara itu. Tampak olehnya seorang lelaki berseragam SMA berada di tengah kebun jagung miliknya. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di kebun jagungku sore begini?" tanya Rendra. Lelaki itu membantu anak SMA itu berdiri. "Saya Adnan, Mas. Asal saya dari Desa Dukuh Seribu, di Kota Kijang ini, saya sekolah," jawab Adnan.Rendra melihat saku di dada kiri lelaki itu sedikit terkoyak, dan terdapat lima buah titik hitam seperti terkena sejenis benda tajam. Melihat Rendra memperhatikan dada kirinya, Adnan pun melihat ke arah yang sama. Lelaki itu terkejut melihat tanda itu. Lalu menatap Rendra."Apa yang kau lakukan? Apa yang terjadi? Ayo ku antar pulang, sebentar lagi maghrib. Ceritakan di perjalanan," desak Rendra. Anak muda itu pun mengikuti langkah Rendra dan duduk di belakangnya. "Tadi sepulang sekolah, ada wanita cantik dengan wajah pucat Mas, lalu mengajakku p

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-30
  • Dendam Sang Tumbal   Membawa Sukma Rendra

    "Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru. Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang. Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur. Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud. "Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau. Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu. "Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra. Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang. Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding. Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling deng

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Menculik Ratri

    Kedua mahluk berbeda jenis dan sering berkelahi itu pun, kini sibuk menyadarkan Rendra. Wajah Kunit tampak sedih saat memandang Rendra. "Kun ... Menurut mu, apakah sosok itu melihat kita?" tanya Posum cemas. "Pulihkan saja dulu kekuatan kita, baru kita pikirkan kemudian," sahut Kunit. Tiba-tiba, Kunit kini seperti transparan, Posum terkejut. Kunit memandang Posum dengan sedih. Lalu berpesan, agar menjaga Rendra sahabat mereka itu. "Katakan padanya, aku menyayanginya. Dia adalah manusia yang baik," pesan Kunit. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang. Posum meraung keras melihat sahabatnya itu musnah. Mahluk itu sedih sekali kehilangan sahabatnya. Suaranya itulah membuat Rendra siuman. "Apa yang terjadi?" tanya Rendra. Posum menjelaskan, bahwa waktu itu Kunit melihat Rendra dalam bahaya. Mereka berdua berusaha untuk ikut ke alam di mana Ningsih membawa Rendra. Tanpa di sadari, usaha yang dilakukan Kunit untuk menolong Rendra, malah akan membuatnya musnah. "Jadi ... Sekarang Kunit

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Ragu

    "Apa yang kau lakukan kepada anak cucu turun ku, Ningsih?" tanya seorang wanita.Suaranya menggema, diiringi angin kencang. "Ra-Rahayu?" sahut Ningsih, tampak ketakutan saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Muncul seorang wanita anggun. Berpakaian bangsawan Jawa di masa lampau. Angin kencang sama sekali tidak merusak penampilannya, hanya ujung bajunya saja yang sesekali berkibar pelan. Ningsih menundukkan kepalanya. Wanita yang bernama Rahayu itu pun mengibaskan tangan kirinya, hingga terlepaslah ikatan Ratri dari sebuah tiang kayu. Rendra berlari ingin menolong ibunya yang sudah pingsan, namun, Soleh sudah lebih dahulu menangkap tubuh bibinya itu. Lelaki itu menarik tangan Rendra dengan tangan kirinya lalu menghilang. "Maafkan aku, Den Ayu Rahayu. Cicit turun mu itu akan menganggu ku dalam membalas dendam. Aku tidak bermaksud menentang mu," urai Ningsih. "Gadis yang akan di selamatkan oleh Rendra adalah kunci untuk memutus perjanjianmu dengan iblis itu bukan? Bukankah

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Dendam Sang Tumbal   Sosok Aneh

    "Apa kau meragukan dirimu sendiri? Kau sudah memiliki anugerah itu sejak lahir. Sebaiknya kau asah," usul Soleh.Rendra pun mulai memikirkan usul sepupunya itu. Memang benar jika dirinya memang memiliki kelebihan yang tidak semua orang miliki, namun, dirinya masih saja takut jika ada penampakan tiba-tiba di depannya.Rasa takut dan menganggap itu tidak penting yang membuat lelaki itu malas untuk mengasah kemampuannya. Kini, wajahnya tampak serius, menimbang baik dan buruknya."Tak usah kau pikirkan rasa takutmu, itu hanya akan menghambat kemampuanmu saja," sambung Soleh.Rendra pun mengangguk, ucapan sepupunya itu benar. Rasa takutlah yang selama ini menghampiri."Baiklah, sepertinya nanti malam bisa kita coba," sahut Rendra.Soleh menghela napas lega. Akhirnya amanat dari leluhurnya itu bisa juga dilaksanakannya. Rendra tidak mengetahui hal itu, karena, Rahayu menitipkan Rendra kepada Soleh untuk mengasah kemampuannya. Wajah Soleh kini berbinar, senyum pun menghiasi wajahnya sekarang,

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-15
  • Dendam Sang Tumbal   Membebaskan Harimau

    "Sssst ... Kamu denger suara?" tanya Rendra.Soleh menggeleng pelan."Katanya, pindahkan patung Harimau itu dari reruntuhan bangunan," ungkap Rendra.Soleh mengerutkan keningnya. Seharusnya perjalanan lintas alam kali ini hanya untuk latihan saja, tetapi, mengapa seperti tersirat sebuah pesan? Burung yang bisa berbicara, keadaan alam yang aneh, semua menimbulkan tanda tanya di benaknya. Rendra memandang sekitar, tangannya memegang lengan Soleh, seperti biasa, wajahnya ketakutan.Normalnya langit berwarna biru, tetapi itu tidak berlaku di alam yang sedang mereka kunjungi ini. Semua tampak putih, tak ada matahari, namun terang, kondisi udara lembab.'Mungkin saja karena ini hutan, makanya lembab seperti ini,' batin Soleh.Tangan Rendra mencengkram lengan Soleh. Lelaki itu menoleh untuk melihat raut wajah sepupunya yang tampak ketakutan itu."Ayo, pindahkan saja patung itu. Waktu kita tidak banyak," ajak Soleh.Lelaki itu melangkah pelan, mendekati reruntuhan bangunan itu. Rendra mengiku

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-15
  • Dendam Sang Tumbal   Bertemu Wunisa dan Darsima

    "Nenek, siapa?" ulang Rendra.Tampak oleh Rendra sesosok nenek tua yang di lihatnya di dekat gapura rumahnya.Rendra kembali ketakutan saat sosok itu mulai berusaha bangkit menegakkan tubuhnya."Jangan makan saya, Nek. Daging saya pahit," lontar Rendra.Rendra beringsut ke belakang dengan menggunakan tangannya. Badannya terasa lemas saat sosok nenek itu mendekatinya."Kendalikan rasa takutmu itu!" bentak nenek itu.Nenek itu mengulurkan tangannya untuk membantu berdiri. Rendra yang ketakutan pun membalikkan tubuhnya lalu menyeret tubuhnya dengan menggunakan Boko*gnya, berusaha melarikan diri.Sosok itu menghela napas, tiba-tiba saja, sebuah tongkat yang seperti pengait sudah berada di tangan kirinya.Nenek itu menjulurkan tongkatnya dan mengait celana Rendra tepat di bagian pinggangnya. Lelaki itu menjerit-jerit ketakutan."Tolong ... Mas, siapa saja, tolong!" teriaknya.Soleh mendengar teriakan Rendra, kemudian memintanya untuk tetap tetap di tempatnya, agar dirinya lebih mudah menemu

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-16
  • Dendam Sang Tumbal   Sudah waktunya

    "Aku sudah pertimbangan sedari lama. Kelak kau akan memiliki ilmu Tarung Iblis. Itu akan sangat dibutuhkan guna membantu memutus ikatan perjanjian dengan iblis dan anakku akan terbebas. Selain itu, aku akan menitipkan ilmuku kepada seorang gadis, korban dari kekejaman Ningsih. Maka, bantulah mereka mencapai tujuannya," urai Darsima."Tarung Iblis? Aku belum pernah mendengarnya," kata Rendra.Tiba-tiba pusaran angin kencang seakan menghisap apa saja yang berada di alam itu."Gadis itu akan bertemu denganmu sebentar lagi!" teriak Darsima.Darsima sudah duduk di pundak harimau. Soleh dan Rendra pun terhisap dan kembali ke tubuh mereka masing-masing.Terdengar suara ketukan di pintu kamar, ternyata suara Ratri yang membangunkan agar bersiap untuk salat karena waktu subuh akan tiba."Hah? Cepat sekali, sudah mau masuk waktu subuh," cetus Rendra."Waktu di sana memang berjalan lambat. Kau saja yang bertele-tele mengulur waktu sedari tadi," dengus Soleh.Rendra menggaruk kepalanya yang tidak

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-16

Bab terbaru

  • Dendam Sang Tumbal   Tamat

    Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku

  • Dendam Sang Tumbal   Rencana

    “Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab

  • Dendam Sang Tumbal   Darsima Melatih Fitri

    Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi

  • Dendam Sang Tumbal   Ningsih Datang Lagj

    “Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng

  • Dendam Sang Tumbal   Mengantar Maya

    “Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn

  • Dendam Sang Tumbal   Misteri Maya

    "Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b

  • Dendam Sang Tumbal   Kabar Dari Aidan

    "Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le

  • Dendam Sang Tumbal   Pertanda

    "Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b

  • Dendam Sang Tumbal   Menguburkan Sinta

    "Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k

DMCA.com Protection Status