Kedua mahluk berbeda jenis dan sering berkelahi itu pun, kini sibuk menyadarkan Rendra. Wajah Kunit tampak sedih saat memandang Rendra.
"Kun ... Menurut mu, apakah sosok itu melihat kita?" tanya Posum cemas. "Pulihkan saja dulu kekuatan kita, baru kita pikirkan kemudian," sahut Kunit.Tiba-tiba, Kunit kini seperti transparan, Posum terkejut. Kunit memandang Posum dengan sedih. Lalu berpesan, agar menjaga Rendra sahabat mereka itu. "Katakan padanya, aku menyayanginya. Dia adalah manusia yang baik," pesan Kunit. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang. Posum meraung keras melihat sahabatnya itu musnah. Mahluk itu sedih sekali kehilangan sahabatnya. Suaranya itulah membuat Rendra siuman. "Apa yang terjadi?" tanya Rendra. Posum menjelaskan, bahwa waktu itu Kunit melihat Rendra dalam bahaya. Mereka berdua berusaha untuk ikut ke alam di mana Ningsih membawa Rendra. Tanpa di sadari, usaha yang dilakukan Kunit untuk menolong Rendra, malah akan membuatnya musnah. "Jadi ... Sekarang Kunit sudah musnah? Demi menyelamatkan aku?" tanya Rendra. Rendra sedih sekali mendengar sahabatnya itu musnah. "Iya, Rendra. Bahkan, dia berpesan, katanya dia menyayangimu. Kau adalah manusia yang baik," jawab Posum sedih. Posum sangat sedih karena Kunit musnah. Wajahnya semakin menghitam tampak banyak belatung berjatuhan dari rongga matanya, serta bau busuk yang menusuk hidung. Posum pun menghilang membawa kesedihannya, meninggalkan Rendra yang kini tergugu sendiri di dalam kamarnya. Sayup-sayup, terdengar suara azan. Dengan hati sedih, Rendra pun bangkit dari tempat tidurnya, menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya. Rendra selesai mandi dan berwudu. Nampak ibunya juga akan ke kamar mandi. Lelaki itu menyapa ibunya, lalu berpamitan akan ke masjid untuk menunaikan salat. Lelaki itu memakai pakaian terbaik yang bersih, lalu bergegas menuju masjid. "Rendra, apa yang kau lakukan di alam sana? Berapa kali sudah ku ingatkan, jangan pernah pergi ke tempat itu tanpa siapapun," sungut Soleh. "Ayo ke rumah, akan ku ceritakan," tukas Rendra lesu. Soleh namanya, dia adalah sahabat sekaligus sepupu Rendra, dari garis ibu. Sahabatnya itu, memiliki kemampuan yang berbeda dengan manusia lainnya. Mampu keluar masuk ke alam gaib dan memiliki kemampuan memusnahkan mahluk halus dengan mudah. Namun, hal ini jarang dilakukannya, jika tidak menganggu manusia. Juga mampu melihat apa yang terjadi di masa lampau dengan mudah, untuk kedua hal terakhir ini, akan memakan banyak energinya. Kedua lelaki itu kini sudah sampai di rumah. Rendra duduk di teras, dia masih sedih karena kehilangan Kunit sahabatnya. Angin yang berhembus pelan serta awan hitam yang bergulung seolah menggambarkan suasana hatinya yang muram. Soleh mengucapkan salam, lalu masuk ke dalam rumah. Tampak Ratri sedang sibuk di dapur, Soleh pun menyapa, dan mencium punggung tangan bibinya itu. Ratri adalah adik dari ibu Soleh yang bernama Rengganis. Sebenarnya Soleh akan menuju kamar Rendra tetapi, tidak sopan jika tidak menyapa bibinya itu. Setelah berbasa-basi, Soleh kembali ke kamar Rendra. "Ren ... Rendra, sini, aku di kamar," panggil Soleh. Lelaki yang di panggilnya itu pun kini sudah berada di dalam kamar. "Ini jejak arwah penasaran yang di bangkitkan dengan dendam dan memakai bagian tubuhnya. Kekuatannya sangat kuat dan hitam. Sepertinya, bersekutu dengan iblis. Apa yang sudah kau lakukan? Mengapa dia membawamu?" tanya Soleh dengan cemas. Rendra menceritakan mimpinya semalam. Soleh mendengar tanpa ada yang terlewat. Tangan kanannya memutar tasbih dan bibirnya melafalkan zikir, menyebut nama Allah dan memohon perlindungan-Nya. "Jadi ... Begitu ceritanya, Soleh," urai Rendi menutup ceritanya. Praaaak "Aaaah." Terdengar suara piring jatuh serta jeritan Ratri dari arah dapur. Kedua lelaki itu segera menuju dapur dan melihat mangkuk yang tadinya berisi sayur masakannya, sudah berubah menjadi cacing dan banyak sekali belatung, serta bau yang sangat tidak sedap. Sementara pelayan yang membantu Ratri memasak sudah tergeletak di lantai, pingsan. Soleh membaca doa andalannya, lalu meniupkan ke arah mangkuk itu, namun tetap tidak berubah sama sekali. "Arwah itu mulai kurang ajar!" sergah Soleh dengan geram. Raut wajah Soleh tampak marah. Rendra melihat wanita yang meminta tolong kepadanya, sedang berdiri tepat di belakang ibunya. Lelaki itu menyikut lengan Soleh. Sepupu Rendra itu terbelalak, Ningsih menarik Ratri dan menghilang bersamanya. Hanya jeritannya saja yang terdengar. Rendra ketakutan, tangannya mulai dingin, jantungnya berdegup seolah akan melompat keluar. "Ibu ... " teriak Rendra. Soleh sudah mengejarnya ke alam lain. Rendra panik dan khawatir dengan ibunya, lelaki itu tak tahu apa yang akan di lakukan untuk mencari ibunya. Tiba-tiba, sebuah kekuatan menyedot tubuhnya ke tempat di mana ibunya berada. "Hentikan ... Jangan sakiti Ibuku!" seru Rendra."Apa yang kau lakukan kepada anak cucu turun ku, Ningsih?" tanya seorang wanita.Suaranya menggema, diiringi angin kencang. "Ra-Rahayu?" sahut Ningsih, tampak ketakutan saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Muncul seorang wanita anggun. Berpakaian bangsawan Jawa di masa lampau. Angin kencang sama sekali tidak merusak penampilannya, hanya ujung bajunya saja yang sesekali berkibar pelan. Ningsih menundukkan kepalanya. Wanita yang bernama Rahayu itu pun mengibaskan tangan kirinya, hingga terlepaslah ikatan Ratri dari sebuah tiang kayu. Rendra berlari ingin menolong ibunya yang sudah pingsan, namun, Soleh sudah lebih dahulu menangkap tubuh bibinya itu. Lelaki itu menarik tangan Rendra dengan tangan kirinya lalu menghilang. "Maafkan aku, Den Ayu Rahayu. Cicit turun mu itu akan menganggu ku dalam membalas dendam. Aku tidak bermaksud menentang mu," urai Ningsih. "Gadis yang akan di selamatkan oleh Rendra adalah kunci untuk memutus perjanjianmu dengan iblis itu bukan? Bukankah
"Apa kau meragukan dirimu sendiri? Kau sudah memiliki anugerah itu sejak lahir. Sebaiknya kau asah," usul Soleh.Rendra pun mulai memikirkan usul sepupunya itu. Memang benar jika dirinya memang memiliki kelebihan yang tidak semua orang miliki, namun, dirinya masih saja takut jika ada penampakan tiba-tiba di depannya.Rasa takut dan menganggap itu tidak penting yang membuat lelaki itu malas untuk mengasah kemampuannya. Kini, wajahnya tampak serius, menimbang baik dan buruknya."Tak usah kau pikirkan rasa takutmu, itu hanya akan menghambat kemampuanmu saja," sambung Soleh.Rendra pun mengangguk, ucapan sepupunya itu benar. Rasa takutlah yang selama ini menghampiri."Baiklah, sepertinya nanti malam bisa kita coba," sahut Rendra.Soleh menghela napas lega. Akhirnya amanat dari leluhurnya itu bisa juga dilaksanakannya. Rendra tidak mengetahui hal itu, karena, Rahayu menitipkan Rendra kepada Soleh untuk mengasah kemampuannya. Wajah Soleh kini berbinar, senyum pun menghiasi wajahnya sekarang,
"Sssst ... Kamu denger suara?" tanya Rendra.Soleh menggeleng pelan."Katanya, pindahkan patung Harimau itu dari reruntuhan bangunan," ungkap Rendra.Soleh mengerutkan keningnya. Seharusnya perjalanan lintas alam kali ini hanya untuk latihan saja, tetapi, mengapa seperti tersirat sebuah pesan? Burung yang bisa berbicara, keadaan alam yang aneh, semua menimbulkan tanda tanya di benaknya. Rendra memandang sekitar, tangannya memegang lengan Soleh, seperti biasa, wajahnya ketakutan.Normalnya langit berwarna biru, tetapi itu tidak berlaku di alam yang sedang mereka kunjungi ini. Semua tampak putih, tak ada matahari, namun terang, kondisi udara lembab.'Mungkin saja karena ini hutan, makanya lembab seperti ini,' batin Soleh.Tangan Rendra mencengkram lengan Soleh. Lelaki itu menoleh untuk melihat raut wajah sepupunya yang tampak ketakutan itu."Ayo, pindahkan saja patung itu. Waktu kita tidak banyak," ajak Soleh.Lelaki itu melangkah pelan, mendekati reruntuhan bangunan itu. Rendra mengiku
"Nenek, siapa?" ulang Rendra.Tampak oleh Rendra sesosok nenek tua yang di lihatnya di dekat gapura rumahnya.Rendra kembali ketakutan saat sosok itu mulai berusaha bangkit menegakkan tubuhnya."Jangan makan saya, Nek. Daging saya pahit," lontar Rendra.Rendra beringsut ke belakang dengan menggunakan tangannya. Badannya terasa lemas saat sosok nenek itu mendekatinya."Kendalikan rasa takutmu itu!" bentak nenek itu.Nenek itu mengulurkan tangannya untuk membantu berdiri. Rendra yang ketakutan pun membalikkan tubuhnya lalu menyeret tubuhnya dengan menggunakan Boko*gnya, berusaha melarikan diri.Sosok itu menghela napas, tiba-tiba saja, sebuah tongkat yang seperti pengait sudah berada di tangan kirinya.Nenek itu menjulurkan tongkatnya dan mengait celana Rendra tepat di bagian pinggangnya. Lelaki itu menjerit-jerit ketakutan."Tolong ... Mas, siapa saja, tolong!" teriaknya.Soleh mendengar teriakan Rendra, kemudian memintanya untuk tetap tetap di tempatnya, agar dirinya lebih mudah menemu
"Aku sudah pertimbangan sedari lama. Kelak kau akan memiliki ilmu Tarung Iblis. Itu akan sangat dibutuhkan guna membantu memutus ikatan perjanjian dengan iblis dan anakku akan terbebas. Selain itu, aku akan menitipkan ilmuku kepada seorang gadis, korban dari kekejaman Ningsih. Maka, bantulah mereka mencapai tujuannya," urai Darsima."Tarung Iblis? Aku belum pernah mendengarnya," kata Rendra.Tiba-tiba pusaran angin kencang seakan menghisap apa saja yang berada di alam itu."Gadis itu akan bertemu denganmu sebentar lagi!" teriak Darsima.Darsima sudah duduk di pundak harimau. Soleh dan Rendra pun terhisap dan kembali ke tubuh mereka masing-masing.Terdengar suara ketukan di pintu kamar, ternyata suara Ratri yang membangunkan agar bersiap untuk salat karena waktu subuh akan tiba."Hah? Cepat sekali, sudah mau masuk waktu subuh," cetus Rendra."Waktu di sana memang berjalan lambat. Kau saja yang bertele-tele mengulur waktu sedari tadi," dengus Soleh.Rendra menggaruk kepalanya yang tidak
" Ibu ... " cetus Rendra."Bukan, aku Rahayu yang sedang meminjam tubuh Ibumu. Agar iblis itu tidak tahu jika aku datang," sahut Rahayu.Rendra membulatkan bola matanya. Lelaki itu terkejut. Wahini dan Wahiru menyingkir lalu menghilang.Ratri yang dirasuki oleh Rahayu itu pun mendekati Rendra dan mengajaknya untuk duduk di tepi ranjangnya.Angin kencang pun mendadak berhenti. Rintik hujan mulai terdengar seperti nyanyian alam yang menemani sore yang sebentar lagi menjelang."Dalam waktu sangat dekat, engkau akan bertemu dengan gadis yang dibicarakan Darsima kepadamu. Persiapkan dirimu, aku akan datang menyelinap melalui mimpi," tutur Ratri.Tubuh Ratri pun bangkit dari ranjang Rendra, tatapannya kosong, cara berjalannya juga tampak sangat anggun. Rendra kini mulai ketakutan dan beringsut mundur."Atasi rasa takutmu itu, atau aku akan mengajarimu bagaimana cara menghadapi kelemahanmu itu!" sergah Ratri.Wanita itu mengeluarkan nada tinggi tanpa menolehkan atau membalikkan tubuhnya sama
"Emang ga ada apapun. Mandi sana, kita salat ashar ke masjid," perintah Soleh.Rendra masih saja gemetar, matanya memandang sekeliling. Memang tidak ada yang aneh, hanya suara desau angin sesekali terdengar dan rintikan air hujan."Temenin yuk, masuk ke dalam kamar. Takut nih," rengek Rendra.Soleh menolak dan mengatakan akan menunggunya di depan pintu kamar saja. Lelaki itu berdiri di tengah pintu, Rendra pun berlari ke dalam kemar, membuka lemari, mengambil baju dan celana lalu berlari ke luar kamar.Sepupu Rendra tertawa lalu menakuti adik sepupunya itu dengan mengatakan ada tangan yang sedang mengikutinya."Itu bukan celana, tetapi, tangan. Lihatlah," selorohnya.Rendra melemparkan pakaian yang diambilnya tadi. Soleh tertawa terbahak-bahak melihat wajah ketakutan dan juga reaksi adik sepupunya itu."Dasar sepupu kurang ajar. Orang ketakutan kok malah ditambahin," sungut Rendra.Lelaki itu memungut pakaiannya lalu beranjak menuju kamar mandi, Soleh kembali memanggilnya."Ren, itu on
"Bu, apakah benar, hanya aku yang bisa menghentikan teror dendam ini?" tanya seorang gadis. "Betul, Fitri. Itu yang diucapkan almarhum bapak sebelum beliau meninggal. Katanya itu di dapatnya dari mimpi," jawab ibunya.Mereka berdua pun akhirnya menuju rumah kakek dari ibunya itu. Hanya berjarak empat rumah saja dari rumah mereka. "Sopo?" tanya seorang lelaki."Kulo, Sinem. Mbah Pur," jawab ibu Fitri.Lelaki sepuh itu bertanya dari dalam rumah saat mendengar ada yang mengucapkan salam, lalu berjalan menuju pintu rumahnya kemudian membuka pintu. Senyumnya terukir saat melihat siapa yang datang. Lelaki tua yang di panggil mbah itu pun meminta mereka untuk masuk. Lalu mereka duduk di ruang tamu yang sederhana. "Waktunya sudah dekat, Nduk. Kau harus mencari pasangan dari ilmu yang diberikan kepadamu, Fitri. Seperti namanya, pasangan, pemiliknya adalah lelaki," ujar Mbah Purnomo.Kedua wanita itu saling pandang. Belum sempat mereka mengungkapkan niatnya, ternyata Mbah Pur sudah mengetahu
Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku
“Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab
Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi
“Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng
“Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn
"Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b
"Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le
"Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b
"Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k