Ayla berdiri di balkon, tubuhnya kaku saat menyaksikan kobaran api melalap salah satu gedung afiliasi Reynard Holdings. Asap hitam membubung ke langit, suara sirene pemadam kebakaran menggema di udara.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut—tapi karena amarah yang mendidih. Eleanor telah melangkah terlalu jauh.
Ponselnya masih berada di genggamannya, suara Eleanor terdengar lagi di ujung sana, penuh kemenangan.
“Apa kau masih di sana, Ayla?”
Ayla mengepalkan tangan. “Kau baru saja menandatangani surat kematianmu, Eleanor.”
Wanita itu tertawa pelan. “Oh, Ayla, sayang sekali aku tidak mudah dijatuhkan. Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa aku masih punya kendali atas permainan ini.”
Ayla menarik napas dalam, menenangkan dirinya. “Jika kau berpikir ini akan membuatku menyerah, kau salah besar.”
“Kita lihat saja.” Eleanor mengakhiri panggilan, meninggalkan Ayla dengan kemarahan yang semakin membara.
Dia meraih mantel dan b
Langit malam di Velmont City tampak kelam, seperti menyerap ketegangan yang sedang memuncak di kota itu. Di sebuah gedung tua yang berfungsi sebagai markas sementara Reynard Holdings, Ayla duduk di depan layar komputer dengan ekspresi dingin.Di sampingnya, Victor Moretti berdiri dengan tangan bersedekap. “Data ini cukup untuk menyeret Carlisle Industries ke dalam lubang neraka.”Ayla menatap layar, di mana bukti-bukti tentang penggelapan dana dan korupsi di perusahaan keluarga Leon terpampang jelas. Ini bukan hanya skandal bisnis biasa, ini adalah sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan stabilitas mereka secara permanen.“Kita rilis secara bertahap,” ujar Ayla mantap. “Jika kita langsung menjatuhkan semuanya, mereka akan punya kesempatan untuk menutupi jejak.”Victor menyeringai. “Kau memang punya otak yang tajam.”Ayla tidak menanggapi. Matanya tetap fokus pada rencana yang sudah ia susun dengan cermat. Eleanor sudah melampaui batas, dan kal
Malam di Velmont City terasa lebih dingin dari biasanya. Langit yang gelap tanpa bintang seolah menjadi pertanda akan datangnya badai yang lebih besar. Di sebuah ruangan tersembunyi di The Elysian Tower, Ayla berdiri di depan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota."Apa rencanamu selanjutnya?" suara Dimitri terdengar dari belakangnya.Ayla tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan sesaat sebelum melangkah lebih jauh dalam permainan yang ia mulai."Eleanor sudah bergerak," katanya akhirnya. "Dia pasti tidak akan tinggal diam setelah skandal itu meledak di media."Dimitri mendekat, berdiri di sampingnya. "Dan Gabriel sudah menaruh perhatian penuh padaku."Ayla menoleh, matanya bertemu dengan tatapan tajam Dimitri. "Itu yang kita inginkan, bukan?"Dimitri tersenyum miring. "Ya. Tapi aku ingin memastikan kau tetap aman dalam prosesnya."Ayla mendengus pelan. "Aku bisa menjaga diriku sendiri, Dimitri."Dimitri mengangkat alis. "Tetap saja, aku t
Malam itu, Velmont City masih dipenuhi cahaya gemerlap dari gedung pencakar langit, tetapi di balik kemewahan itu, perang bayangan sedang berlangsung.Ayla duduk di dalam ruang pertemuan pribadi di The Elysian Tower, diapit oleh Dimitri dan Victor. Di hadapan mereka, layar besar menampilkan laporan terbaru tentang langkah yang diambil Gabriel dan Eleanor Carlisle."Kita tidak bisa membiarkan mereka terus bergerak tanpa perlawanan," kata Ayla, suaranya tegas. "Gabriel jelas mencoba menjebak Dimitri, dan Eleanor berusaha menghancurkan Reynard Holdings dari dalam."Victor menyilangkan tangan di dadanya. "Kabar baiknya, kita sudah tahu kelemahan mereka."Dimitri menatap layar itu dengan tatapan tajam. "Kita perlu lebih dari sekadar serangan balik. Kita harus memastikan pukulan kita cukup keras agar mereka tidak bisa bangkit lagi."Ayla menoleh ke arah Dimitri. "Kau punya rencana?"Dimitri menyeringai tipis. "Tentu saja."Di sisi lain kota, Eleanor duduk di ruang kerja pribadinya di Rosewo
Malam mulai merayap di Velmont City ketika Ayla dan Dimitri melangkah keluar dari The Elysian Tower. Mobil hitam dengan kaca gelap sudah menunggu di depan lobi, supir pribadi Dimitri segera membukakan pintu untuk mereka.Ayla masuk lebih dulu, lalu Dimitri menyusul, duduk di sampingnya dengan sikap tenang yang nyaris menakutkan. Ia mengenakan setelan hitam tanpa cela, aura dinginnya semakin kuat di bawah lampu kota yang berpendar melalui jendela.“Kita akan menemui Gabriel di mana?” tanya Ayla setelah beberapa saat hening.Dimitri melirik jam tangannya. “Club Noir. Aku ingin bertemu dengannya di tempat yang cukup terbuka, tapi masih dalam kendaliku.”Ayla tersenyum miring. “Jadi, jika dia mencoba sesuatu, kau sudah menyiapkan segalanya?”Dimitri menoleh padanya dengan tatapan penuh arti. “Tentu saja.”Ayla mengerti maksudnya. Club Noir adalah salah satu tempat yang dikuasai Dimitri sepenuhnya. Jika Gabriel mencoba sesuatu, dia hanya akan masuk ke dalam jebakan yang lebih besar.Saat m
Ayla menyesap anggurnya perlahan, membiarkan rasa manis bercampur pahit mengalir di lidahnya. Malam di penthouse terasa lebih sunyi daripada biasanya, padahal pikirannya dipenuhi suara-suara.Pertemuan dengan Gabriel masih mengganggu benaknya. Ia tahu laki-laki itu bukan sekadar musuh biasa. Gabriel licik, manipulatif, dan yang lebih berbahaya—ia memiliki kesabaran seorang predator.Dimitri duduk di seberangnya, matanya tajam memperhatikannya.“Apa yang ada di kepalamu?” tanyanya.Ayla mengangkat bahu. “Kita harus berpikir lebih jauh. Gabriel bukan seseorang yang bermain tanpa rencana cadangan.”Dimitri menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya tertarik ke samping. “Aku tahu. Itu sebabnya kita harus bergerak sebelum dia sempat menjalankan rencananya.”Ayla menatapnya dalam-dalam. “Dan bagaimana caramu melakukannya?”Dimitri tersenyum tipis. “Dengan cara yang Gabriel tidak akan duga.”Ayla tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Dimitri tidak akan berbicara kecuali ia sudah benar-benar sia
Ayla duduk di depan meja kerjanya, jemarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang tidak beraturan. Matanya terpaku pada layar laptop yang menampilkan grafik keuangan perusahaan, tetapi pikirannya jauh dari sana.Serangan dari Carlisle Industries bukan hanya soal bisnis. Ini adalah pernyataan perang.“Clara, berikan laporan terbaru,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Clara, yang berdiri di sampingnya, menyerahkan beberapa dokumen dengan ekspresi serius. “Carlisle Industries telah mengambil alih dua kontrak besar yang sebelumnya kita pegang. Dan mereka sedang menargetkan satu lagi.”Ayla menggigit bibirnya. “Mereka cepat.”Clara mengangguk. “Terlalu cepat. Seolah mereka sudah tahu langkah kita sebelum kita bergerak.”Ayla mendongak. “Apa maksudmu?”Clara menatapnya ragu-ragu. “Aku curiga ada kebocoran dari dalam.”Ayla membeku sejenak. Pengkhianatan adalah sesuatu yang selalu ia waspadai, tetapi jika itu benar…Ia harus bertindak lebih cepat.Di sisi lain kota, Leon d
Ayla berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap gemerlap malam Velmont City. Tangannya bersedekap, pikirannya berputar cepat, mencerna setiap informasi yang baru saja ia dapatkan.Pembersihan pengkhianat di dalam Reynard Holdings memang sudah dilakukan, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa Carlisle Industries masih selangkah lebih maju.Langkah berikutnya harus lebih tajam, lebih mematikan.Pintu kantornya terbuka. Dimitri masuk, mengenakan setelan gelap yang membentuk aura dominasi khasnya.“Kau terlihat tegang,” katanya seraya melangkah mendekat.Ayla menoleh sebentar sebelum kembali menatap ke luar. “Karena aku tahu mereka tidak akan berhenti.”Dimitri mendekat, berdiri di sampingnya. “Tentu saja tidak. Eleanor bukan tipe yang mundur setelah satu kekalahan. Dan Leon... dia terlalu terobsesi padamu untuk membiarkan ini berlalu begitu saja.”Ayla mengepalkan tangannya. “Aku akan menghabisi mereka sebelum mereka bisa menja
Ayla duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Nama yang disebutkan Dimitri terus terngiang di kepalanya—Alexander Vasiliev.Siapa pun pria itu, ia jelas cukup berbahaya hingga Dimitri terlihat lebih waspada dari biasanya.Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Victor Moretti masuk, ekspresinya serius.“Ada sesuatu yang harus kau lihat,” katanya tanpa basa-basi.Ayla berdiri. “Apa?”Victor menyerahkan sebuah amplop cokelat. “Dikirimkan ke Reynard Holdings pagi ini, tanpa nama pengirim.”Ayla merobek segelnya dan menarik keluar beberapa lembar foto. Matanya membesar saat melihat isinya.Foto dirinya dan Dimitri, diambil dari sudut-sudut yang tersembunyi. Beberapa di antaranya diambil di The Elysian Tower, bahkan ada yang dari dalam kantor Dimitri sendiri.Namun, yang membuat darah Ayla berdesir adalah foto terakhir—gambar dirinya di dalam apartemen pribadinya.Se
Sore itu langit Velmont City seakan tahu apa yang terjadi. Matahari mulai tenggelam, tetapi cahayanya masih menyentuh jendela kaca Reynard Holdings. Ayla berdiri di ruang kantornya, memandangi siluet kota yang pernah membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tapi kali ini berbeda—kali ini, kota itu berdiri di bawah kakinya.Pintu diketuk pelan.Victor menyembul dengan ekspresi serius. “Dimitri mengirim pesan. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”Ayla mengangguk. Dalam balutan blazer hitam dan rok pensil senada, dia berjalan keluar, langkahnya tegap. Sekretaris-sekretaris yang biasanya menunduk kini menatapnya dengan hormat. Bahkan eksekutif level atas tahu: wanita itu bukan sekadar pemilik perusahaan. Dia simbol dari kemenangan yang dibangun dengan luka, tekad, dan strategi.Di lobi bawah, sebuah mobil hitam menunggu. Victor membuka pintu untuknya.“Dimitri tidak bilang apa-apa?” tanya Ayla sambil masuk.“Hanya bilang kau akan mengerti setelah tiba di sana.”Ayla menatap keluar jendela.
Ayla menatap langit pagi dari jendela rumah mungil mereka di Ravenhurst. Udara masih segar, embun menempel di daun, dan suara burung menggema dari kejauhan. Di dalam perutnya, kehidupan kecil tengah tumbuh—mengubah segalanya. Ia tidak lagi sekadar seorang wanita yang ingin membalas dunia, tapi seorang ibu yang ingin menciptakan dunia yang lebih baik.Dimitri muncul dari dapur, mengenakan apron berwarna krem, membawa dua cangkir teh hangat. Pandangannya jatuh pada Ayla yang sedang mengusap perutnya dengan lembut."Kau bangun lebih pagi dari biasanya," ujarnya sambil duduk di sampingnya.Ayla tersenyum. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi tentang masa lalu... tapi kali ini, aku tidak merasa takut lagi.”Dimitri mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tangan Ayla. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Tenang. Stabil. Seperti langit yang baru saja berhenti hujan.Beberapa hari kemudian, Ayla kembali ke pusat rehabilitasi. Di ruang konseling, seorang gadis berusia
Langit Ravenhurst menggantung kelabu saat pesawat yang ditumpangi Ayla mendarat di bandara kecil kota itu. Jauh dari hiruk-pikuk Velmont, dari bayang-bayang masa lalu dan dendam yang telah ia kubur. Tak ada penyambutan mewah, tak ada keramaian. Hanya suara roda pesawat yang menyentuh landasan dan napas panjang yang Ayla embuskan dari dadanya.Ia melangkah keluar dengan hanya satu koper kecil dan sebuah tas di bahunya. Seperti awal yang baru. Seperti hidup yang ia bentuk dengan tangannya sendiri.Di luar terminal, seorang wanita berambut perak dengan kacamata bundar sudah menunggu. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan."Ayla Reynard?" sapanya pelan.Ayla mengangguk. "Dr. Mira Levin?"“Selamat datang di Ravenhurst. Aku dengar kau ingin belajar kembali tentang manusia. Tentang luka. Tentang penyembuhan,” ucap Mira sambil meraih koper Ayla.Ayla tersenyum kecil. "Lebih dari itu. Aku ingin tahu apakah hati yang dipenuhi dendam masih bisa
Kilatan cahaya dari lampu kota menyinari kaca jendela ruang kerja Dimitri saat Ayla berdiri menatap malam, tubuhnya tegak namun napasnya berat. Di belakangnya, Dimitri masih duduk di kursi, berdiam dengan tatapan kosong ke layar komputer yang menyala redup.“Kau yakin ingin melakukan ini sendiri?” tanya Dimitri akhirnya, suaranya serak karena terlalu lama menahan kata-kata yang mengendap di dada.Ayla menoleh perlahan, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Ini jalanku. Dendam ini milikku sejak awal, Dimitri. Aku harus menyelesaikannya.”Dimitri berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangannya. “Kalau ada satu hal dalam hidupku yang ingin kuubah, itu adalah hari ketika aku pertama kali membiarkanmu berjalan sendirian.”Ayla menarik napas panjang, lalu membalas genggamannya. “Kau tidak pernah benar-benar membiarkanku sendiri. Tapi aku juga harus belajar melepaskan—terutama rasa takutku sendiri.”Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada janji. Tidak
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen