Peluru pertama dilepaskan.
Gudang di pinggiran Ravenhurst berubah menjadi medan perang dalam sekejap. Anak buah Gabriel berhamburan, menembakkan senjata mereka ke arah Dimitri dan timnya.
Ayla berlindung di balik peti kayu bersama Victor. Tangannya erat menggenggam pistol, jantungnya berdebar kencang. Ini bukan kali pertama ia berada di tengah baku tembak, tetapi kali ini berbeda. Ini bukan sekadar pertarungan, melainkan puncak dari perang yang telah ia mulai sejak memutuskan membalas dendam.
Dimitri bergerak cepat, menembak dua pria yang berusaha mendekati mereka. Matanya dingin, penuh fokus. Dia tidak bermain-main. Ini adalah pembantaian.
Gabriel bersembunyi di lantai atas gudang, memperhatikan mereka dengan senyum miring.
“Kalian pikir bisa menjatuhkanku secepat ini?” katanya, lalu memberi isyarat pada anak buahnya.
Dari sisi lain gudang, lebih banyak pria bersenjata muncul. Ayla menggigit bibirnya. Mereka kalah jumlah.
“Ayla, teta
Angin malam di Ravenhurst bertiup dingin, membawa aroma mesiu yang masih menggantung di udara. Tubuh Gabriel tergeletak tak bernyawa, sementara Dimitri dan Ayla berdiri di sampingnya. Perang ini telah berakhir.Tapi mengapa Ayla merasa kosong?Dia telah berjuang selama ini untuk membalas dendam. Menghancurkan Leon. Menjatuhkan Gabriel. Membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar wanita yang pernah dihina dan ditinggalkan. Namun, ketika semuanya telah dilakukan, tidak ada perasaan puas yang ia harapkan.Dimitri mengamati wajahnya dengan seksama."Kau menyesal?" tanyanya.Ayla menggeleng pelan, tapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat."Kita harus pergi dari sini," ujar Victor, yang muncul dari balik bayangan. "Polisi mungkin akan segera datang. Kita sudah terlalu lama di tempat terbuka."Dimitri mengangguk. Dia meraih tangan Ayla, tetapi Ayla menariknya perlahan."Aku butuh waktu," katanya pelan.Dimitri tidak berk
Ayla duduk di kursi dekat jendela apartemennya, menatap ponsel yang ada di tangannya. Nama Dimitri masih terpampang di layar, tetapi ia tidak kunjung menekan tombol panggil.Setelah semua yang terjadi, setelah semua perjuangan yang ia lalui, apakah dia benar-benar siap untuk menyerahkan dirinya kembali pada seseorang?Tidak.Bukan menyerahkan diri.Dimitri bukan Leon. Dia tidak akan meninggalkan Ayla hanya karena status atau tekanan keluarga. Tapi tetap saja, apakah perasaan Dimitri untuknya benar-benar cinta? Atau hanya obsesi karena dia satu-satunya wanita yang berani menantangnya?Ayla tidak ingin menjadi pion dalam permainan siapa pun lagi.Dia meletakkan ponselnya di meja.Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sebelum mengambil keputusan.Pagi itu, Ayla mendatangi kantor Reynard Holdings. Perusahaan yang ia bangun dari awal, yang menjadi simbol kebangkitannya. Saat ia melangkah masuk, semua mata tertuju padanya.Clara menunggunya di depan lift dengan ekspresi khawatir.
Ayla terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap melalui tirai besar apartemennya. Tubuhnya masih terasa hangat dari pelukan Dimitri semalam, tapi pikirannya terus bekerja, menimbang apa yang akan terjadi selanjutnya.Dimitri masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat jauh lebih tenang daripada biasanya. Pria itu selalu menampilkan ekspresi tajam dan penuh kendali di depan orang lain, tetapi di sini, bersamanya, ada sisi lain yang lebih manusiawi.Ayla mengangkat tangan, jemarinya hampir menyentuh wajah Dimitri sebelum akhirnya dia menariknya kembali.Dia tidak bisa membiarkan dirinya terlalu tenggelam dalam perasaan ini.Karena dunia mereka masih berbahaya.Dan keputusan yang akan ia ambil hari ini bisa mengubah segalanya.Satu jam kemudian, Ayla sudah berdiri di depan jendela besar kantornya di Reynard Holdings.Clara masuk dengan ekspresi serius, membawa beberapa dokumen."Kita sudah mengumpulkan semua data tentang Carlisle Industries," katanya. "Sejujurnya, kalau kau ingi
Ayla menatap Dimitri dengan mata penuh tekad."Jika Gabriel ingin bermain kotor, kita harus lebih cepat darinya."Dimitri menyandarkan punggung ke kursinya, matanya meneliti setiap ekspresi Ayla. Dia selalu mengagumi kecerdasan dan keberaniannya, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda."Apa yang kau rencanakan?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh rasa ingin tahu.Ayla menggeser foto-foto yang dikirim Gabriel ke arah Dimitri. "Dia pikir ini bisa mengintimidasi kita. Tapi yang dia lakukan hanya membuka kelemahannya sendiri."Dimitri menyipitkan mata. "Maksudmu?"Ayla tersenyum kecil, tetapi senyuman itu penuh arti. "Kalau dia bisa mengawasi kita, itu berarti kita juga bisa mengawasinya. Kita hanya perlu tahu di mana titik lemahnya."Victor, yang sejak tadi diam di sudut ruangan, akhirnya angkat bicara. "Kami sudah melacak pergerakan Gabriel. Dia lebih sering muncul di Club Inferno belakangan ini. Klub itu bukan hanya tempat hiburan
Ayla menatap layar laptopnya dengan ekspresi serius. Data keuangan Carlisle Industries terbuka di depannya, menunjukkan berbagai celah yang bisa dieksploitasi. Perusahaan itu mungkin masih berdiri kokoh di permukaan, tetapi di baliknya, ada kebocoran finansial yang cukup besar."Aku bisa menghancurkan mereka dari dalam," gumamnya.Dimitri, yang berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan. "Kau berencana menyerang langsung ke inti bisnis mereka?"Ayla mengangguk, matanya tetap fokus. "Leon dan keluarganya terlalu lama menikmati kekuasaan mereka. Jika aku bisa membuat investor mereka menarik diri, Carlisle Industries akan runtuh tanpa perlu satu pun peluru ditembakkan."Dimitri menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kebanggaan di sana, tetapi juga sedikit kekhawatiran. "Kau semakin mirip denganku, Ayla."Ayla tersenyum tipis dan menutup laptopnya. "Mungkin aku memang harus menjadi seperti ini untuk bertahan."Malam itu, Ayla menghadiri sebuah gala bisnis di Ravenhurst, tem
Ayla berdiri di depan jendela kantornya, menatap pemandangan Velmont City yang bermandikan cahaya malam. Di bawah sana, kota ini terus berdenyut dengan kehidupan, tetapi pikirannya terfokus pada satu hal—kehancuran Carlisle Industries.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Clara masuk, membawa setumpuk dokumen dengan ekspresi serius."Kau harus melihat ini," katanya sambil meletakkan berkas-berkas di meja.Ayla mengambil salah satunya dan membukanya. Matanya menyipit saat membaca."Gabriel Delgado?" gumamnya.Clara mengangguk. "Dia mulai bergerak. Beberapa investor yang sebelumnya menarik diri dari Carlisle Industries kini tampaknya beralih ke Delgado Enterprises. Dia memanfaatkan situasi ini."Ayla menggertakkan giginya. Ia tidak menyangka ada pemain lain yang ikut dalam permainan ini."Dan bukan hanya itu," lanjut Clara. "Ivy Larchmont ada di sisinya."Mata Ayla berkedip sesaat. Ivy. Wanita yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Dimitri, dan sekarang muncul kembali di tengah kekac
Ayla menatap Dimitri yang berdiri di hadapannya, kedua tangan pria itu masih mencengkeram pinggangnya dengan kuat. Ciuman mereka barusan bukan sekadar ekspresi perasaan—itu adalah pernyataan kepemilikan. Namun, Ayla bukan lagi gadis yang bisa dimiliki begitu saja."Aku tidak akan kembali pada Leon," katanya, suaranya tegas.Dimitri menelusuri wajahnya dengan tatapan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Bagus," katanya akhirnya. "Karena aku tidak akan membiarkanmu pergi."Ayla tahu bahwa itu bukan sekadar pernyataan posesif. Dimitri Velasquez bukan pria yang membiarkan sesuatu yang berharga lepas begitu saja. Tapi ia juga bukan wanita yang bisa dikendalikan dengan begitu mudah."Aku akan menghancurkan Carlisle Industries sepenuhnya," lanjut Ayla. "Tapi sekarang, Gabriel dan Ivy mulai masuk ke dalam permainan. Kita tidak bisa mengabaikan mereka."Dimitri menyandarkan tubuhnya ke meja, ekspresinya dingin. "Gabriel selalu mencari celah. Aku sudah memperingatkannya sebelumnya, tetapi
Ayla berdiri di depan jendela besar penthouse-nya, menatap lampu-lampu kota Velmont yang berkilauan di malam hari. Sejak pertemuan dengan Ivy di pesta Gabriel, pikirannya terus berputar. Wanita itu tidak berbicara sembarangan—ada sesuatu di balik kata-katanya, sebuah ancaman tersirat yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Suara langkah kaki terdengar di belakangnya, dan tanpa perlu menoleh, ia tahu siapa itu.“Pikiranmu terlalu berisik,” ujar Dimitri dengan nada rendah, berjalan mendekatinya.Ayla menghela napas, tangannya tetap bertumpu di pinggiran kaca. “Ivy tidak hanya menggertak. Aku bisa merasakannya.”Dimitri menyentuh bahunya lembut, tapi nada suaranya tetap dingin. “Dia hanya mencari celah untuk menyerangmu. Jangan beri dia kesempatan.”Ayla menoleh, menatap pria itu dengan mata penuh keyakinan. “Aku tidak akan. Tapi ini bukan hanya tentang Ivy. Eleanor Carlisle telah bergabung dengan Gabriel. Itu berarti pertempuran ini tidak lagi hanya t
Sore itu langit Velmont City seakan tahu apa yang terjadi. Matahari mulai tenggelam, tetapi cahayanya masih menyentuh jendela kaca Reynard Holdings. Ayla berdiri di ruang kantornya, memandangi siluet kota yang pernah membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tapi kali ini berbeda—kali ini, kota itu berdiri di bawah kakinya.Pintu diketuk pelan.Victor menyembul dengan ekspresi serius. “Dimitri mengirim pesan. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”Ayla mengangguk. Dalam balutan blazer hitam dan rok pensil senada, dia berjalan keluar, langkahnya tegap. Sekretaris-sekretaris yang biasanya menunduk kini menatapnya dengan hormat. Bahkan eksekutif level atas tahu: wanita itu bukan sekadar pemilik perusahaan. Dia simbol dari kemenangan yang dibangun dengan luka, tekad, dan strategi.Di lobi bawah, sebuah mobil hitam menunggu. Victor membuka pintu untuknya.“Dimitri tidak bilang apa-apa?” tanya Ayla sambil masuk.“Hanya bilang kau akan mengerti setelah tiba di sana.”Ayla menatap keluar jendela.
Ayla menatap langit pagi dari jendela rumah mungil mereka di Ravenhurst. Udara masih segar, embun menempel di daun, dan suara burung menggema dari kejauhan. Di dalam perutnya, kehidupan kecil tengah tumbuh—mengubah segalanya. Ia tidak lagi sekadar seorang wanita yang ingin membalas dunia, tapi seorang ibu yang ingin menciptakan dunia yang lebih baik.Dimitri muncul dari dapur, mengenakan apron berwarna krem, membawa dua cangkir teh hangat. Pandangannya jatuh pada Ayla yang sedang mengusap perutnya dengan lembut."Kau bangun lebih pagi dari biasanya," ujarnya sambil duduk di sampingnya.Ayla tersenyum. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi tentang masa lalu... tapi kali ini, aku tidak merasa takut lagi.”Dimitri mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tangan Ayla. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Tenang. Stabil. Seperti langit yang baru saja berhenti hujan.Beberapa hari kemudian, Ayla kembali ke pusat rehabilitasi. Di ruang konseling, seorang gadis berusia
Langit Ravenhurst menggantung kelabu saat pesawat yang ditumpangi Ayla mendarat di bandara kecil kota itu. Jauh dari hiruk-pikuk Velmont, dari bayang-bayang masa lalu dan dendam yang telah ia kubur. Tak ada penyambutan mewah, tak ada keramaian. Hanya suara roda pesawat yang menyentuh landasan dan napas panjang yang Ayla embuskan dari dadanya.Ia melangkah keluar dengan hanya satu koper kecil dan sebuah tas di bahunya. Seperti awal yang baru. Seperti hidup yang ia bentuk dengan tangannya sendiri.Di luar terminal, seorang wanita berambut perak dengan kacamata bundar sudah menunggu. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan."Ayla Reynard?" sapanya pelan.Ayla mengangguk. "Dr. Mira Levin?"“Selamat datang di Ravenhurst. Aku dengar kau ingin belajar kembali tentang manusia. Tentang luka. Tentang penyembuhan,” ucap Mira sambil meraih koper Ayla.Ayla tersenyum kecil. "Lebih dari itu. Aku ingin tahu apakah hati yang dipenuhi dendam masih bisa
Kilatan cahaya dari lampu kota menyinari kaca jendela ruang kerja Dimitri saat Ayla berdiri menatap malam, tubuhnya tegak namun napasnya berat. Di belakangnya, Dimitri masih duduk di kursi, berdiam dengan tatapan kosong ke layar komputer yang menyala redup.“Kau yakin ingin melakukan ini sendiri?” tanya Dimitri akhirnya, suaranya serak karena terlalu lama menahan kata-kata yang mengendap di dada.Ayla menoleh perlahan, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Ini jalanku. Dendam ini milikku sejak awal, Dimitri. Aku harus menyelesaikannya.”Dimitri berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangannya. “Kalau ada satu hal dalam hidupku yang ingin kuubah, itu adalah hari ketika aku pertama kali membiarkanmu berjalan sendirian.”Ayla menarik napas panjang, lalu membalas genggamannya. “Kau tidak pernah benar-benar membiarkanku sendiri. Tapi aku juga harus belajar melepaskan—terutama rasa takutku sendiri.”Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada janji. Tidak
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen