Raksa terbelalak saat mendengar suara lirih yang terdengar bergumam di ujung koridor. Suara yang hampir mirip dengan yang terdengar dari Handy Talkie milik Wulan. Ia memicingkan mata dan melihat bayangan merah yang bergerak cepat menghilang menembus tembok.“Dex, beri aku alat itu!”Dex memberikannya pada Raksa, chief detektif itu memusatkan konsentrasi. Kalung unik yang dikenakannya menghangat, dalam hitungan detik Raksa mencoba memasuki memori terakhir Wulan. HT yang digunakan Wulan kembali dinyalakan. Suara berisik dari frekuensi HT mengantarkan Raksa pada detik terakhir yang terekam dalam bentuk residu negatif aktif. Kepekaan indra nya dirangsang untuk bisa menyelami frekuensi yang konon sensitif dengan kehadiran makhluk tak kasat mata."Siapa disana?”Apa kau masih mengenaliku?“Jangan mendekat!”Apa kau yakin, Wulan? Aku temanmu …,"Pergi, aku tidak mengenalmu!”Suara tawa nan melengking menyakiti pendengaran Raksa. Memori terakhir yang bisa didengar saat menyelami suara HT mula
Insiden berdarah yang terjadi di objek vital membawa dampak yang cukup besar bukan hanya kenyamanan karyawan tapi juga mengusik jajaran management. Pihak management memutuskan untuk melakukan evaluasi ulang untuk setiap pejabat setingkat pemimpin bagian.Wulan melakukan bunuh diri tanpa sebab, wanita single itu meregang nyawa dengan dugaan stress pekerjaan. Raksa tidak mempercayai begitu saja, visi nya memperlihatkan Wulan berada dalam posisi trance. Ada entitas lain yang mengontrol Wulan untuk melakukan hal konyol.Satu lompatan tinggi sebelum menghujam ke tanah menjadi bahan pertimbangan Raksa untuk menyimpulkan jika Wulan meninggal dalam kondisi tak sadar sepenuhnya. Tapi dalam hukum sesuatu yang tak bisa dibuktikan kebenarannya akan diabaikan.Meski dirinya memiliki kemampuan tak biasa tapi Raksa tak bisa menggunakannya sebagai alat bukti. Dimata hukum semua harus jelas dan bukan abu-abu.“Bisakah berita ini tidak didramatisir?” Salah satu penanggung jawab bernama Dewa bertanya.“
Alan gelisah dalam tidur, bayangan Aluna terus mengganggu pikiran bawah sadarnya. Aluna, wanita yang dicintainya sebelum bertemu dengan Amelia dan Feni.Cinta monyet Alan, jatuh pada gadis cantik nan imut yang sering menjadi pengisi live music di salah satu cafe favorit Alan. Suaranya yang bening dan jernih membuat Alan jatuh hati pada pandangan pertama. Ditunjang wajah cantik dan tubuh ideal, Aluna atau yang dikenal dengan nama panggung Alicia itu menjelma menjadi bidadari di hati Alan.Alan mendekati Aluna dan memberanikan diri berkenalan hingga bertukar nomor ponsel, saat itulah ia tahu jika Aluna adalah adik kelas Alan. Witing tresno jalaran Soko kulino, itulah yang terjadi pada Aluna dan Alan. Hampir tiap malam Jumat dan Senin malam, Alan selalu datang demi mendengarkan suara merdu Aluna.Dari iseng mengantarkan pulang berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. Alan dan Aluna pun menjalin hubungan dekat layaknya kekasih. Ia rela melakukan apapun demi Aluna. Dunia Alan berubah
“Dia mengejar kita, Fen!”“Stop it Vi! Jangan lakukan ini padaku, aku sudah cukup pusing dengan pekerjaanku. Jadi tolong jangan bicara hal ini lagi!” Feni menggertak Vivian yang kini menangis.“Amelia tewas di mobilnya dan aku melihatnya sendiri, lalu Ronald dan apa kau tahu jika Wulan juga mati pagi ini!”Feni terdiam, ia mulai terpengaruh. “Pulanglah, kau kelelahan dan tolong jangan mati Vi! Setidaknya untuk saat ini!”Vivian hendak menjawab tapi Feni sudah menutup panggilan ia menggenggam erat ponselnya. Kelebatan bayangan peristiwa sebelas tahun lalu membuat Feni ketakutan.“Itu tidak mungkin terjadi! Tidak mungkin!”“Dia tidak mungkin kembali ke dunia lagi, dia sudah mati! Dia mati!” Pesan masuk diterima Feni. [Apa kau takut? Sebaiknya begitu! Serahkan dirimu pada polisi sebelum kau menjadi korban selanjutnya.][Siapa ini? Apa maksudmu?!][Jangan berpura-pura, aku tahu kau ketakutan saat ini bukan? Dasar jalang, seharusnya kau malu pada dirimu sendiri. Kau tak layak disebut manu
Raksa dalam posisi yang sangat lelah saat ia tiba di rumahnya. Harapan menghabiskan waktu sebelum Airin kembali ke kotanya pupus sudah. Waktunya habis tersita dengan kasus bunuh diri terbaru. Rasanya ingin mengumpat dan memaki pada pekerjaan yang menyita waktu. Jika dulu ia bersikap tak peduli dengan waktu dan memilih menghabiskan malam di kantor dengan setumpuk kasus, kini kehadiran Airin membuatnya bersemangat untuk kembali ke rumah. Raksa ingin menghabiskan waktu dengan wanita yang dicintainya.Membayangkan memeluk tubuh hangat Airin, rasanya cukup menjadi pengobat lelah Raksa. Ia mematikan mesin mobil dan memastikan semua terkunci sebelum masuk ke dalam rumah. Daerah tempat tinggal Raksa memang sedang marak terjadi pencurian dan perusakan kendaraan. Pekerjaan rumah sepele bagi polisi jika dibandingkan dengan kasus pembunuhan.Raksa berjalan perlahan agar tidak membangunkan Airin, tapi ia kecewa saat mendapati Airin tidak ada di dalam kamar. Detektif muda itu penasaran dan mencari
Raksa menunggu Airin dalam gelap. Ia memperhatikan wajah berseri Airin yang baginya kini hanya sebuah topeng kepalsuan.“Sayang, apa kamu sudah dirumah?” Suara Airin memanggil Raksa sambil melepas sepatu, tidak ada jawaban dari Raksa.“Sial … kenapa gelap sekali,” gumam Airin berusaha meraba, mencari saklar lampu.Tangan kekar Raksa merengkuhnya dari belakang, membuat Airin menjerit. “Hei, sweet heart darimana malam-malam begini?” Raksa berbisik menggigit kecil cuping telinga Airin membuat dokter itu merinding tak karuan.“Kau mengagetkanku sayang, aku pergi menemui teman.”“Teman? Aku tak ingat kau memiliki teman di kota ini?” Raksa bertanya masih dengan serangan kecupan di leher jenjang Airin.“Sejujurnya aku punya, hanya saja aku belum bercerita padamu. Dia tahu aku dikota ini dan berhubung aku besok akan pulang jadi kami memutuskan untuk bertemu. Apa itu masalah untukmu.”“Ehm, sedikit. Aku tak suka kau bertemu di malam hari begini, saat aku pergi terutama. Kau tahu kan banyak sek
Airin terbangun setelah mencium aroma wangi butter dari dapur. Ia mengenakan kembali bra dan celananya, menutupi dengan kaos milik Raksa yang kebesaran. “Pagi sayang … apa yang kau masak, baunya enak sekali.” Airin memeluk Raksa dari belakang, melongok apa yang sedang dilakukan Raksa dari balik punggungnya.“Sarapan sederhana, tumis ayam dengan tambahan saos tiram. Aku menemukannya di resep online.” Raksa menjawab tak lupa dengan sedikit senyum kepalsuan.“Menu sederhana? Ini tidak sederhana untuk sarapan.” Airin memperhatikan kantung mata yang menghiasi wajah Raksa. “Tidak bisa tidur lagi?”“Hhm,”“Apa kau meminum obatmu?”“Ya, tapi sepertinya dosis nya tidak sesuai denganku. Nyatanya aku belum bisa tertidur semalam.”Faktanya, Raksa tidak meminum obat. Kenyataan bahwa Airin tengah mencuranginya membuat detektif muda itu membuang jauh obat resep Airin. Ia bahkan berencana mengirim sampel obatnya ke bagian forensik pagi ini.“Benarkah?” Airin membuka laci tempat raksa menyimpan obatn
Raksa didampingi Jack, duduk berhadapan dengan seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan. Raut wajah tegang jelas terlihat dari mata yang tak mau menatap Raksa dan Jack. Ia gelisah dan terus melihat ke arah kaca. Ia selalu bungkam dan menggeleng jika ditanya. Kesabaran Raksa hampir habis dibuatnya.“Apa ada sesuatu dibalik sana?” Raksa mengikuti arah pandang lelaki bernama Anwar itu.Anwar menggeleng cepat, Raksa yang kesal akhirnya menunjukkan selembar foto pada Anwar, foto Airin.“Kamu kenal dia?” Kening lelaki berkulit bersih dan rambut jabrik itu berkerut. “Ya, ini wanita yang memberiku uang!” akhirnya ia membuka suara, itu melegakan.“Apa kalian saling kenal sebelum ini?” tanya Raksa lagi, tatapannya dingin tanpa senyuman sedikit pun.“Itu, ehm … beberapa hari sebelum hari itu, wanita ini datang menemui ku. Dia bertanya bagaimana cara mematikan mesin mobil agar terlihat seperti sabotase.”“Kau bertemu dengan dia sebelumnya? Bagaimana bisa?”Anwar bingung menjawab ia tergagap, ka
“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.
Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih
Beberapa waktu sebelum jasad Ronald Frederick ditemukan.Rahang tegas, kulit pucat berbintik, wajahnya tampan berambut coklat. Lelaki paruh baya yang memakai setelan putih-putih itu duduk tenang dengan buku tebal dan secangkir espresso.Sesekali pandangannya berpindah pada gedung apartemen yang berada di depannya. Ia membuka halaman demi halaman dan membacanya perlahan. Dua lelaki eksekutif masuk ke dalam kafe sambil berbincang. Keduanya bicara dengan sangat antusias sampai obrolannya terdengar pengunjung lain.Lelaki itu berdecak kesal, menyesap kopinya dan membiarkan kafein menyusup, membius dan memberinya ketenangan. Ponselnya berdering, ia kembali berdecak kesal.“Apa aku tidak bisa menikmati hari ku dengan sedikit ketenangan?”Ia menjawab panggilan dari salah satu pengikutnya. “Ya, aku mendengarkan.”“Tuan Kevin, ini berjalan diluar kendali, aku mengikuti semua petunjuk tuan tapi … semua menjadi kacau! Ini gila! Kau minta aku memastikannya terbunuh? Aku melihat dengan mata kepala
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu