Raksa menunggu Airin dalam gelap. Ia memperhatikan wajah berseri Airin yang baginya kini hanya sebuah topeng kepalsuan.“Sayang, apa kamu sudah dirumah?” Suara Airin memanggil Raksa sambil melepas sepatu, tidak ada jawaban dari Raksa.“Sial … kenapa gelap sekali,” gumam Airin berusaha meraba, mencari saklar lampu.Tangan kekar Raksa merengkuhnya dari belakang, membuat Airin menjerit. “Hei, sweet heart darimana malam-malam begini?” Raksa berbisik menggigit kecil cuping telinga Airin membuat dokter itu merinding tak karuan.“Kau mengagetkanku sayang, aku pergi menemui teman.”“Teman? Aku tak ingat kau memiliki teman di kota ini?” Raksa bertanya masih dengan serangan kecupan di leher jenjang Airin.“Sejujurnya aku punya, hanya saja aku belum bercerita padamu. Dia tahu aku dikota ini dan berhubung aku besok akan pulang jadi kami memutuskan untuk bertemu. Apa itu masalah untukmu.”“Ehm, sedikit. Aku tak suka kau bertemu di malam hari begini, saat aku pergi terutama. Kau tahu kan banyak sek
Airin terbangun setelah mencium aroma wangi butter dari dapur. Ia mengenakan kembali bra dan celananya, menutupi dengan kaos milik Raksa yang kebesaran. “Pagi sayang … apa yang kau masak, baunya enak sekali.” Airin memeluk Raksa dari belakang, melongok apa yang sedang dilakukan Raksa dari balik punggungnya.“Sarapan sederhana, tumis ayam dengan tambahan saos tiram. Aku menemukannya di resep online.” Raksa menjawab tak lupa dengan sedikit senyum kepalsuan.“Menu sederhana? Ini tidak sederhana untuk sarapan.” Airin memperhatikan kantung mata yang menghiasi wajah Raksa. “Tidak bisa tidur lagi?”“Hhm,”“Apa kau meminum obatmu?”“Ya, tapi sepertinya dosis nya tidak sesuai denganku. Nyatanya aku belum bisa tertidur semalam.”Faktanya, Raksa tidak meminum obat. Kenyataan bahwa Airin tengah mencuranginya membuat detektif muda itu membuang jauh obat resep Airin. Ia bahkan berencana mengirim sampel obatnya ke bagian forensik pagi ini.“Benarkah?” Airin membuka laci tempat raksa menyimpan obatn
Raksa didampingi Jack, duduk berhadapan dengan seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan. Raut wajah tegang jelas terlihat dari mata yang tak mau menatap Raksa dan Jack. Ia gelisah dan terus melihat ke arah kaca. Ia selalu bungkam dan menggeleng jika ditanya. Kesabaran Raksa hampir habis dibuatnya.“Apa ada sesuatu dibalik sana?” Raksa mengikuti arah pandang lelaki bernama Anwar itu.Anwar menggeleng cepat, Raksa yang kesal akhirnya menunjukkan selembar foto pada Anwar, foto Airin.“Kamu kenal dia?” Kening lelaki berkulit bersih dan rambut jabrik itu berkerut. “Ya, ini wanita yang memberiku uang!” akhirnya ia membuka suara, itu melegakan.“Apa kalian saling kenal sebelum ini?” tanya Raksa lagi, tatapannya dingin tanpa senyuman sedikit pun.“Itu, ehm … beberapa hari sebelum hari itu, wanita ini datang menemui ku. Dia bertanya bagaimana cara mematikan mesin mobil agar terlihat seperti sabotase.”“Kau bertemu dengan dia sebelumnya? Bagaimana bisa?”Anwar bingung menjawab ia tergagap, ka
Raksa berdiam diri dalam ruangannya dengan mata terpejam. Ia perlu berkonsentrasi sejenak sebelum memutuskan apa yang harus ia lakukan.Tim penyelidik sudah terbagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing memiliki tugas berbeda. Raksa sendiri masih memainkan perannya sebagai pemain watak untuk menjebak Airin dan menemukan siapa yang membantu dokter itu.Jari raksa mengetuk ngetuk konstan di atas meja selama beberapa menit sebelum akhirnya berhenti. Ia membuka mata lalu mengambil file Amelia. “Keterlibatan Airin mungkin tujuh puluh lima persen bisa dibuktikan. Tapi apa kau bisa memberiku sesuatu Amelia?”Raksa menatap satu persatu foto Amelia, korban pertama yang menghebohkan publik. Foto sebelum dan sesudah Amelia diotopsi berjajar, mata elang Raksa memperhatikan detail luka yang tertinggal di tubuh malang Amelia.Dia, ada disana!Suara misterius itu kembali terdengar, menegakkan bulu tengkuk Raksa tapi sekaligus membuatnya semakin penasaran. Kalung Cakra yang dikenakan Raksa me
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d
Beberapa waktu sebelum jasad Ronald Frederick ditemukan.Rahang tegas, kulit pucat berbintik, wajahnya tampan berambut coklat. Lelaki paruh baya yang memakai setelan putih-putih itu duduk tenang dengan buku tebal dan secangkir espresso.Sesekali pandangannya berpindah pada gedung apartemen yang berada di depannya. Ia membuka halaman demi halaman dan membacanya perlahan. Dua lelaki eksekutif masuk ke dalam kafe sambil berbincang. Keduanya bicara dengan sangat antusias sampai obrolannya terdengar pengunjung lain.Lelaki itu berdecak kesal, menyesap kopinya dan membiarkan kafein menyusup, membius dan memberinya ketenangan. Ponselnya berdering, ia kembali berdecak kesal.“Apa aku tidak bisa menikmati hari ku dengan sedikit ketenangan?”Ia menjawab panggilan dari salah satu pengikutnya. “Ya, aku mendengarkan.”“Tuan Kevin, ini berjalan diluar kendali, aku mengikuti semua petunjuk tuan tapi … semua menjadi kacau! Ini gila! Kau minta aku memastikannya terbunuh? Aku melihat dengan mata kepala
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih