Mendiang Raja Arkha pernah menyambangi tanah seberang, mengunjungi Kerajaan Bamantara, guna bersua Raja Arutala dan Ratu Sekar Ayu. Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang. Satu-satunya kerajaan paling damai di mana raja hanya menikah dengan satu wanita lalu menjadikan sebagai Ratu Kerajaan Bamantara. Kerajaan netral tidak memiliki musuh lantaran Kerajaan sendiri pun berjaya dan mampu mencukupi kehidupan rakyat dengan sumber daya alamnya. Hal tersebut yang membuat Raja Arkha memiliki niat baik untuk menikahkan putri semata wayangnya bernama Rengganis. Selain sebagai pernikahan politik untuk mempererat hubungan kedua kerajaan, Raja Arkha juga berharap agar Pangeran Abra, pangeran ke-2 kerajaan tersebut akan senantiasa menjaga putri semata wayangnya. Menjadikan Rengganis istri dan ratu satu-satunya. "Mendengar reputasi baik dari Kerajaan Bamantara aku tidak ragu untuk menyerahkan putriku satu-satunya untuk menikah dengan Pangeran Abra. Jadilah pasangan yang saling mencint
Ketika Abra menjalani malam panas penuh gairah dengan Madhavi. Sangat berbanding terbalik dengan Rengganis si pemilik sah Kerajaan Baskara terlihat sederhana dalam balutan pakaian warna putih dengan celana warna sama, kemudian di bagian perut diikat kain kecil warna hitam. Tanpa aksesoris dan pakaian mewah, Rengganis nampak seperti pendekar wanita, dia menjalani awal baru di tempat yang tidak seharusnya ditempati. Rengganis menatap kobaran api unggun yang dinyalakan Khandra. Saat ini, dia masih dikelilingi para ksatria menikmati langit malam bertabur bintang. “Waktu itu aku mengadakan jamuan untuk menyambut kehamilan Selir Madhavi. Meski sakit hati sekali pun lantaran wanita itu meraih cinta dari suamiku. Namun, tidak pernah ada niat di hati untuk melukai. Awalnya kami tidak apa-apa menikmati hidangan, menyesap teh di cangkir, entah bagaimana giliran Selir Madhavi yang meminum teh buatan dayangku, dia langsung tersungkur pingsan, tubuh bagian bawah mengeluarkan darah bany
Khandra mengerutkan kening, dia dan Kayana saling pandang dalam kegelapan ketika suara tidak asing tersebut terdengar. Keduanya melangkah keluar antara terkejut juga merasa aman. "Mang Damar," sapa Khandra keluar dari tempat persembunyian. "Aku kira siapa tadi." Kayana bernapas lega. Terdengar suara tawa Mang Damar dan tiga orang lainnya. "Siapa lagi yang malam-malam menyusup ke hutan, huh," kekeh Mang Damar. "Ayo segera kembali, anak buahku melihat Ki Kastara keluar dari Istana berjalan mengelilingi desa. Aku yakin dia akan ke kedai juga," ungkapnya. "Kita harus bergegas, mari!" ajak Khandra. Mereka mempercepat langkah kaki, tidak peduli semak belukar mereka terjang. Bertepatan dengan Ki Kastara masuk ke dalam. Mang Damar memberikan nampan berisi kendi tempat arak juga mangkuk batok kelapa. Khandra dan Kayana gegas masuk dalam bilik membawanya. Anak buah Khandra berdiri. Mereka berempat bergerak cepat mengganti pakaian ada per
Kerajaan Baskara, tepatnya istana utama, tempat raja dan abdi dalem, maupun pemangku menjalankan tugas kenegaraan. Suasana tengah memanas, emosi menjalar pada segala arah memecah belah kubu masing-masing. Pernyataan Raja Abra yang mengumandangkan Selir Madhavi sebagai bakal calon Ratu. "Mohon ampun Gusti, ini tidak bisa terjadi. Status Selir Madhavi bukan siapa-siapa di Kerajaan Baskara. Hendaknya Gusti Prabu memikirkan kembali pengangkatan Ratu. Kedudukan Raja saja bukan lagi darah daging keluarga kerajaan Baskara. Kami tidak mengizinkan jika Selir Madhavi menjadi ratu, itu melanggar aturan adat," ujar lelaki tua yang mengenakan blangkon. 'Tidak kusangka ini cukup memusingkan, aku kecolongan kurang memahami seluk beluk kerajaan ini. Terlebih Ki Chandra adalah kerabat mendiang Raja Abra. Akan sangat berbahaya jika aku melakukan hal bodoh,' umpat Abra dalam hati. "Gusti Prabu Abra, sungguh kami mengharapkan Gusti Prabu jangan bertindak gegabah. Bersikap la
Raja Abra masuk ke dalam kamar Selir Madhavi dengan wajah merah padam menahan marah. Rahangnya mengeras, tangan kanan meraih pakaian kebesaran bagian bawah yang panjang. Selir Madhavi yang menunggu dengan wajah gembira lantaran sebentar lagi dia akan dinobatkan sebagai Ratu tidak henti riang. Namun, senyum itu lenyap bersamaan Abra masuk dalam kamar. “Kakang Prabu!” panggil Madhavi, “apa yang terjadi?” tanyanya. “Para tetua dan juga kerabat mendiang raja menyudutkan kita,” ujar Abra. Madhavi mengernyit, “Maksud Kakang Prabu?” tanya wanita tersebut berjalan mendekat. Abra menghela napas panjang dan berat, rasanya emosi meluap luruh seketika melihat wajah Madhavi, bagikan air yang menyiram api, memadamkan. Begitu juga kehadiran Madhavi di sisinya. “Mereka mempersulitmu menjadi ratu,” lirihnya. Lelaki tersebut menyentuh pipi sang selir yang nampak terkejut atas jawabannya. Mau tidak mau dia menceritakan apa yang terjadi di ruang rapat Istana Utama.
Mbok Berek dan Rengganis diikuti Kayana masuk ke dalam kampung, mereka menuju pasar guna membeli keperluan makan yang telah habis. Rengganis merasa terhibur melihat keramaian, baru kali ini dia mengunjungi pasar. Banyak penjual menjajakan dagangan dari hasil panen. Rengganis melihat beberapa prajurit mengiring dayang istana memasuki kawasan pasar. Mereka sangat terlihat angkuh, mengambil paksa barang dagangan orang-orang. Jika ada yang melawan, prajurit tidak segan memukul menggunakan ujung sarung pedang. perangainya begis seolah tanpa ampun, membuat Rengganis muak melihat wajah-wajah para penjilat tersebut. Rengganis ingat benar kala dirinya tengah berada di mercusuar, perbincangan para penjaga yang lebih mementingkan perut dan kesennagan mereka. Tidak ada kata kesetiaan, dikala Rengganis pasrah akan segala hal, Khandra hadir mengulurkan tangan, kepercayaan Rengganis pada para abdi mulai muncul kembali. tidak selamanya manusia serakah dan menjijikan. “Kau kurang
Brak! Abra menggebrak meja membuat air dalam gelas tumpah. Makanan yang disajikan pun tumpah dari tempatnya. Kepala terasa panas, lelaki itu tidak bisa lagi menahan emosi, dengan kasar menyibak isi meja. Saat ini dia sedang berada di tempat makan Istana Utama di ruang pribadi khusus raja.Prang! Bruak! Perkakas dan benda makan berjatuhan ke lantai. "Sial, mengapa mereka mempersulit keadaanku. Ingin sekali aku bunuh mereka semua, setan alas!" umpat Abra menghiraukan status 'Raja' yang tersemat. Beberapa dayang menatap dengan gemetar, takut menjadi sasaran amarah Abra yang. Lelaki itu bangkit dari duduk melotot ke arah pintu yang terbuka. Ki Kastara masuk ke dalam bersama Khandra. Dia mendengkus seraya berkacak pinggang. "Kenapa dia ikut masuk?" tanya Abra menududing Khandra. "Dia anak buahku," kata Ki Kastara. "Cecunguk itu murid Empu Jagat Trengginas, ingat!" bentak Abra. 'Gawat, bagaimana jika mereka mencurigai diriku?' tan
Kayana melompat ke udara dia mendarat di sebuah batang pohon, menelisik ke area sekitar yang tertutup semak belukar. Suara seorang wanita minta tolong nyaring terdengar. Mata pemuda itu membeliak, melihat beberapa bandit merangsek tubuh seorang wanita. lalu mendarat dengan kaki kanan terjulur ke depan menendang salah seorang lelaki yang tengah merangsek tubuh wanita di antara tiga lelaki lainnya. Bugh! Aw! Teriakan memekik dari lelaki bermuka gahar yang ditendang oleh Kayana. Mereka berempat menoleh bersamaan ke arah si biang rusuh. “Setan alas, siapa kau yang mengganggu kesenangan kami?” teriak salah seorang berbadan tambun. “Apa yang kau lakukan pada gadis malang tersebut, heh?” cibir Kayana, dia menoleh sekilas ke arah sang gadis yang hampir telanjang bulat itu. ‘Duh Gusti tubuhnya sangat menggoda sekali,’ bisik Kayana dalam hati terpesona. Dihela napas panjang untuk menghilangkan pikiran kotor yang hinggap, ‘Hentikan pikiran mesummu Kayana,’ umpat pada
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya