Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau
“Pasti berat hidup nak Putra tanpa kehadiran sosok orang tua ... Tapi Om yakin kedua orang tua nak Putra sekarang tersenyum di atas sana melihat kesuksesan anaknya,” hibur Hendrawan sambil sesekali mendongak ke atas.Aldan hanya merespon dengan senyuman disertai anggukan, tetapi dalam hatinya membatin, ‘Kau tidak ingin bertanya siapa nama Papa dan Mamaku? Nama Papa dan Mamaku, Chandra dan Yuyun Wahyuni. Ya, Hendrawan. Kau terlibat dalam pembunuhan Papa Mamaku. Dan kau tau siapa aku? Aku anak mereka yang juga hampir kau bunuh. Tapi Tuhan menyelamatkanku. Sekarang gantian, kau yang akan kubunuh.’“Nak Putra?” Hendrawan melambaikan tangan pada Aldan yang tengah tersenyum menatapnya begitu lama.“Maaf, Om. Aku membayangkan Om adalah Papaku.” Aldan berbohong untuk mendapatkan kasih sayang Hendrawan. Semakin dekat dengan musuh, maka balas dendamnya pasti jauh lebih mudah.“Serius? Om merasa tersanjung sekali. Kalau begitu mulai sekarang nak Putra boleh memanggil Om dengan sebutan Papa,” usu
Menggunakan mobil Mitsubishi Pajero sport miliknya, Verra mengantar Aldan pulang. “Kamu beruntung,” ucap Aldan memulai pembicaraan.“Beruntung?” tanya Verra menoleh sebentar ke arah Aldan sebelum kembali fokus menyetir.“Iya. Kamu pasti sangat bahagia memiliki orang tua seperti Papamu.”“Dan aku juga beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik kamu.”“Kamu baru mengenalku. Mana bisa kamu menilai aku orang baik?” tanya Aldan tersenyum menatap Verra.“Ya yakin aja. Dan penilaianku gak bakalan salah.” Verra tersenyum manis menatap Aldan yang kini telah membuatnya jatuh cinta. Dia yakin pria tampan itu adalah orang baik.“Kalau penilaianmu salah, bagaimana?” canda Aldan sambil tertawa kecil. “Berarti kamu bukan orang baik. Jika kamu orang jahat, maka aku akan menghukummu.” Verra bercanda dengan memasang wajah galak yang hendak menghajar orang lain, tetapi di detik berikutnya senyuman manis terbit lagi di bibirnya.Aldan tersenyum miring pada Verra yang sedang berusaha menyalip laju truk
Aldan terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Dia melihat kedua orang itu tengah menyeringai tajam padanya.“Siapa kalian?” tanya Aldan sambil berdiri dengan sikap tegas, tidak ada rasa takut sedikit pun di wajahnya meskipun Dani tengah menutup pintu rumah rapat-rapat.“Siapa kami? Kami preman yang sedang menyamar,” jawab Dani sambil menyingsingkan lengan baju, memperlihatkan tato miliknya.“Apa lo takut?” sambung Bahri sambil bergerak maju satu langkah dengan menyunggingkan senyum meremehkan.Bukan takut, Aldan malah tertawa geli menatap mereka.“Dih ... Lihat wajahku,” kekeh Aldan sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Apa aku terlihat takut? Mendingan kalian pergi deh, serius.”Bahri dan Dani mendekat dengan tatapan geram. Mereka berdiri tepat di hadapan Aldan sembari membunyikan buku-buku jemarinya untuk menakut-nakuti. Namun, mereka salah besar. Andai mereka tahu Aldan adalah pimpinan pasukan rahasia white master, mereka pasti berpikir berkali-kali lipat untuk menyerang Aldan.“Lo
“Berapa yang kalian terima dari Lukman?” tanya Aldan pada Bahri. “Tiga juta, tapi kami masih menerima seperuhnya. Pak Lukman mau membayar separuhnya lagi jika kami sudah menghajarmu,” jawab Bahri sambil memegangi mulutnya. “Ya udah ambil separuhnya lagi. Bilang saja kalau kalian berhasil menjalani tugas dengan baik,” ucap Aldan tersenyum penuh arti, membuat Dani dan Bahri terkejut. “Maksudnya?” tanya Bahri bingung. “Ya aku mau membantu kalian buat mendapatkan uang dari tua bangka itu. Katakan saja kalau kalian sudah menghajarku,” jawab Aldan menyunggingkan senyuman sambil mengulurkan tangan. “Maaf barusan aku memukul kalian. Sekarang kita adalah teman, pergilah buat menagih janji tua bangka itu.” Bahri seketika senang, dia menerima uluran tangan Aldan, “Gue gak percaya setelah apa yang gue dan Dani lakukan padamu.” “Hem santai saja.” Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menghampiri Dani yang masih tersungkur dibawah. Dani menyambut uluran tangan Aldan yang membantunya untuk berd
“Gak mungkin sih menurutku. Meskipun aku baru mengenalnya, aku rasa pak Hendrawan adalah polisi yang amanah dan bertanggung jawab. Bahkan aku dengar pak Hendrawan sangat dekat dengan masyarakat.” Aldan pura-pura tidak mempercayai ucapan gadis itu. Gadis itu menyandarkan punggungnya dengan napas kesal, “ Wajar kamu gak percaya. Kamu belum mengenal dalamnya Hendrawan. Dia bermuka dua. Dekat dengan masyarakat, tapi juga dekat dengan penjahat. Dia mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri.” “Mungkin kamu salah paham.” Aldan menatap lekat pada gadis itu. “Emang kasus apa yang barusan kamu katakan? Gadis itu terdiam, ekor matanya bergerak seirama dengan otaknya yang berputar cepat mencari sebuah jawaban yang pas. Tiba-tiba dia memajukan tubuh dengan tatapan serius pada Aldan, “Seminggu yang lalu siswi SMA, namanya Clara, diperkosa anak pejabat. Clara melapor ke kantor polisi, tapi di sana dia gak digubris. Hingga akhirnya Clara meminta bantuanku. Aku membantu Clara dan berhas
Hari yang indah di tempat wisata, liburan bersama keluarga.“Pemandangannya bagus nih. Foto yuk,” ajak Yuyun sambil menggandeng tangan Aldan.“Iya nih, Ma. Gak kalah bagus dengan menara eifel,” imbuh Aldan takjub.“Yaudah sini Papa yang fotoin,” kata Chandra mengarahkan kamera pada Aldan dan Yuyun. “Aldan, Mama, mana senyumnya?” Chandra memotret keduanya yang sedang berpose narsis.“Ayo foto bareng, Pa,” pinta Yuyun.“Iya Pa ayo biar lengkap,” imbuh Aldan.“Oke-oke bentar.” Chandra mendekati seseorang yang lewat di sampingnya. “Mas boleh minta tolong fotoin kami?”“Boleh.”Aldan dan kedua orang tuanya berfoto bersama dengan berbagai macam pose. Mereka tampak bahagia sekali. Namun, disaat bersamaan ada seorang pria bersepatu datang mendekat. Tanpa basa-basi orang itu menebaskan pedang pada tubuh Chandra dan Yuyun.“Lari, Aldan.”“Lari, nak. Selamatkan dirimu.”Chandra dan Yuyun membiarkan tubuhnya menjadi makanan senjata pria bersepatu demi melindungi sang buah hati. Sementara Aldan h
Aldan mematikan laptop miliknya. Dia berbaring di tempat tidur. Dia memejamkan mata, tetapi dia sulit tidur kembali. Pikirannya masih melayang-layang.Banyak yang Aldan pikirkan. Salah satunya bagaimana caranya dia membuat perhitungan pada pembunuh kedua orang tuanya. Dia juga berpikir keras untuk menemukan seseorang yang menyuruh mereka. Dia harus balas dendam serapi mungkin agar identitasnya tak terendus.“Aku harus bergerak cepat buat menghukum mereka. Sudah terlalu lama mereka menikmati hidup. Saat ini Hendrawan adalah kunci keberadaan pelaku lainnya,” ucap Aldan menatap langit kamar dengan tatapan menerawang jauh.Tiga puluh menit berlalu, Aldan masih belum terlelap tidur. Dia mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, lalu bangkit ke luar kamar.Aldan mendaratkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Sebelah tangannya meraih remot di sofa untuk menyalakan tv.Awalnya Aldan merasa jenuh, mengganti beberapa chanel tv. Namun, matanya membelalak sempurna saat melihat wajah seseorang di salah satu
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun