Pemeriksaan ke dokter kandungan itu berakhir dengan wajah merah Dinar karena malu dengan pertanyaan Dirham pada dokter Elvira, setelah Dinar menendang tulang kering Dirham dan pemuda itu mengaduh karena kesakitan, membuat dokter Elvira bertanya pada pasangan itu, apa ada masalah? atau bagian tubuh lain yang sakit.
Dirham menjawab kakinya pegal dan tadi malam kram karena aktifitas malam mereka.
Dinar wajahnya langsung memerah seperti kepiting rebus, mau saja rasanya dia menonjok muka Dirham di depan dokter Elvira. Tapi ditahannya keinginan itu.
Sementara mendengar jawaban Dirham dokter Elvira hanya menahan senyumnya, sudah paham bagaimana rasanya jiwa muda kalau sedang jatuh cinta. Dokter itu lalu memberi saran agar pasangan itu lebih berhati-hati dan untuk menghindari kecederaan mereka harus memilih posisi yang aman untuk keduanya. Dirham menahan tawa melihat wajah merah gadis di sampingnya.
Selama
“Apa?” mata Dinar berkaca-kaca, mati-matian dia mencari kerja untuk mencukupi kehidupan dia dan anaknya kelak, tapi lihatlah sekarang, dia sudah kehilangan salah satu sumber penghasilan, ini semua pasti ulah Dirham. ‘Aku benci kau, setan!’ dalam hati, Dinar terus memaki-maki lelaki di sampingnya yang tersenyum puas. “Maksud Pak Uda?” “Kami sudah cukup tenaga untuk sementara ini nak Dinar, maaf ya.. kata nak Dirham, kamu juga butuh banyak istirahat.” Dinar menatap tajam pada Dirham, sakit hati dengan tindakan Dirham yang seolah terus mengaturnya. Dinar mengangguk lemah, dengan gontai dia meninggalkan tempat itu melangkah tanpa arah tuju. Sementara Dirham mengucapkan terima kasih kepada Pak Uda dan segera menyusul langkah Dinar. “Tunggu, Di.. ” Dinar menyapu air matanya dengan ujung jari. Tidak menyahut maupun menoleh pada Dirham. “Tunggu Di, biar kuantar.” suara Dirham
Dinar terpana, permintaan Dirham sungguh di luar dugaan. Apa yang harus dia jawab, membolehkan? Nanti dia ambil kesempatan lagi, atau bilang saja tidak boleh, tapi ini anak dia, kadang Dinar juga sangat ingin disentuh oleh Dirham, entah itu perasaan jalangnya atau keinginan anaknya, yang jelas dia tidak pernah menghiraukan keinginannya. Dia akan pendam sebisa mungkin keinginan aneh itu dan akan terus menjadi rahasia hatinya. Dirham masih menunggu jawaban dari mulut gadis di depannya, Dinar masih diam tapi dia menguak pintu lebih lebar, lalu masuk agak ke dalam. Dirham mengikuti langkah Dinar dengan mata masih menatap tidak percaya. Dinar mengangguk memberi isyarat kalau dia mengijinkan lelaki itu untuk menyentuh perutnya. Dirham tersenyum haru lalu menutup pintu dengan kaki kirinya, ia mendekat ke arah Dinar. Lalu berdiri dengan melipat lututnya, perlahan tangannya menyentuh perut Dinar yang sudah terlihat sedikit menonjol.
Dinar berkaca-kaca, itu adalah sindiran dari ibunya. Dia tahu ibunya pasti masih marah sama dia. (Eng.. Kak.. ) terdengar suara Arfa serba salah.“Sudah Fa, nggak apa. Ibuk masih belum bisa maafin kakak, biar marahnya reda dulu.”(Maaf ya Kak, maafin Ibuk juga)“Iya, Kakak ngerti kok, aku pergi kerja dulu ya, Dek. Ada apapun tolong hubungi aku.”(Iya Kak, disana juga jaga diri ya) Setelah panggilan diakhiri, Dinar kembali bersiap-siap untuk pergi kerja. Roti yang sudah diisi selai segera dimasukkan ke dalam kotak makanan, sebotol air juga dibawa dan dimasukkan ke dalam tas kain lusuhnya.Dia segera mengunci pintu dan keluar menuju halaman depan. Dia melihat ada orang memakai jaket hijau sedang menunggunya, itu sepertinya jaket ojek online, benar saja, ada tulisan besar di belakang jaket hijau itu. “Maaf, Mas. Nunggu siapa, ya?”Orang itu menoleh kebelakang dan tersenyum, rupanya seorang perempuan.“Maaf, Mbaknya nunggu siapa,
Dinar terpaku mendengar ucapan dari Dirham, ‘Menemui Ibuk? dia belum tahu Ibuk bisa saja membunuhnya.’ dalam hati gadis itu berbicara sendiri. “Untuk apa? Tidak perlu karena aku tidak mau menikah denganmu.” Dinar melipat tangannya di depan dada. Dia tidak memandang wajah Dirham sama sekali. “Pikirkan masa depan anak ini, Di. Entah kenapa setelah menyentuhnya tadi malam, aku ingin memilikinya secara utuh. Dia darah dagingku.” Wajah Dinar merah padam menahan marah. Dia tersenyum sinis. “Enak aja, dia milikku! tidak mungkin kuserahkan padamu, dia anak ku!” “Dia juga anakku! aku berhak atas dia, Di. Kau tidak mau menikah denganku tidak jadi soal, asal anak ini harus tinggal bersamaku nanti.” Plakk Dinar menampar pipi lelaki yang sekali lagi menyakiti hatinya. Dirham mengusap bekas tamparan itu, panas. Matanya dipejamkan tidak mau tersulut emosi, Sekarang Dinar t
Air mata Dinar semakin deras, tapi sebisa mungkin dia menahan dirinya untuk panik, ibunya perlu ditenangkan. “Buk, tenang dulu. Sekarang dimana Arfa?” (Ibuk sekarang di rumah sakit, Nduk. Adikmu ada di IGD sedang ditangani, dia tadi tidak sadar Nduk, Ibuk takut, Ibuk takut adikmu tidak bisa diselamatkan, ini salah Ibuk, tadi Ibuk suruh adikmu antar pesanan, dan pulangnya adikmu kecelakaan, ini salah Ibuk, Ibuk ini bukan Ibuk yang baik buat kalian, Ibuk ndak bisa jaga kalian) Tangisan ibunya di seberang sana membuat Dinar semakin sedih, air matanya semakin deras mendengar penyesalan ibunya, dan mendengar keadaan adiknya yang sedang kritis membuatnya takut. “Ibuk yang sabar, istighfar Buk, Ibuk tidak bersalah, ini kecelakaan, Buk, ujian untuk kita, mari doakan Arfa akan baik-baik saja. Dinar belum bisa pulang Buk, sekarang Ibuk sama siapa?” airmata Dinar makin deras mengalir, membayangkan ibunya sendiri menjaga sang adik, membayangkan Arfa s
(Aku kesana sekarang, jelaskan semuanya padaku, kenapa tiba-tiba.. )“Tidak perlu kesini sekarang, sudah malam, besok saja kesini, aku ingin bicara dan jelaskan semuanya. Sebelum aku pergi kerja. Datang jam 7 pagi.”(Di, kenapa suaramu seperti kena flu gini, kamu sakit? sudah makan? Vitamin dan susu sudah di minum?)“Aku tidak apa-apa, aku mau istirahat.” Klik Tanpa pamit panggilan itu diakhiri oleh Dinar.‘Ya Allah, sudah benarkah keputusanku ini?’ Dinar menyapu air matanya dengan ujung jari. Pikirannya buntu, hatinya tidak karuan. Dan yang paling membuat dia takut, apa ini tidak menimbulkan sebuah penyesalan baginya nanti? Dinar kembali masuk ke kamar mandi, air wudhu diambil, dia butuh ketenangan sekarang, dia butuh tempat untuk mengadu dari masalah yang menghimpit dadanya. Sajadah dibentang. Mukenah dipakai. Allahuakbar. Dinar hanyut dalam khusyuk sholat Sunnah untuk menghadap Rabbnya.&
Dinar melongo setelah mendengar ucapan Dirham barusan, waktu satu minggu terlalu singkat baginya, untuk menyiapkan semuanya tidak mungkin bisa semudah itu, daftar di KUA tempatnya juga. Tidak mungkin bisa selesai dalam waktu seminggu. “Menikah bukan permainan pondok-pondok, tanpa persiapan dan dilakukan begitu saja.” Dinar tidak bisa langsung setuju dan menerima keputusan yang diberikan oleh Dirham padanya. “Serahkan semua padaku, seminggu lagi kita pulang ke rumah ibu mu, kita menikah di sana. Jadi seminggu lagi uangnya aku transfer.” “Gila! bukannya tadi kau bilang sore ini uangnya bisa masuk ke rekeningku?” “Di, apa jaminannya kalau kau tidak akan lari dariku membawa anakku kabur. Pekerjaanku juga banyak di sini, aku harus atur semua satu demi satu.” ada kekhawatiran di hati Dirham setelah menyadari kalau Dinar bisa saja berubah pikiran. “Tidak, atur saja semua tapi kita tidak perlu pulang ke sana, aku tidak bisa
Dirham menunjukkan notifikasi di aplikasi mobile bankingnya pada Dinar, Dinar hanya mengangguk, ada butiran bening jatuh di pipinya tanpa disadari oleh lelaki di depannya. Dinar lega, akhirnya dia bisa mendapatkan uang tepat waktu, dan sebentar lagi dia akan mengirim uang itu ke rekening ibunya.“Terima kasih, aku akan penuhi semua syarat darimu.”“Sama-sama, masih tidak ingin cerita uang itu untuk apa?” Dirham kembali menatap gadis itu lekat.“Suatu saat kamu akan tahu sendiri tanpa kuberitahu.”“Oke kalau gitu, makan yang rapi kaga bisa?comot kek bocil aja.”Dengan itu jari Dirham sudah mengusap tepi bibir Dinar, membersihkan saus yang menempel di sana, lalu jarinya dibawa ke bibir, dijilat sambil mata tidak lepas dari wajah Dinar membuat gadis itu menunduk malu. Wajahnya merah. Dia berusaha menyembunyikan debaran di hati yang mulai menggila. ‘Jangan jatuh hati sama dia, Di’Dinar memperingatkan dirinya sendiri. Jujur saja perhatian Dirham padanya a
Suara nyanyian burung kenari dan debur ombak berselang-seling membangunkan tidur pulas Dirham. Pria itu membuka matanya dan melihat jam di ponsel, sudah jam 5 pagi. Ia bangun dan menatap pada wajah ayu wanita yang masih tertidur pulas di atas lengannya. Dirham bangun dari tempat tidur dan mengalihkan kepala sang istri. Ia melangkah menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sebentar dan menunaikan kewajibannya. Lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Dinar akan bangun, pasti wanita cantik itu kelelahan melayani keinginan suaminya yang tidak pernah jemu. Dinar baru dibiarkan tidur hampir jam 1 pagi.“Eungh …” Dinar menggeliat ketika merasakan tidurnya terganggu. Kantuknya tidak dapat lagi dinegosiasi, suaminya yang perkasa membuatnya hampir tidak bisa berdiri tadi dini hari, hingga ke kamar mandi harus digendong.Melihat istrinya tidur dengan mulut terbuka, membuat Dirham tertawa.'Kenapalah kamu itu sangat m
Mature contentDinar mencoba mengimbangi permainan lidah nakal sang suami, dan seperti selalu, Dirham selalu tidak bisa ditebak arah permainannya.“Mas, engh …” satu lenguhan keluar dari bibir mungil sang istri tatkala bibir Dirham mulai turun menjelajahi leher putih dan menyesap serta melumat dengan sesapan-sesapan kecil dan panas meninggalkan beberapa jejak kemerahan si sana. Jemari tangan Dinar meremas rambut Dirham menyalurkan hasratnya yang mulai bangkit.Dirham membawa istrinya ke atas tempat tidur dan menjatuhkannya, ia merasa celananya sesak karena miliknya mengeras sejak mereka turun dari mobil tadi. Membayangkan Dinar yang mendesis nikmat di bawah tubuhnya saja membuat pria itu langsung bergairah.Dirham membuka blouse istrinya, sementara Dinar memberi akses pada sang suami untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Ia juga menarik keluar baju pria yang menjadi tempat ia mencurahkan segal
“Mas! Anak-anak dengar tuh.” Dinar mencubit pinggang suaminya.“Dengar apa itu, Bunda?” Ruby memang kritis pemikirannya, selalu ingin tahu apapun yang didengar oleh telinganya.“Tidak ada apa, Sayang. Ruby nanti kalau bobo sama Oma dan Opa jangan rewel tau.” Dinar berpesan pada putrinya.“Kakak kan udah gede, pesen itu buat adik kali, Bunda.” Dirham tertawa mendengar kalimat pedas dari putrinya, ngikut siapalah itu, pedas kalau ngomong.“Adik uga udah pintal kok, pipis malam aja udah kaga pelnah.” Abizaair tidak mau ketinggalan.“Jelas dong, Adik udah mau 4 tahun, mana boleh pipis malem. Kasihan yang bobo sama adik kalau kena pipisnya.”Ujar Dirham pula, ia membawa mobil dalam kecepatan sedang.“Papa pelnah pipis malam-malam?” pertanyaan dari sang putra membuat Dinar terbatuk-batuk.“Pernah dong, tanya sama Bunda tuh. S
Dirham menatap istrinya, ia merasa heran mendengar ucapan dari gadis di depannya itu.“Sada, maksudnya apa? Kami tulus lho membantu kalian.” Dinar meminta Sada untuk menjelaskan penolakannya tadi.“Loli, ajak adik-adik ini bermain dengan Ruby.” Dinar memanggil Loli.“Iya, Bu. Ayo adik. Ada temannya di sana.” Loli datang dan memanggil adik-adik Sada untuk menuju ke halaman samping.“Pergilah, nanti Mbak panggil kalau mau pulang.” Baim dan Zahra mengangguk dan mengikuti langkah Loli.“Begini, Pak. Saya tidak enak kalau harus menerima kebaikan bapak dan ibu cuma-cuma.” Dinar tersenyum, ia mengerti apa maksud dari Sada. Ia masih ingat dulu Sada tidak pernah mau menerima uang secara cuma-cuma, ia harus bekerja sebelum menerima uang dari orang lain.“Tapi ini kan beasiswa. Namanya beasiswa pasti tanpa syarat. Kecuali beasiswa prestasi.&r
“Mbak Dinar!” Dinar langsung berdiri dan memeluk gadis itu dengan mata berbinar, gadis yang ingin ditemui ternyata sekarang ada di depannya. Sada membalas memeluknya.“Kamu kerja di sini?” Dirham bertanya pada Sada, gadis yang dulu pernah menjadi orang kepercayaannya untuk mengantar dan menjemput Dinar waktu mereka belum menikah.“Iya, Pak. Saya kerja di sini? Bapak sekeluarga liburan?”“Ayo, duduk. Kita bisa cerita-cerita. Adik-adik kamu pasti sudah besar sekarang.”Dinar menyentuh lengan Sada.Gadis itu tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.“Saya masih kerja, Mbak. Mana bisa duduk-duduk di sini. Adik saya sudah sekolah, kelas 6 SD sama kelas 4.”“Kamu tidak narik ojol lagi?” Dirham bertanya sambil mengambil sebotol air mineral di atas meja. Dibuka tutupnya dan diberikan pada sang istri.“Sore jam 4 setelah pul
“Sayang, Sorry Papa sama bunda ketiduran tadi. Sekarang ajak adik tunggu di depan, ya?”Dirham mengusap kepala putrinya. Ruby mengangguk dengan cepat. Ia memanggil sang adik sesuai pesan papanya.Sementara Dirham kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dinar baru saja selesai memakai selendang pashmina kegemarannya. Ia menyembur parfum lalu mengoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.Pelukan hangat Dirham dari belakang membuatnya sedikit menoleh.Dirham mendekap erat tubuh ramping istrinya, wangian aroma yang selalu segar pada penciumannya ia hirup dalam-dalam.“Jangan cantik-cantik, nanti ada yang naksir.”“Ruby bilang apa?”Dinar mengusap lengan sang suami yang melingkari perutnya.“Minta jalan-jalan ke pantai. Kita gerak sekarang. Kasihan anak-anak, ngambek katanya nungguin kita lama dari tadi.”“Papanya sih suka lama-lam
Mature content “Sayang, sabar.” Dinar mengacuhkan kalimat suaminya, entah kenapa sejak ia masuk ke dalam kamar, hasrat seksualnya naik tiba-tiba. “Mas, aku tidak bisa sabar lagi.” Dinar langsung menyerang Dirham dengan ciuman-ciuman panas, Pria itu bergerak mundur dan masuk dalam kotak kaca, ia membalas setiap lumatan dan sesapan bibir istrinya. Tangannya menahan tengkuk Dinar agar ciuman panas dan dalam mereka tidak terlepas. Bagian bawah tubuh Dirham sudah berdiri mengeras di dalam celana chino-nya. Begitu juga Dinar ia merasakan denyutan yang semakin menggila di bawah sana. Ia merapatkan kedua kakinya menahan rasa juga keinginan. Pria itu menarik dress istrinya lalu dilepaskan menyisakan penutup bagian dalam saja semakin membuat hasrat Dirham bergelora menatap tubuh indah yang tidak berubah dari awal mereka bersama, Dinar juga tidak tinggal diam, ia menarik turun celana sang suami, matanya membulat saat tangannya meremas sesuatu yang sudah menge
“Iya, ini Ruby. Yang saya kandung waktu masih di sini dulu, Mak. Ini Abizaair adik dia. Ini Loli pengasuh mereka. Ayo sayang, Salim sama Nek Marni.” Mak Marni manggut-manggut dengan mata berkaca-kaca. Terharu ternyata masih diberi kesempatan bertemu dengan majikannya yang baik seperti Dinar dan Dirham.“Saya kaget waktu Masnya menghubungi saya, untuk membantu membersihkan rumah ini.”“Ini semua juga buat saya kaget, Mak. Suami saya selalu memberi kejutan.” matanya memandang pada Dirham yang membaringkan Ruby di atas sofa.“Nak Loli, mari saya tunjukkan kamar untuk tidurkan nak Abizaair.” Mak Marni membawa Loli ke kamar yang memang disediakan khusus untuknya dan anak-anak.“Mas, sebaiknya Ruby juga dipindahkan sekali, lagian mereka juga sudah makan tadi di bandara, biarkan mereka istirahat dulu.”“Iya, aku juga ngantuk. Padahal baru jam 1 siang.”
Mendengar kalimat dari staf itu membuat wajah Rosy pucat seketika. Jadi pria yang begitu mempesona dan sesuai dengan impiannya adalah pemilik Cafe tempatnya bekerja. Istrinya juga berada di sini dan terlihat sangat saling mencintai. Ada rasa malu terselip dalam hatinya tapi rasa terpesonanya masih menguasai perasaannya. Pria yang sangat luar biasa, sudah tampan mempesona dengan postur tubuh sempurna kaya rasa dan romantis. Wanita mana saja pasti akan bertekuk lutut di depannya. Sungguh beruntung wanita yang sudah berhasil menjadi istrinya.“Kamu staf baru ya, tidak tahu kalau itu adalah owner Cafe, itu bos kita. Istrinya sangat baik, ramah dengan siapa saja.” tambah pekerja itu memuji istri bosnya. Sejak bekerja di sini, ia baru tiga kali bertemu dengan istri bos, Dinar tidak segan-segan memberi contoh jika staf baru tidak tahu cara mengerjakan tugasnya.“Mm, i-iya. Gue staf baru.”“O, pantas saja tidak ken