(Tapi Jeck, apa kamu lupa apa yang sudah Assegaff lakukan pada Papa, Mamamu sampai meninggal karena mereka) suara Cokro meninggi karena ucapan putranya tadi.
“Mama meninggal karena ulah Papa, karena perbuatan Papa, jangan salahkan orang lain dalam hal ini, Pa.”
Jecky melepaskan rasa kesalnya pada sang ayah. Bisa-bisanya mencari kambing hitam atas kesalahan yang ia lakukan.
(Kenapa Papa pula yang salah?)
“Sudahlah, Pa. Aku makin tidak mengerti dengan jalan pikiran papa.”
(Percuma Papa menghubungi kamu, Jeck. Kau sudah tidak peduli lagi dengan keluarga kamu, dengan Papa juga)
Klik
Panggilan telah diakhiri. Jecky menaruh ponselnya di atas nakas, ia menatap langit-langit kamar. Berpikir tentang cara yang tepat untuk mencegah rencana dan ayah.
Pintu kamar terbuka, Julia masuk sambil membawa teko berisi air putih.
“Belum tidur, Sayang?&
Semua mata memandang pada Dirham, ucapan pria itu sangat masuk akal. Tapi, di sini banyak banget kemungkinan. Bisa jadi penyerangan itu adalah ulah Johan, atau mungkin Cokro bahkan sangat mungkin itu perbuatan rival bisnisnya yang merasa terancam dengan keberadaan seorang Dirham Assegaff. Adam berdiri dan menghubungi seseorang.“Iya, Peter. Nanti saya kirim data-data dari orang itu, selidiki. Cari apapun informasi tentang dia, dan laporkan apapun berita yang kau dapat pada saya.”Setelah menerima jawaban dari seberang, Adam kembali duduk di samping istrinya.Ponsel Juliana berdering, ia mengangkat panggilan setelah berada beberapa meter dari ruang tamu utama. Sementara yang lain masih meneruskan obrolan.“Ada apa, Julia? Kau baik-baik saja, kan?”(Na, aku ada berita yang harus kau sampaikan pada keluarga Assegaff)Juliana mengerutkan dahi.“Tentang apa? Aku ada di rumah Tante Nora seka
“Apa itu tidak berlebihan, Mas?” Dinar mendongak menatap wajah Dirham. Ada rasa takut terbersit dalam hatinya, ancaman dari Cokro membuat Dinar seolah hidup dalam teror yang mengerikan.Wajah ayu istrinya ditatap dengan segenap rasa cinta.“Sayang, tidak ada yang namanya berlebihan kalau soal keselamatan kalian. Aku tidak ingin sampai kalian kenapa-napa. Itu akan menjadi penyesalanku sepanjang hidup.” suara Dirham tegas tidak bisa diganggu gugat lagi.“Tapi kamu juga harus hati-hati, Mas. Aku bisa mati kalau kamu sampai celaka.”Mata Dinar lekat menatap wajah tampan sang suami. Semakin bertambah umurnya, terlihat makin tampan dan mempesona. Wajarlah selalu saja jadi buah bibir stafnya di kantor.“Hei, kenapa lihatnya begitu? Ada yang aneh?” Dirham meraba beberapa bagian wajahnya.“Ish, nggak aneh kok. Hanya saja hati ini bergetar, suamiku makin tampan aja.&
Adam segera menghubungi Dirham. Meminta sang putra untuk datang ke kantornya, mereka perlu menyusun rencana untuk lmenindak tegas konspirasi yang dibuat oleh mantan suami Juliana itu.“Pet, jangan pulang dulu. Dirham dalam perjalanan ke sini. Kita akan bicarakan langkah selanjutnya.”“Baik, Pak.” Adam kembali duduk di kursinya, ia mulai fokus dengan berkas kerja yang menumpuk di atas meja. Sementara Peter membaca koran berita hari ini. Ketukan pintu terdengar.“Masuk.”Mia masuk dengan membawa minuman untuk atasan dan tamunya.“Ini minumnya, Pak.”“Letakkan di atas meja, Mia. Oh iya, tolong siapkan laporan dari departemen keuangan. Nanti setelah lunch, laporan itu saya minta.”“Baik, Pak. Ada apa-apa lagi?”“Tidak, kamu boleh keluar.”“Baik, Pak. Permisi.”Mia keluar dari ruangan Adam.
“Bukan begitu, Mas. Aku hanya .. ” (Tetap di restoran, aku jemput dan antar pulang bentar lagi)Suara Dirham terdengar tegas lalu mengendur, pasti tidak mau sampai ada keributan lagi antara ia dan istrinya.“Baik, Mas.” Dinar menatap jam tangannya, baru jam 10.00 pagi.Di kantornya, Dirham sedang berbicara dengan Jehan. Sudah sejak satu jam yang lalu, ia meminta Jehan menemuinya. Ketukan pintu terdengar membuat Dirham menghentikan obrolan seriusnya. “Pak, dokter Rayyan sudah sampai.” sekretarisnya memberi laporan.“Suruh beliau masuk, Nay. Dan buatkan 3 cawan kopi.”“Baik, Pak.”Setelah mengucapkan terima kasih, dokter Rayyan masuk ke dalam ruangan Dirham.“Selamat datang, bos besar Pasific Hotel. Silakan duduk.” Jehan berdiri dan menjabat tangan dokter muda itu. “Wow, obrolan serius nih, kelihatannya aku datang di saat yang tidak tepat. Apa ka
Air mata Dinar terus mengalir sepanjang perjalanan ke rumah sakit.“Fan, suami saya bagaimana?” ia bertanya pada Irfan, sopir keluarga Assegaff yang menjemputnya di restoran.“Saya tidak tahu, Di. Setelah saya mengantar Pak Adam dan Bu Nora, saya langsung pergi ke sini. Tenanglah, saya yakin Mas Bos Dirham akan baik-baik saja.” Irfan adalah teman Dinar di restoran Azhar sebelum menjadi sopir Adam. Ia dengan Dinar sudah kenal jadi Dinar tidak mau dipanggil ibu.Dinar mengusap air matanya, ia hanya bisa berdoa, semoga suaminya selamat.“Agak cepat, Fan. Biar cepat sampai.” Dinar tidak sabar. Jalanan lumayan sesak dengan kendaraan.“Sabar, Di. Kita juga harus hati-hati.” jawaban yang masuk akal. Dinar kembali duduk menyandarkan tubuhnya di jok mobil, tapi kemudian duduk tegak lagi, setelah mengingat penyerangan yang terjadi beberapa hari lalu. Jangan-jangan orang yang sama. Hati
Dinar terkesiap, ia memandang suaminya sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.“Mas jangan main-main, aku Dinar istrimu, ibu dari anak-anakmu.” Dinar berubah serius.“Dinar? Dinar siapa? Kapan aku menikah? Aku baru saja mulai bekerja di perusahaan Papa, mana aku menikah.” mata Dinar berkaca-kaca. Suaminya tidak ingat siapa dia.“Am, dia Dinar, istrimu. Jangan aneh-aneh kamu.” Nora mengusap dan menepuk bahu putranya.Dirham mencoba untuk duduk, ia menatap papanya yang juga tengah menatapnya.“Jangan main-main, Am!” Adam mendekati Nora dan Dinar. Dirham mencoba untuk duduk.“Am tidak kenal dia, Pa. Kapan Am menikah. Aaargh. Sakit!” tiba-tiba Dirham memegang kepalanya. Dinar sudah berurai air mata.“Mas, kenapa tidak ingat aku?” Dinar mencoba memegang lengan Dirham tapi ditepis dengan kasar.“Di, biar dok
Nora dan Dinar saling pandang. Mereka kembali menatap pada Jehan. “Tapi, kita serahkan ini pada pihak kepolisian. Biarkan mereka melakukan tugas dengan prosedur yang ada, kita harus ikut aturan mereka.”“Mari kita kembali ke kamar Mas Am, Ma.”Dinar mengajak ibu mertuanya untuk pergi dari restoran. Ia berdiri untuk membayar bill.“Dia sangat shock, Je.” mata keduanya memandang sosok Dinar. “Luka Am terlalu parah ya, Tan?” Jehan bertanya pada Nora.“Bukan masalah lukanya, cuma ada sebagian saja, lecet dan beberapa jahitan, tapi Am sekarang tidak ingat istrinya.”Dirham melongo mendengar ucapan Nora.“Am amnesia? Oh my God. Separah itu?”“Kami masih menunggu hasil pemeriksaan medisnya hari ini, entah dendam apa yang dimiliki orang itu pada anak Tante, Je. Dia baru saja mengecap kebahagiaan bersama anak dan istrinya.” Nora menceritakan keadaan putranya pa
Dada Dinar seperti dihantam dengan batu yang cukup besar. Kakinya lemah untuk berdiri. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap wajah Dirham yang dingin dan tegang. Tuduhan itu lagi yang harus ia dapatkan sekarang. Sudah bertahun-tahun ia bisa melupakan peristiwa itu, tapi sekarang harus diungkit dan dituduh tentang sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.Nora mendekati Dinar, lengan Dinar ditarik dan dibawa untuk keluar ruangan.“Di, suami kamu tengah hilang ingatan, sebagian ingatannya ada yang tidak mampu ia peroleh. Kamu pulang saja ya, Di. Jaga anak-anak kalian, biar Mama dan papa yang jaga Am. Mungkin Am tidak bisa mengingat kalau semua sudah terungkap hari itu. Kamu yang ngerti ya, Di. Mama yakin dia akan pulih seperti dulu.”“Iya, Ma. Dinar pulang dulu. Titip Mas Am. Jaga dia, Ma. Dinar khawatir musuh-musuh Mas Am, masih mencari cela untuk menyerang.” Dinar menyuarakan kekhawatirannya.“Kami akan jaga Am.” s
Suara nyanyian burung kenari dan debur ombak berselang-seling membangunkan tidur pulas Dirham. Pria itu membuka matanya dan melihat jam di ponsel, sudah jam 5 pagi. Ia bangun dan menatap pada wajah ayu wanita yang masih tertidur pulas di atas lengannya. Dirham bangun dari tempat tidur dan mengalihkan kepala sang istri. Ia melangkah menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sebentar dan menunaikan kewajibannya. Lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Dinar akan bangun, pasti wanita cantik itu kelelahan melayani keinginan suaminya yang tidak pernah jemu. Dinar baru dibiarkan tidur hampir jam 1 pagi.“Eungh …” Dinar menggeliat ketika merasakan tidurnya terganggu. Kantuknya tidak dapat lagi dinegosiasi, suaminya yang perkasa membuatnya hampir tidak bisa berdiri tadi dini hari, hingga ke kamar mandi harus digendong.Melihat istrinya tidur dengan mulut terbuka, membuat Dirham tertawa.'Kenapalah kamu itu sangat m
Mature contentDinar mencoba mengimbangi permainan lidah nakal sang suami, dan seperti selalu, Dirham selalu tidak bisa ditebak arah permainannya.“Mas, engh …” satu lenguhan keluar dari bibir mungil sang istri tatkala bibir Dirham mulai turun menjelajahi leher putih dan menyesap serta melumat dengan sesapan-sesapan kecil dan panas meninggalkan beberapa jejak kemerahan si sana. Jemari tangan Dinar meremas rambut Dirham menyalurkan hasratnya yang mulai bangkit.Dirham membawa istrinya ke atas tempat tidur dan menjatuhkannya, ia merasa celananya sesak karena miliknya mengeras sejak mereka turun dari mobil tadi. Membayangkan Dinar yang mendesis nikmat di bawah tubuhnya saja membuat pria itu langsung bergairah.Dirham membuka blouse istrinya, sementara Dinar memberi akses pada sang suami untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Ia juga menarik keluar baju pria yang menjadi tempat ia mencurahkan segal
“Mas! Anak-anak dengar tuh.” Dinar mencubit pinggang suaminya.“Dengar apa itu, Bunda?” Ruby memang kritis pemikirannya, selalu ingin tahu apapun yang didengar oleh telinganya.“Tidak ada apa, Sayang. Ruby nanti kalau bobo sama Oma dan Opa jangan rewel tau.” Dinar berpesan pada putrinya.“Kakak kan udah gede, pesen itu buat adik kali, Bunda.” Dirham tertawa mendengar kalimat pedas dari putrinya, ngikut siapalah itu, pedas kalau ngomong.“Adik uga udah pintal kok, pipis malam aja udah kaga pelnah.” Abizaair tidak mau ketinggalan.“Jelas dong, Adik udah mau 4 tahun, mana boleh pipis malem. Kasihan yang bobo sama adik kalau kena pipisnya.”Ujar Dirham pula, ia membawa mobil dalam kecepatan sedang.“Papa pelnah pipis malam-malam?” pertanyaan dari sang putra membuat Dinar terbatuk-batuk.“Pernah dong, tanya sama Bunda tuh. S
Dirham menatap istrinya, ia merasa heran mendengar ucapan dari gadis di depannya itu.“Sada, maksudnya apa? Kami tulus lho membantu kalian.” Dinar meminta Sada untuk menjelaskan penolakannya tadi.“Loli, ajak adik-adik ini bermain dengan Ruby.” Dinar memanggil Loli.“Iya, Bu. Ayo adik. Ada temannya di sana.” Loli datang dan memanggil adik-adik Sada untuk menuju ke halaman samping.“Pergilah, nanti Mbak panggil kalau mau pulang.” Baim dan Zahra mengangguk dan mengikuti langkah Loli.“Begini, Pak. Saya tidak enak kalau harus menerima kebaikan bapak dan ibu cuma-cuma.” Dinar tersenyum, ia mengerti apa maksud dari Sada. Ia masih ingat dulu Sada tidak pernah mau menerima uang secara cuma-cuma, ia harus bekerja sebelum menerima uang dari orang lain.“Tapi ini kan beasiswa. Namanya beasiswa pasti tanpa syarat. Kecuali beasiswa prestasi.&r
“Mbak Dinar!” Dinar langsung berdiri dan memeluk gadis itu dengan mata berbinar, gadis yang ingin ditemui ternyata sekarang ada di depannya. Sada membalas memeluknya.“Kamu kerja di sini?” Dirham bertanya pada Sada, gadis yang dulu pernah menjadi orang kepercayaannya untuk mengantar dan menjemput Dinar waktu mereka belum menikah.“Iya, Pak. Saya kerja di sini? Bapak sekeluarga liburan?”“Ayo, duduk. Kita bisa cerita-cerita. Adik-adik kamu pasti sudah besar sekarang.”Dinar menyentuh lengan Sada.Gadis itu tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.“Saya masih kerja, Mbak. Mana bisa duduk-duduk di sini. Adik saya sudah sekolah, kelas 6 SD sama kelas 4.”“Kamu tidak narik ojol lagi?” Dirham bertanya sambil mengambil sebotol air mineral di atas meja. Dibuka tutupnya dan diberikan pada sang istri.“Sore jam 4 setelah pul
“Sayang, Sorry Papa sama bunda ketiduran tadi. Sekarang ajak adik tunggu di depan, ya?”Dirham mengusap kepala putrinya. Ruby mengangguk dengan cepat. Ia memanggil sang adik sesuai pesan papanya.Sementara Dirham kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dinar baru saja selesai memakai selendang pashmina kegemarannya. Ia menyembur parfum lalu mengoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.Pelukan hangat Dirham dari belakang membuatnya sedikit menoleh.Dirham mendekap erat tubuh ramping istrinya, wangian aroma yang selalu segar pada penciumannya ia hirup dalam-dalam.“Jangan cantik-cantik, nanti ada yang naksir.”“Ruby bilang apa?”Dinar mengusap lengan sang suami yang melingkari perutnya.“Minta jalan-jalan ke pantai. Kita gerak sekarang. Kasihan anak-anak, ngambek katanya nungguin kita lama dari tadi.”“Papanya sih suka lama-lam
Mature content “Sayang, sabar.” Dinar mengacuhkan kalimat suaminya, entah kenapa sejak ia masuk ke dalam kamar, hasrat seksualnya naik tiba-tiba. “Mas, aku tidak bisa sabar lagi.” Dinar langsung menyerang Dirham dengan ciuman-ciuman panas, Pria itu bergerak mundur dan masuk dalam kotak kaca, ia membalas setiap lumatan dan sesapan bibir istrinya. Tangannya menahan tengkuk Dinar agar ciuman panas dan dalam mereka tidak terlepas. Bagian bawah tubuh Dirham sudah berdiri mengeras di dalam celana chino-nya. Begitu juga Dinar ia merasakan denyutan yang semakin menggila di bawah sana. Ia merapatkan kedua kakinya menahan rasa juga keinginan. Pria itu menarik dress istrinya lalu dilepaskan menyisakan penutup bagian dalam saja semakin membuat hasrat Dirham bergelora menatap tubuh indah yang tidak berubah dari awal mereka bersama, Dinar juga tidak tinggal diam, ia menarik turun celana sang suami, matanya membulat saat tangannya meremas sesuatu yang sudah menge
“Iya, ini Ruby. Yang saya kandung waktu masih di sini dulu, Mak. Ini Abizaair adik dia. Ini Loli pengasuh mereka. Ayo sayang, Salim sama Nek Marni.” Mak Marni manggut-manggut dengan mata berkaca-kaca. Terharu ternyata masih diberi kesempatan bertemu dengan majikannya yang baik seperti Dinar dan Dirham.“Saya kaget waktu Masnya menghubungi saya, untuk membantu membersihkan rumah ini.”“Ini semua juga buat saya kaget, Mak. Suami saya selalu memberi kejutan.” matanya memandang pada Dirham yang membaringkan Ruby di atas sofa.“Nak Loli, mari saya tunjukkan kamar untuk tidurkan nak Abizaair.” Mak Marni membawa Loli ke kamar yang memang disediakan khusus untuknya dan anak-anak.“Mas, sebaiknya Ruby juga dipindahkan sekali, lagian mereka juga sudah makan tadi di bandara, biarkan mereka istirahat dulu.”“Iya, aku juga ngantuk. Padahal baru jam 1 siang.”
Mendengar kalimat dari staf itu membuat wajah Rosy pucat seketika. Jadi pria yang begitu mempesona dan sesuai dengan impiannya adalah pemilik Cafe tempatnya bekerja. Istrinya juga berada di sini dan terlihat sangat saling mencintai. Ada rasa malu terselip dalam hatinya tapi rasa terpesonanya masih menguasai perasaannya. Pria yang sangat luar biasa, sudah tampan mempesona dengan postur tubuh sempurna kaya rasa dan romantis. Wanita mana saja pasti akan bertekuk lutut di depannya. Sungguh beruntung wanita yang sudah berhasil menjadi istrinya.“Kamu staf baru ya, tidak tahu kalau itu adalah owner Cafe, itu bos kita. Istrinya sangat baik, ramah dengan siapa saja.” tambah pekerja itu memuji istri bosnya. Sejak bekerja di sini, ia baru tiga kali bertemu dengan istri bos, Dinar tidak segan-segan memberi contoh jika staf baru tidak tahu cara mengerjakan tugasnya.“Mm, i-iya. Gue staf baru.”“O, pantas saja tidak ken