Halo, Gaes. Jika kalian pikir cerita ini sudah berakhir? Kalian salah. Cerita ini masih berlanjut, kok.
Setelah ini aku bakal bikin sequel dari cerita ini. Iya sequel. Judulnya "Alena dan Andrio"
Di cerita "Alena dan Andrio" akan menceritakan perjalanan hidup Alena dan Andrio setelah menikah. Ada banyak lika-liku yang mereka lewati. Tapi akan lebih banyak manisnya, kok.
Kalian tungguin, ya. Jangan keluarin dulu cerita ini dari perpustakaan kalian. Terima kasih buat yang udah ngikutin cerita aku sampai sejauh ini.
Oh, iya, setelah ini nanti aku juga bakal bikin prekuelnya (cerita yang sebelumnya) Di cerita sebelumnya itu mengisahkan kehidupan Leyla dan Rista waktu masih kecil sampai gadis.
Kalian mau baca nggak?
Komen, ya.
See you
"Bagaimana keadaan pasien rawat inap hari ini, Sus? Apa sudah ada perkembangan?" Andrio bertanya pada perempuan berpakaian putih khas medis disampingnya. Kaki panjang pria itu melangkah cepat menyusuri lorong panjang menuju ruang rawat inap Mawar. Suster-suster berpakaian putih terlihat berlalu lalang di sampingnya. Sesekali dia tersenyum sopan pada suster yang menegurnya. "Alhamdulillah, semua pasien yang Dokter Surya tangani kondisinya membaik. Bahkan di antara mereka sudah boleh pulang hari ini," jelas perawat ber-nametag Ria Purwati itu. "Alhamdulillah kalau gitu." Sesampainya di ruang Mawar, Andrio menyapa pasien-pasiennya dengan ramah. "Halo, Ibu. Gimana keadaannya hari ini?" Andrio mulai memeriksa seorang ibu yang terbaring di ranjang pertama. Ibu itu menderita penyakit bronkitis akut. "Halo, Dok. Alhamdulillah Dok sudah mendingan," jawab ibu itu sambil tersenyum. Andrio mengangguk-angguk sambil memeriksa denyut jantung ibu itu dengan stetoskop yang menggantung di lehernya
Alena buru-buru pulang ke rumah. Perempuan itu menyetir mobil dengan kecepatan cukup kencang. Dia ingin sampai lebih awal hari ini sebelum suaminya pulang. Agar dapat menyiapkan makanan untuk suaminya itu mengingat akhir-akhir ini suaminya selalu memesan makanan di aplikasi GoFood karena dia selalu pulang telat dan tak sempat memasak. Di rumah, dia dan suami jarang bertemu dari pagi sampai sore hari begini--kecuali hari libur. Karena masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Pagi-pagi sekali--paling telat jam tujuh lewat--Alena sudah berangkat ke kantor, dan pulang sore bahkan malam hari. Sedangkan Andrio mulai jam delapan pagi sampai sore juga bekerja di rumah sakit. Jika suaminya itu mendapat giliran jaga malam--dari sore hingga jam sepuluh malam--maka di jam segini mereka tidak ada waktu sama sekali untuk bertemu di rumah. Meskipun begitu keduanya selalu berusaha menyempatkan diri agar mereka punya waktu buat bersama. Seperti sore ini, Alena mengusahakan pulang cepat agar bisa memas
Raut wajah Alena langsung berubah. Sejak tadi pun dia tahu ke mana arah pembicaraan itu. Wanita itu memang selalu mendesaknya untuk segera mempunyai anak. Alena tahu maksud ibu tirinya itu baik, tapi dia tidak nyaman tiap kali ditanya demikian. "Aku dan Mas Andrio hanya berusaha dan menjalani, Mi. Selebihnya Allah yang menentukan," jawab Alena apa adanya. "Enggak." Rista menggeleng. "Kalian belum berusaha maksimal. Mami tahu kamu tuh pasti terlalu sibuk kerja, makanya jadi kecapekan dan sulit hamil. Karena masing-masing kalian sibuk, mungkin kalian juga ...." Rista menjeda kalimatnya. Agak sungkan mengatakannya. "... Jarang melakukan hubungan suami istri," lanjutnya kemudian dengan intonasi agak pelan. Alena mengernyit mendengar asumsi maminya yang menurutnya sok tahu. Haruskah dia mengatakan kalau dirinya dan Andrio bahkan melakukan itu hampir tiap malam, meskipun mereka sibuk? "Kamu tahu apa maksud Mami, Alena? Kalau kamu sungguh-sungguh mau punya anak, kamu harus berhenti kerj
"Wa'alaikumussalam, Mas Andrio," sahut Alena, langsung berdiri menghampiri suaminya. Rista yang memang mau pulang pun ikut berdiri dan berjalan ke arah pintu. "Oh, ada Mami?" ucap Andrio memandangi Rista. "Iya, Mami datang ngantarin makanan tuh buat kalian." Rista menunjuk rantang makanan yang terletak di meja dengan dagunya. "Wah ... Nggak usah repot-repot, Mi." Andrio tertawa sungkan. Lalu menyalami tangan ibu mertuanya itu. "Nggak repot, kok," Andrio mengangguk. "Makasih, ya, Mi." "Iya, Mami pulang dulu, ya." Rista lalu menepuk pundak menantunya. "Hati-hati, Mi," balasnya. Alena dan Andrio mengiringi Rista sampai ke teras. Melihat wanita itu masuk mobil sebelum akhirnya mobil tersebut meninggalkan rumah mereka. Alena berdadah ria sebelum akhirnya dia dan suami masuk ke rumahnya yang besar. "Selain ngantarin makanan, Mami ngomong apa aja sama kamu?" Andrio bertanya demikian seolah tahu ada hal penting yang ibu mertuanya itu bicarakan dengan istrinya. Alena mengambil rantang
Setelah melewati makan sore itu, sepasang suami-istri itu menghabiskan waktu di kamar sambil bertukar cerita. Andrio berkisah pada istrinya bagaimana dia menangani pasien-pasien di dua rumah sakit yang berbeda hari ini. Ya, Andrio bekerja di dua Rumah Sakit Umum Daerah di Jakarta. Alena pun demikian. Dia menceritakan kesehariannya di kantor seperti meeting, bertemu klien, dan memantau kinerja karyawan-karyawannya. Mengingat pekerjaannya di perusahaan membuat Alena kembali teringat dengan saran Rista yang menyuruhnya resign. Akhirnya Alena pun tanpa sadar menceritakan percakapan dengan maminya pada suaminya. "Jadi Mami nyuruh aku berhenti kerja. Menurut kamu gimana, Mas?" Alena baring menyamping, memperhatikan wajah suaminya yang juga menatapnya. Mereka baring berhadap-hadapan dan sudah mengenakan pakaian tidur. "Kamu mau resign dari perusahaan kamu? Apa nggak sayang perjuangan kamu selama ini?" Andrio malah bertanya balik. Ternyata perkiraan Alena salah, suaminya sama sekali tid
'Mas, hari ini aku berangkat lebih awal, ya. Aku udah siapin sarapan buat kamu di meja makan. Di makan, ya. I Love You, Mas. Alena'. Andrio menghela napas membaca tulisan tangan istrinya di selembar sticky note hijau yang tertempel di pintu kulkas. "Pantas aja dicariin ke mana-mana nggak ada," gumam pria itu seorang diri. Ya, setelah puas bercinta tadi malam, ketika dia bangun, dia tak mendapati istrinya di sampingnya. Dia pun bergegas bangun mencari istrinya ke hampir seluruh ruangan yang ada di rumah itu, tapi istrinya tak tampak. Dan ketika dia berbalik ke dapur untuk kedua kalinya, dia baru menyadari ada catatan tersebut di pintu kulkas. Sebenarnya Andrio sudah biasa dengan hal ini. Namun, tadi malam adalah momen yang sangat membahagiakan baginya. Hingga rasanya dia tak ingin cepat-cepat berpisah dari istrinya itu. Andrio lalu membuang sticky note tersebut di tong sampah kering yang ada di dekat kitchen set. Lalu menuju meja makan, membuka tudung saji. Ada semangkok nasi go
Alena masuk ke gedung kantor saat pukul tujuh pagi. Sesekali pemimpin perusahaan itu tersenyum pada satu dua karyawan yang dia temui seiring dengan langkahnya menuju ruangannya. Sesekali dia juga tersenyum pada petugas Cleaning Service yang mencoba menyapanya. Petugas Cleaning Service itu mengingatkannya dengan dirinya dulu. Dia paham betul bagaimana rasanya bekerja jadi bawahan, dipandang remeh dan direndahkan oleh orang-orang. Karenanya dia juga tak mau bersikap demikian pada bawahannya. Begitu masuk ke ruangan, Alena langsung membuka laptop di atas meja. Niatnya hendak mengecek anggaran perusahaan yang telah keluar mau pun masuk bulan ini. Tapi tiba-tiba dia terpikirkan suaminya. Dia mengecek ponselnya dan tak ada pesan dari suaminya. "Udah jam tujuh tapi Mas Andrio kok nggak ngasih kabar apa-apa, ya? Dia udah berangkat belum, ya? Sarapannya dimakan nggak? Apa dia belum bangun?" Sepasang suami-istri itu meski jarang bertemu, mereka selalu memberi kabar melalui chat atau telepon.
"Penting aku nemuin foto itu di mana?" Andrio bertanya balik. "Aku tanya maksudnya apa? Dan tulisan ini ...." Andrio mengeluarkan kertas bertulis lain dari saku celananya dan meletakkannya di meja pula. "Ini apa?!" Alena kian membelalak melihatnya. Itu tulisan tangannya. "Jadi kamu yang melakukan teror di rumah keluarga ayahmu selama ini? Iya 'kan?" "Aku bisa jelasin." Andrio masih menggeleng. "Apa pun alasannya, yang kamu lakukan itu salah!" Intonasi Andrio meninggi membuat Alena sedikit terkejut. Pandangan wanita itu mulai berkaca-kaca. "Aku nggak nyangka, perempuan yang aku pikir baik hati, ternyata ...." Andrio menggeleng lagi. "Pendendam ... Jahat kamu, Alena. Dan bodohnya aku baru tahu itu sekarang!" Air mata yang sejak tadi menggenangi matanya, meluruh ke pipi seketika. Sakit sekali hatinya mendengar kalimat-kalimat itu. Kalimat yang dilontarkan dari mulut pria yang dia cintai. "Aku tahu aku salah, tapi aku mohon dengerin penjelasan aku dulu." Alena sudah menangis sekaran
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu