'Mas, hari ini aku berangkat lebih awal, ya. Aku udah siapin sarapan buat kamu di meja makan. Di makan, ya. I Love You, Mas. Alena'. Andrio menghela napas membaca tulisan tangan istrinya di selembar sticky note hijau yang tertempel di pintu kulkas. "Pantas aja dicariin ke mana-mana nggak ada," gumam pria itu seorang diri. Ya, setelah puas bercinta tadi malam, ketika dia bangun, dia tak mendapati istrinya di sampingnya. Dia pun bergegas bangun mencari istrinya ke hampir seluruh ruangan yang ada di rumah itu, tapi istrinya tak tampak. Dan ketika dia berbalik ke dapur untuk kedua kalinya, dia baru menyadari ada catatan tersebut di pintu kulkas. Sebenarnya Andrio sudah biasa dengan hal ini. Namun, tadi malam adalah momen yang sangat membahagiakan baginya. Hingga rasanya dia tak ingin cepat-cepat berpisah dari istrinya itu. Andrio lalu membuang sticky note tersebut di tong sampah kering yang ada di dekat kitchen set. Lalu menuju meja makan, membuka tudung saji. Ada semangkok nasi go
Alena masuk ke gedung kantor saat pukul tujuh pagi. Sesekali pemimpin perusahaan itu tersenyum pada satu dua karyawan yang dia temui seiring dengan langkahnya menuju ruangannya. Sesekali dia juga tersenyum pada petugas Cleaning Service yang mencoba menyapanya. Petugas Cleaning Service itu mengingatkannya dengan dirinya dulu. Dia paham betul bagaimana rasanya bekerja jadi bawahan, dipandang remeh dan direndahkan oleh orang-orang. Karenanya dia juga tak mau bersikap demikian pada bawahannya. Begitu masuk ke ruangan, Alena langsung membuka laptop di atas meja. Niatnya hendak mengecek anggaran perusahaan yang telah keluar mau pun masuk bulan ini. Tapi tiba-tiba dia terpikirkan suaminya. Dia mengecek ponselnya dan tak ada pesan dari suaminya. "Udah jam tujuh tapi Mas Andrio kok nggak ngasih kabar apa-apa, ya? Dia udah berangkat belum, ya? Sarapannya dimakan nggak? Apa dia belum bangun?" Sepasang suami-istri itu meski jarang bertemu, mereka selalu memberi kabar melalui chat atau telepon.
"Penting aku nemuin foto itu di mana?" Andrio bertanya balik. "Aku tanya maksudnya apa? Dan tulisan ini ...." Andrio mengeluarkan kertas bertulis lain dari saku celananya dan meletakkannya di meja pula. "Ini apa?!" Alena kian membelalak melihatnya. Itu tulisan tangannya. "Jadi kamu yang melakukan teror di rumah keluarga ayahmu selama ini? Iya 'kan?" "Aku bisa jelasin." Andrio masih menggeleng. "Apa pun alasannya, yang kamu lakukan itu salah!" Intonasi Andrio meninggi membuat Alena sedikit terkejut. Pandangan wanita itu mulai berkaca-kaca. "Aku nggak nyangka, perempuan yang aku pikir baik hati, ternyata ...." Andrio menggeleng lagi. "Pendendam ... Jahat kamu, Alena. Dan bodohnya aku baru tahu itu sekarang!" Air mata yang sejak tadi menggenangi matanya, meluruh ke pipi seketika. Sakit sekali hatinya mendengar kalimat-kalimat itu. Kalimat yang dilontarkan dari mulut pria yang dia cintai. "Aku tahu aku salah, tapi aku mohon dengerin penjelasan aku dulu." Alena sudah menangis sekaran
Entah berapa jam lamanya Alena mengurung diri di kamar. Wanita itu hanya terduduk di lantai, bersandar pada pinggir tempat tidur sambil menangis sesegukan, sesekali memandangi foto mendiang ibunya. Sungguh, sakit sekali hatinya mendapati sikap suaminya yang demikian. "Aku seharian khawatirin kamu, Mas. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Tapi ternyata kamu marah sama aku ... Kamu bersikap kayak gini sama aku. Tega kamu. Aku bener-bener nggak nyangka." Selama pernikahan mereka, ini pertama kalinya mereka bertengkar hebat. Alena tak menyangka rahasia yang dia sembunyikan mampu membuat Andrio semarah ini padanya. Alena menatap langit-langit kamar dengan mata berlinang sambil membayangkan perlakuan suaminya terakhir kali. Alena menunduk memandangi foto mendiang ibunya yang dia pegang sejak tadi. "Ibu, suami aku jahat sama aku, Bu. Aku nggak tahu lagi siapa yang harus aku percaya. Ibu udah nggak ada." Alena terus meracau sambil menangis. Berbagai kemungkinan buruk berkelabat di kepalanya. Ki
Alena mengeratkan pelukannya di pinggang sang suami. Inilah salah satu sifat Andrio yang dia suka. Suaminya itu pemurah dan pemaaf. Harusnya dia tak berpikir sejauh tadi. Alena mendongak. "Aku juga minta maaf, ya, Mas. Aku nggak cerita sama kamu dari awal. Aku cuman takut kamu marah. Aku emang salah, aku nggak seharusnya ngelakuin itu, aku jahat, tapi itu dulu, Mas. Sekarang aku udah lupain semuanya, aku--" "Iya ... Iya ...." Andrio mengusap kepala Alena lembut. "Aku ngerti. Kamu nggak jahat, kok. Nggak ada yang sempurna di dunia ini, Sayang. Semua pasti pernah berbuat salah 'kan?" "Kamu nggak marah lagi 'kan sama aku, Mas?" "Enggak, Sayang. Aku nggak bisa marah lama-lama sama kamu. Maaf aku bikin kamu sedih." "Oh, iya, Mas. Mami sama Alyssa udah tahu, kok, tentang itu ...." "Oh, iya?" "Iya, awalnya mereka kecewa sama aku, tapi sekarang udah nggak lagi, kok, semuanya udah baik-baik aja." Andrio mengangguk. "Iya, seharusnya aku nggak perlu semarah itu sama kamu hanya karena mas
Alena mengerjap-ngerjap sambil meliukkan badannya kala dia membuka mata di pagi hari. Wanita itu mengedar pandang di kamarnya. Dia mengernyit kala tak menemukan suaminya di sisinya. Itu artinya suaminya bangun lebih dulu daripadanya. "Jam berapa, sih?" Alena menoleh ke jam weker di atas nakas. "Oh, baru jam tujuh?" Suara engsel pintu yang berderit tiba-tiba membuat Alena menoleh ke arah pintu. Andrio muncul membawa sebuah nampan di tangan. "Hei, istriku udah bangun rupanya." Andrio kembali menutup pintu dengan sebelah tangan. "Selamat pagi, Sayang." Andrio tersenyum ke Alena lalu meletakkan nampan berisi mangkok-mangkok dan segelas air putih itu di nakas. Meski bertanya-tanya ada apa dengan suaminya itu, tak urung Alena tersenyum juga. "Selamat pagi juga, Mas," balasnya. "Kamu kok tumben bangun lebih dulu dari aku, apalagi 'kan hari ini hari libur." Alena yang masih duduk di atas kasur mengungkapkan kebingungannya. "Hari ini aku dapat jadwal jaga di IGD, pulang sore kayak biasa,
Alena sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di depan cermin rias. Dia baru saja selesai mandi. Wajah wanita itu terlihat berseri-seri. Bagaimana tidak? Begitu bangun tidur, dia sudah diberi kejutan manis oleh suaminya. Andrio memperlakukannya bagai putri pagi ini. Dia tidak bisa berhenti membayangi momen itu. Jika seperti ini terus, Alena tidak akan takut lagi jika bertengkar dengan Andrio. Dia juga jadi yakin apa yang dikatakan maminya tentang Andrio tidaklah benar. Karena sejatinya suaminya itu sangat baik dan setia padanya. Setelah selesai mengeringkan rambut, Alena menyisir rambut panjangnya hingga rapi tergerai di pinggang. Lalu memakai bedak bayi serta lipstik warna natural. Alena bersiap-siap keluar, niat hati ingin melihat siapa tamu yang datang. Pasalnya, Andrio cukup lama di luar. Ketika langkahnya telah mencapai ambang ruang tamu, dia bisa mendengar sayup-sayup orang bercakap-cakap. Alena mengenal suara itu. Suara Marissa, ibu mertuanya. "Seandainya kalian uda
Berhari-hari sejak kedatangan Marissa ke rumah Alena, berlalu. Sejak itu Alena terus kepikiran dengan pembicaraan mama mertuanya yang menginginkan dirinya dan Andrio segera punya anak. Saran Mami Rista yang menyuruhnya berhenti kerja pun dia pertimbangkan. Setelah berpikir seribu kali akhirnya Alena membulatkan tekad untuk resign menjadi CEO di perusahaan mendiang Bu Ratih itu. Hingga malam ini dia menuliskan surat resign-nya. "Kamu lagi apa, Sayang?" Andrio tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Alena yang menatap layar komputer sejak tadi menoleh. Rupanya suaminya itu membawakannya secangkir teh hangat. "Lagi sibuk ngerjain apa?" tanya suaminya lagi yang kini meletakkan cangkir ditangannya itu ke meja kerja Alena. "Hmm aku nulis surat resign, Mas." Alena mendongak menatap suaminya. Andrio memperhatikan layar laptop Alena. Dahinya berkernyit. "Kamu beneran mau resign?" "Iyalah, Mas. Ini demi masa depan kita. Aku akan berusaha melakukan apa pun supaya aku bisa hamil. Dan demi nge
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu