Di dalam kamar Alena mencoba menghubungi suaminya lagi. Namun, tak kunjung diangkat. Hal itu membuatnya kian gelisah. Wanita itu mondar-mandir. Kalau sudah begini artinya Andrio benar-benar marah padanya. "Ya Allah udah lama aku dan Mas Andrio nggak berantem kayak gini." Alena mengingat selama ini suaminya hampir selalu menyikapi masalah dengan bijak dan dewasa, tidak suka marah-marah Tapi kenapa tadi Andrio seperti tidak mau mengalah sama sekali? Ucapan suaminya tadi pun kembali terngiang-ngiang. "Coba kamu pikir aku ada nuntut apa sama kamu selama ini? Nggak ada kan? Kamu minta aku nikah lagi aku turutin. Kamu belum bisa hamil, aku juga nggak masalah." "Apa aku emang udah keterlaluan, ya?" Alena merenungkan kesalahannya. "Apa aku egois nggak bisa ngertiin keinginannya Mas Andrio? Eh, tapi nggak deh. Yang aku bilang kan juga benar. Harusnya dia nggak mikirin kepentingannya aja, dong. Harusnya dia mikirin yang lain juga. Dia nggak bisa dong ajak-ajak orang gitu aja ke luar negeri
"Bi Jum! Bibi!" Alena berteriak-teriak di tengah rumah sambil menggendong Kenzy. Wajahnya terlihat panik dan tidak sabaran. Bi Jum tergopoh-gopoh mendatanginya dari dapur. "Ada apa, Bu?" Tidak hanya Bi Jum yang datang dengan wajah tak kalah panik. Rara dan adik-adiknya juga berdatangan, berkumpul ke ruang tengah. "Ada apa, Tante kenapa panik?" tanya Rara. Alena terlihat kesusahan bicara. Dia menatap Bi Jum. "Mas-Mas Andrio ...." "Pak Andrio kenapa?" "Om Andrio kenapa, Tante?" "Dia masuk rumah sakit karena kecelakaan ...," ucap Alena akhirnya. Bi Jum spontan mengucap istighfar. Adik-adiknya Anjani terlihat terkejut dan saling pandang. "To-tolong jagain Kenzy, ya, Bi. Aku mau ke rumah sakit." Alena menyerahkan Kenzy pada Bi Juminten yang langsung menerimanya. "Tante aku ikut, ya?" Rara menawarkan diri. Alena menatapnya dan langsung menggeleng. "Kamu di rumah aja jaga adik-adikmu. Bantu Bi Jum juga, ya." "Tapi, Tante, aku juga pengin liat Om Andrio. Aku juga mau bantuin Tante A
Alena mendapati dirinya berdiri di tengah ruangan besar entah di mana. Ruangan itu tak begitu jelas karena dipenuhi kabut asap entah dari mana. Di tengah kebingungan itu, Alena mendapati sosok pria tinggi yang begitu dia kenali berdiri di hadapannya, di tengah kabut tebal. Pria itu tersenyum ke arahnya. "Mas Andrio!" Alena tersenyum melihat suaminya. "Alena." Andrio merentangkan kedua tangannya. Melihat itu Alena berlari mendekat ke arah suaminya dan memeluk tubuh pria itu dengan senang. Alena lalu mendongak menatap suaminya manja. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku nungguin dari tadi." "Aku mau pamit sama kamu." Kalimat Andrio barusan membuat Alena bingung. "Pamit ke mana? Kamu pergi ke mana?" "Aku mau pergi." "Aku ikut, ya." "Jangan." Andrio menggeleng. "Aku pergi sendiri. Kamu tetap tinggal dan jaga anak-anak kita." "Enggak!" Alena menggeleng. "Kamu nggak boleh pergi!" "Aku harus pergi. Selamat tinggal Alena ...." Andrio melepas pelukan istrinya lalu berjalan menjauh dari Alena
Alena, Marissa, Rista dan Bagas menunaikan sholat dzuhur berjamaah di mushola rumah sakit dengan Bagas yang menjadi imamnya. Mereka mendo'akan kesembuhan Andrio. Adalah Alena orang yang paling sedih dan tertekan saat ini. Dia berdo'a sambil menangis pada Allah. Dia berdo'a penuh penghayatan agar Allah segera menyembuhkan suaminya. Setelah selesai sholat dan berdo'a, Alena merasa perasaannya sedikit tenang dan lega. Alena menunduk mengusap perutnya yang masih datar di bawah mukena. 'Kita do'akan kesembuhan papamu sama-sama, ya, Nak.' do'anya dalam hati. Alena lantas menyalami mama mertua dan mami Rista, lalu kemudian yang terakhir menyalami papinya yang menjadi imamnya. Mama Marissa tiba-tiba saja memeluk Alena. "Kamu yang sabar, ya, Nak. Andrio pasti bisa melewati semuanya. Andrio pasti sembuh." "Iya, Ma." Alena bersyukur dalam hati, di saat kondisinya sedang tertekan seperti ini, di saat suaminya tak bisa menguatkannya karena sakit, masih ada keluarganya yang mengelilinginya, mem
Ternyata detak jantung Andrio melemah. Saat ini dokter sedang berusaha menanganinya agar detak jantungnya kembali normal. Sementara itu, Alena menangis kian kencang menyaksikan suamimya ditangani dokter melalui kaca ruangan ICU yang besar. Dia melihat dokter menyentuhkan defibrilator pada dada Andrio membuat dada Andrio sedikit terangkat. Dan tindakan itu dilakukan berulang-ulang. Rista dan Marissa terus menenangkan Alena yang sedih. Tapi bagaimana pun cara menghiburnya, Alena bukannya tenang malah makin histeris, meneriaki nama Andrio. Dia sangat-sangat takut Andrio tak selamat hingga berakhir pergi meninggalkannya. Setiap kali dia membayangkan, adegan dalam mimpi itu terus menancap diingatan membuatnya semakin takut. "Ya Allah aku mohon jangan ambil nyawa Mas Andrio. Kalau pun ada orang yang harus meninggal itu aku. Cabut aja nyawaku Ya Allah ...." Alena menangis dalam dekapan ibu tirinya. Rista terkejut mendengar ucapan Alena barusan. Dia menatap anaknya tak suka. "Alena! Apa yan
Sudah dua malam Alena menginap di rumah sakit. Menunggu suaminya sadar. Dia tak akan bisa tenang jika belum melihat suaminya membuka mata, berbicara dengan suaminya dan memastikan suaminya baik-baik saja. Tiada hari yang dia lewati tanpa menjenguk suaminya di ruang ICU. Mengajak suaminya bicara seolah suaminya mendengarkannya. Sesekali dia juga membacakan Al-Qur'an. Seperti yang dia lakukan hari ini, Alena duduk di sisi ranjang Andrio, mengamati wajah Andrio sambil mengajak pria yang tak sadarkan diri itu bicara. "Aku senang banget, Mas, pas dengar dokter bilang kamu udah melewati masa kritis. Kemungkinan untukmu sembuh begitu besar." Walau Andrio masih terpejam dia yakin Andrio mendengar suaranya. Dia sangat-sangat senang dan bersyukur kala memastikan dari dokter kalau Andrio berhasil melewati masa kritisnya. Dia tak akan sanggup membayangkan hidupnya tanpa Andrio. Membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa suaminya yang selama ini menguatkannya. Dia tak akan sanggup melakukan itu. D
Andrio mencoba mengingat kejadian yang dialaminya terakhir kali. Sebelum turun ke rumah sakit dia bertengkar dengan Alena. "Pokoknya aku tetap nggak mau! Aku juga nggak bisa kita LDR. Aku nggak setuju kamu lanjutin pendidikan ke Amerika!" Alena bersidekap dada sambil menatap ke lain arah. "Apa kamu nggak bisa ngertiin cita-citaku, Al?" tanyanya kemudian. Masih berharap Alena akhirnya akan mengizinkan. Tapi Alena hanya diam. Tak mau juga menatapnya. Setelah beberapa detik kemudian barulah wanita itu meliriknya. "Ya kalau memang mau lanjut kan bisa di sini, nggak harus ke luar negeri segala." "Aku pikir kamu selalu dukung aku." "Aku bukannya nggak mau dukung!" "Kalau kamu dukung ya harusnya nurut dong sama aku. Keinginan terbesar aku cuman itu lho, Al, nggak ada yang lain. Dan itu satu-satunya keinginan terbesarku yang belum tercapai. Coba kamu pikir aku ada nuntut apa sama kamu selama ini? Nggak ada kan?" Andrio bertanya lagi. "Kamu minta aku nikah lagi aku turutin. Kamu belum b
Seminggu kemudian, Andrio diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan di rumah. Siang itu, Alena membawa Andrio pulang bersama sang supir. Kedatangan Andrio disambut oleh orang rumah--Bi Jum, Rara, Lita dan Jayan. Mereka antara senang dan sedih menyambut kedatangan Andrio. Senang karena akhirnya Andrio pulang ke rumah. Sedih karena Andrio pulang dalam keadaan memprihatinkan. Pria itu menggunakan kursi roda karena kakinya yang terpasang gips masih dalam proses penyembuhan. "Om Andrio!" sambut Rara antusias kala dia membuka pintu. Alena yang tengah memegangi kursi roda Andrio bisa melihat perubahan raut wajah gadis itu. Matanya yang tadi berbinar berubah sendu dan merasa bersalah kala mengetahui ternyata Andrio menggunakan kursi roda dan kakinya dibalut gips. Rara, gadis berambut panjang keriting itu lalu berlari mendekat ke Alena dan Andrio. "Om Andrio, Alhamdulillah akhirnya Om Andrio bisa pulang dan kumpul sama kami lagi," ucapnya lantas tersenyum. "Om Andrio tenang aja kami di
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu