Pandangan Alena berkaca-kaca saat dia menatap dua garis merah pada sebuah test pack yang sejak tadi dia pegang. "Aku beneran hamil," gumamnya sambil mendekap mulut dengan tangan karena tak percaya. "Ya Allah aku beneran hamil. Ini nggak mimpi kan?" Alena mengangkat alat tes pack itu tinggi-tinggi, mengamatinya dari jauh, lalu mendekatkannya lagi, dia bahkan mengedip-ngedipkan matanya, memastikan kalau dia tidak salah lihat dan semua ini benar-benar nyata. Karena mendengar Andrio yang terus menduganya hamil, Alena langsung memesan alat test pack melalui kurir. Lalu mengecek urinnya dengan alat itu. Sejak tadi dia menunggu dengan perasaan berdebar. Ternyata dugaan suaminya benar. Dia tak menyangka akhirnya dia bisa hamil juga bahkan di saat yang tak terduga. "Mas! Mas Andrio!" Alena memanggil suaminya dengan tak sabaran. Detik berikutnya dia berdiri, keluar kamar hendak menyusuli suaminya yang tengah mengasuh Kenzy. Namun, baru sampai di depan pintu kamar yang tertutup, Alena terkejut
Setelah Alena bermohon-mohon dan memikirkan berbagai pertimbangan, akhirnya Bu Dedeh sekeluarga mau tinggal bersama mereka. Alena dan Andrio sangat senang dan berterima kasih.Dan malam itu di rumah Alena dan Andrio diadakan lah tahlilan satu hari kepergian Anjani.Rumah megah itu makin ramai oleh sanak keluarga Anjani yang berdatangan. Juga keluarga pihak Alena dan Andrio seperti Rista, Bagas, Alyssa dan calon suaminya, Ardi, Marissa dan Putra."Mami nggak habis pikir dengan kelakuan Bu Dedeh di pemakaman tadi, bisa-bisanya dia menyalahkan kamu begitu di depan orang-orang," bisik Rista pada Alena yang kini tengah memangku Kenzy. Mereka bercakap-cakap di meja makan.Bi Juminten dan adik-adiknya Anjani sedang sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk orang tahlilan yang akan diadakan selepas isya, sebentar lagi.Sedangkan keluarga yang lain--Andrio, Bagas, Alyssa, Ardi, Marissa, dan Putra--santai-santai dan mengobrol di luar, sekaligus menyambut ta
"Anjani! Jangan tinggalin Ibu lagi, ya, Nak! Ibu sayang sama kamu. Ibu janji nggak akan ke mana-mana. Kamu jangan tinggalin Ibu lagi ...."Alena terpaku menatap keadaan Bu Dedeh yang begitu memprihatinkan. Wanita itu terlihat meracau sambil menangis dan mendekap bingkai foto anaknya. Sesekali dia menciumi wajah anaknya dalam foto tersebut.Begitu Rara berteriak memanggilnya menjelaskan kondisi ibunya, Alena yang masih menggendong Kenzy bergegas ke ruang tamu. Di sana sudah tampak ramai tamu berdesakan memenuhi ruangan, memperhatikan aksi Bu Dedeh dengan tatapan prihatin.Alena sungguh tak menyangka dengan keadaan Bu Dedeh. Padahal tadi siang wanita itu sudah memaafkannya dan terlihat baik-baik saja. Alena pikir semuanya sudah selesai dan baik-baik saja, tapi ternyata ....Setetes air mata lolos di pipi Alena menyaksikan pemandangan itu. Dia jadi makin merasa bersalah. "Bu Dedeh!" teriaknya. Dia pun berlari mendatangi wanita itu."Alena, janga
Bu Dedeh akhirnya diamankan ke rumah sakit jiwa. Masih belum dipastikan apakah Bu Dedeh mengalami depresi yang sebenarnya atau tidak. Namun, karena beberapa hari terakhir ini, beliau sering mengamuk-amuk tidak jelas, sering meracau, menangis, bahkan berbuat hal-hal yang membahayakan orang lain seperti melempar barang, marah dan membentak orang-orang sekitarnya. Dan demi menjaga keamanan orang rumah, Bu Dedeh di bawa saja ke rumah sakit jiwa.Dan kejadian itu sukses membuat Alena kembali sedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Andrio dan orang-orang sekitarnya telah berusaha menghiburnya dan meyakinkannya bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi tetap saja Alena merasa sedih dan terus bersikap demikian.Andrio tidak mau Alena sampai depresi karena terlalu sering menyalahi dirinya sendiri. Apalagi saat ini kondisi Alena tengah hamil muda. Karenanya pria itu memanggilkan psikiater untuk memeriksa istrinya."Gimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Andrio begitu psikiater
Dua minggu berlalu. Bu Dedeh dinyatakan mengalami depresi berat. Dan kini beliau dirawat di rumah sakit jiwa. Entahlah, keadaannya masih bisa pulih atau tidak. Tapi untuk saat ini, wanita itu butuh penanganan lebih dan serius di rumah sakit jiwa. Sementara Alena sekarang sudah kembali normal. Dia tidak lagi bersikap seperti orang depresi yang kehilangan harapan dan menyalahi diri sendiri. Bersama suami dan adik-adik mendiang Anjani, Alena mengunjungi rumah sakit tempat Bu Dedeh dirawat. Dan ini adalah kunjungan kesekian bagi Alena dan Andrio. Namun, yang pertama kali bagi anak-anaknya. Alena menatap Bu Dedeh prihatin. Dia sungguh kasihan dan tak menyangka nasib Bu Dedeh akan seperti ini jadinya. Lihatlah, kondisi wanita paruh baya itu. Hanya duduk diam di kursi roda di bawah pohon. Penampilannya lusuh, rambutnya berantakan, berbicara sendiri, kadang tertawa, kadang menangis sambil menyebut-nyebut nama anaknya. Bahkan dengan anaknya yang lain pun dia sudah tak kenal.
Seminggu semenjak Alena menjenguk Bu Dedeh ke rumah sakit berlalu. Keadaan psikis Alena juga kian membaik. Bahkan sudah bisa dikatakan sembuh. Meski kadang masih sering merasa bersalah setiap kali mengingat keluarga Anjani.Semenjak hamil muda pun, Alena tak dibolehkan ke mana-mana sendiri oleh Andrio. Jika ada keperluan keluar mereka harus pergi bersama. Alena jadi lebih sering menghabiskan waktunya di rumah.Kini dia tak kesepian lagi karena ada adik-adik Anjani dan Bi Juminten yang jadi teman bicaranya. Alena juga senang dengan tabiat adik-adiknya mendiang Anjani. Mereka begitu pandai membawa diri, inisiatif dan rajin. Mereka berbagi tugas membantu Bi Juminten mengemaskan rumah dan memasak. Padahal sebenarnya tidak perlu. Tapi Rara mengatakan dia senang membantu mengemasi rumah itu. Sesekali ada perselisihan diantaranya, tapi Rara sebagai kakak pertamanya kini, pandai menengahi adik-adiknya. Rumah itu terasa begitu ramai dengan kehadiran mereka.Sampai suatu
Sesuai kesepakatan yang Alyssa inginkan. Alyssa tidur dengan kakak tirinya, sedangkan Andrio kini entah di mana, katanya pria itu nanti mau tidur di kamar tamu saja. "Al, Kak Andrio itu baik banget, ya ...." Alyssa duduk di atas kasur, melihat Alena yang meletakkan Kenzy di dalam box bayi. Sejak tadi Alena berusaha menidurkan bayi itu dengan cara menggendong dan menyanyikannya lagu. Hingga akhirnya bayi itu pun tidur. "Kenapa lo ngomong begitu?" Alena berbalik badan dan berjalan menuju kasur lalu berbaring di samping adiknya yang masih setia duduk. "Lo kayak baru kenal dia aja." Alyssa menoleh. "Maksud gue ya gue nggak nyangka aja ternyata dia emang beneran baik, dia sebaik itu, dia bahkan mau ngalah sama kita. Padahal tadi gue pikir dia nggak ngizinin gue tidur sama lo." "Pasti diizinin lah. Cuman tidur bareng lo juga dan nggak lama juga kan?" Alena mengangkat bahu. Dia rasa itu adalah hal yang biasa. Sudah sepantasnya Andrio mengizinkan. "Iy
"Eh kenapa malu? Justru kan Mami sama Papi yang lebih berpengalaman karena mereka udah tua ... anaknya udah pada gede. Kalau gue hari ini gue bisa ngomong begini. Besok lusa nggak tahu deh apa yang akan terjadi dalam pernikahan gue. Apa pun itu gue siap hadapi.""Makasih, ya, Alena." Alyssa tersenyum. "Gue sebenarnya ke sini juga pengin ngabisin waktu sama lo aja kayak masih remaja dulu." Alyssa menatap plafon. Entah bagaimana caranya, di plafon itu dia seperti bisa melihat rekaman kegiatan dirinya dan Alena waktu remaja dulu. Seolah-olah dia menonton video di plafon. Dia rindu dengan momen-momen itu. Momen yang tidak akan bisa diputar ulang."Kita yang tidur bareng kayak gini ... ingat nggak?" ucap Alyssa lagi sambil masih menatap plafon. "Kita makan spaggeti bareng Kak Andrio. Dan masih banyak lagi."Alena hanya tersenyum ikut menatap plafon."Dan lo tahu nggak apa yang gue sesali?" tanya Alyssa kemudian sambil menoleh ke Alena.Alena membalas pa
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu