Pagi itu, Alena berkunjung ke rumah Bagaskara seorang diri. Menjadi perempuan rumahan membuatnya memiliki banyak waktu luang. Sudah lama pula dia tidak mengunjungi orang tuanya itu. Kalau tidak ada papinya--yang mungkin sibuk di kantor--setidaknya dia bisa ketemu Rista yang sudah dia anggap seperti ibu sendiri. Alena langsung menuju taman belakang rumah melalui halaman samping. Dan Alena mendapati Bagas duduk di kursi taman belakang sambil menghadap laptop di atas meja. Di samping laptop terdapat koran yang berlipat. Senyum Alena mencekah. "Assalamu'alaikum, Pi." Namun, agaknya pria yang sudah memasuki usia lanjut itu tidak mendengarnya karena beliau tak bereaksi apa-apa. Karenanya Alena memanggil lagi seraya berjalan mendekat. "Papi!" Pria berkacamata itu pun serta-merta menatapnya. Sedetik kemudian, senyumnya merekah. "Hei, Nak." Bagas melepas kacamata minusnya. Lalu meletakkannya di atas meja samping laptop. "Papi ada di rumah? Nggak ke kantor?" tanya Alena seraya duduk di kur
"Ma-mandul?" Bagas menatapnya tak percaya. "Iya, Pi." Alena bisa merasakan kekecewaan yang terlihat dari wajah kedua orang tuanya mendengar kabar itu. Dan itu membuatnya makin merasa bersalah. "Kamu mandul, Alena?" ulang Rista, intonasinya meninggi. Alena hanya diam. Jawaban diamnya itu pertanda iya. Rista lalu menghela napas yang sarat kekecewaan. Sementara Bagas sendiri memasang wajah tenang saja. Dia mengerti perasaan Alena saat ini. Dia mengusap bahu anaknya itu. "Sabar, ya, Nak. Papi yakin pasti ada jalan keluarnya. Ini ujian buat pernikahan kalian." "Lalu apa rencana kamu dan Andrio mengatasi masalah ini?" tanya Rista kemudian. "Mas Andrio bilang sebaiknya kita melakukan program bayi tabung." "Nah, iya. Bagus itu," sahut Bagas. "Bayi tabung? Apa itu nggak berbahaya?" Rista punya pendapat lain. "Paling nggak kita usaha, Mi," jawab Alena. "Masih banyak cara lain buat hamil, Alena, yang lebih aman dari bayi tabung. Kenapa harus bayi tabung? Bayi tabung itu risikonya besar
Alena bersandar di balik pintu sambil duduk menekuk lutut. Matanya memejam. Dia tidak bisa berhenti mengingat momen tadi juga kata-kata mertuanya yang begitu menyakitkan. Setiap kali di ingat, sakit pula hatinya memicu air matanya keluar. "Kalau memang kamu nggak bisa memberi Andrio keturunan, kamu harus siap jika Andrio menikah lagi dengan perempuan lain." Percakapannya dengan ibu mertuanya kembali terngiang. "Itu nggak mungkin, Ma! Aku nggak mau." "Kamu jangan egois, Alena. Kamu nggak bisa menjadi perempuan sempurna. Kamu juga harus memikirkan kami yang ingin mendapatkan cucu dari Andrio. Jadi kamu harus bisa merelakan Andrio menikah lagi." "Aku yakin Mas Andrio juga nggak mau menduakan aku." "Justru itu makanya kamu sebagai istri harus meyakinkan dia untuk bisa menikah lagi. Biar Mama nanti yang carikan istri buat Andrio. Mama pastikan dia bisa hamil. Tugas kamu hanya meyakinkannya." Begitu mudahnya ibu mertuanya itu berkata demikian seolah dirinya tak memiliki perasaan. Alen
"Aku mau ngomong hal penting sama Mama. Ini serius." Kala telah duduk berhadapan dengan mamanya di sofa ruang tamu, Andrio mengutarakan maksud kedatangannya. Sepulang kerja, Andrio tak langsung pulang ke rumahnya. Melainkan singgah ke rumah orang tuanya dulu. Dia perlu membahas masalah kemarin dengan mamanya langsung. Marissa terheran dengan kedatangan anak semata wayangnya itu yang tiba-tiba. "Hal penting apa?" Marissa meletakkan ponsel yang sejak tadi dia mainkan di atas meja. Perhatiannya teralihkan pada anaknya. "Mama udah ngomong apa sama Alena?" Andrio putuskan untuk bertanya terlebih dulu. "Alena ngadu sama kamu?" Dengan wajah tenangnya, Marissa malah balik bertanya. "Alena bukannya ngadu, Ma, tapi wajar kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Lagi pula aku yang maksa dia buat cerita. Mama minta dia buat ngeyakinin aku biar aku nikah lagi 'kan?" "Iya, lalu kenapa?" "Kenapa Mama ngomong gitu, sih, Ma? Apa Mama nggak mikirin perasaan Alena?" "Mama lakuin itu untuk kepentinga
Berhari-hari sejak kejadian itu berlalu. Suatu hari, Marissa datang lagi menemui Alena. Waktu itu masih pagi. Alena tengah menyiram bunga sambil bersenandung. Dia iseng melakukannya sekadar mengisi waktu luang. Semenjak sibuk kerja, dia tak pernah lagi memperhatikan bunga-bunganya. Alena sengaja menanam bunga di halaman rumahnya yang tak seberapa. Bunga-bunga itu mengingatkannya dengan mendiang Leyla, ibunya. Ibunya suka sekali bunga. Waktu remaja dulu, Alena juga sering membantu ibunya menyiram dan merawat bunga. Sedangkan Andrio baru saja pergi ke rumah sakit. Senyum Alena merekah kala melihat kedatangan Marissa yang turun dari mobil. Ketika ibu mertuanya itu makin dekat jaraknya dengannya, Alena mengulurkan tangan hendak menyalami seperti biasa. "Mama--" Namun, tanpa diduga sekonyong-konyong sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya. Alena terkejut dan wajahnya tertoleh ke samping. Alena lalu menatap Marissa tak percaya sembari memegangi pipinya yang terasa panas dan perih.
Setelah mengompres pipinya, Alena menyibukkan diri dengan memasak dan beberes rumah. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari masalah-masalah itu. Memikirkan perkataan ibu mertuanya hanya membuat kepalanya sakit. Rumah Alena dan Andrio berlantai tiga, tapi baik Alena mau pun Andrio jarang berkunjung selain ruangan di lantai dasar. Ruangan-ruangan di lantai dasar pun tidak semua mereka gunakan. Alena dan Andrio tentunya tak berhenti berharap kelak mereka memiliki anak banyak yang akan meramaikan suasana rumah megahnya. Alena hanya membersihkan ruangan yang digunakan. Sementara ruangan di lantai dua dan tiga hanya dibersihkan sesekali. Setelah selesai dengan aktivitasnya, Alena istirahat sejenak dengan rebahan di sofa ruang tengah, tempat dia biasa melepas penat seraya mengscroll ponsel memainkan i*******mnya. Alena tersenyum kala menemukan postingan feed akun i*******m adiknya. "Alyssa lagi mau lakuin operasi? Hmm komen ah ...." Alena pun mengetikkan komentar di bawah foto tersebut
Keesokan harinya, sekitar pukul sepuluh pagi mereka sudah bersiap-siap. Alena yang sudah berdandan rapi dan cantik dengan mengenakan dress kembang selutut lengan panjang motif bunga-bunga warna ungu menemui suaminya yang sedang sibuk memanaskan kendaraan. Sesampainya di halaman depan, Alena mengernyit bingung. Andrio tampak sibuk memanasi motor sport-nya yang mengeluarkan suara bising. Ketika Alena mendekat, suara bising itu makin terdengar memekakkan telinga. "Mas, ngapain?" Suara Alena tenggelam ditelan suara bising knalpot motor tersebut. Andrio yang menatap motornya sejak tadi, menoleh. "Aku lagi joget. Ya, manasin motor lah." Alena refleks tertawa mendengar lelucon suaminya. "Pakai motor?" "Iya." Andrio kembali berpaling ke motornya. "Kenapa nggak pakai mobil?" "Aku mau pakai motor." Andrio menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari motor sport kesayangannya. Semenjak menikah, Andrio hampir tidak pernah lagi memakai motor kesayangannya itu. Karena dia pun sering memakai m
Destinasi pertama Alena dan Andrio adalah ke sebuah restoran. Di sana Andrio memesan cukup banyak jenis makanan. Mereka menikmati makanan itu sambil berbincang hangat. Di tengah-tengah percakapan mesra mereka, Alena teringat dengan masa remajanya. Dulu, kehidupannya sangat susah. Bisa membeli makanan mahal seperti ini sangat mustahil baginya. Namun, lihatlah sekarang, semua fasilitas mewah bisa dia dapatkan dengan mudah. Tak hanya itu, dia juga merasa beruntung karena memiliki suami sebaik Andrio yang kini tengah tersenyum manis menatapnya. "Abis ini mau ke mana lagi?" tanya Andrio yang tengah menghabiskan menu-menu makanan itu sedikit lagi. "Gimana kalau kita cari tempat buat foto yang bagus?" Alena yang juga sedang menghabiskan makanannya bertanya balik. "Oh, kamu mau foto?" Alena mengangguk sambil menyuap suapan terakhirnya. "Boleh. Nanti, ya, kita cari tempat foto yang bagus." Selesai makan dan membayar makanannya, mereka beranjak dari restoran itu. Dua sejoli itu kembali
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu