Pagi itu Alena yang tidak ke mana-mana membantu Mbah Nani mencuci piring bekas pengunjung warteg di dapur. Dia sengaja tak ke mana-mana hari ini, meluangkan waktu untuk membantu Mbah Nani. Selagi mencuci piring, pikiran gadis itu berkelana mengingat percakapannya dengan Alyssa tempo hari, terutama tentang penyebab ayahnya dan Rista bertengkar. Dia tak menyangka kalau suami-istri itu pernah bertengkar. Dia pikir hubungan mereka selalu harmonis. Dan yang lebih membuatnya tak habis pikir mereka bertengkar karena dirinya? "... Mami teriak-teriak bilang 'Alena, Alena' gitu, nggak tahu gue kenapa ...." Perkataan Alyssa bertalu-talu dipikirannya. Alena tahu sejak dulu Rista memang tidak menyukainya, ibunya sendiri pernah bercerita. Itu lah mengapa mereka cenderung dijauhi oleh keluarganya. Dulu, Alena pikir mungkin karena mereka miskin hingga keluarganya sendiri tak menganggapnya, tapi sekarang Alena sudah tahu apa titik pangkal permasalahannya. Rista tak menyukai dirinya pasti karen
Hari-hari terus berlalu sebagaimana mestinya. Alena melalui hari-harinya dengan bekerja sebagai Cleaning Service, sesekali juga main ke rumah Alyssa, berkumpul bersama Andrio jika keduanya tidak sedang sibuk. Perlakuan Alyssa ke Alena begitu baik. Dia memesan makanan kesukaan Alena di aplikasi Go Food dan mereka makan bersama di rumah sambil berbagi cerita. Alena menceritakan ke Alyssa dan Andrio kalau sebentar lagi dia akan dikuliahkan oleh teman Mbah Nani. Alyssa dan Andrio turut senang mendengarnya. Alena hanya mau berbicara dengan Andrio kala di depan Alyssa saja, jika di belakang Alyssa atau dia berduaan dengan Andrio, Alena sebisa mungkin menghindari interaksi dengan lelaki itu. Meskipun telah berusaha menghindari Andrio, pada akhirnya Andrio berhasil mendekatinya. Andrio mengajak Alena bernyanyi mengingat kenangan mereka waktu SMA dulu, tapi Alena tidak mau. Seperti hari ini, baru saja Alena membuka pintu yang menuju halaman samping, tanpa dia duga, tatapannya langsung bertem
"Kenapa, sih? Andrio menyahut lebih dulu. Berusaha terlihat santai berharap pacarnya tidak sempat melihat interaksinya dan Alena. "Oh, iya, Sa, Alena baru datang, tuh," ucapnya kemudian. Alyssa lalu menatap Alena yang tersenyum tak nyaman. Gadis itu mengharapkan apa yang Andrio harapkan. "Iya." Alyssa akhirnya menyahut. "Sa," panggil Alena kemudian membuat Alyssa kembali memandanginya. "Kenapa?" "Teman gue katanya mau kenalan sama lo. Dia udah on the way ke sini, boleh nggak?" Alena menatap Alyssa harap-harap cemas. "Teman lo?" Alyssa memicing. Lalu tersenyum. "Boleh, dong, ajak aja dia ke sini, biar ramai." Alena tersenyum tipis kemudian dia teringat sesuatu. "Tapi Mami lo nggak marah 'kan?" "Mami biar jadi urusan gue. Santai aja." "Oke." Alena mengangguk-angguk. "Teman lo siapa, Al?" Andrio ikut bertanya membuat kedua gadis itu memandangnya. "Farah," jawab Alena. "Ngapain dia ke sini?" "Dia cuman pengin kenalan sama Alyssa." "Kok dia kenal Alyssa juga? Pasti lo yang c
"Waktu pertama kali kita ketemu di sini dan tahu gue pacaran sama Alyssa, lo pasti mikirnya gue cinta 'kan sama Alyssa? Hingga lo berpikir gue udah move on dari lo." Alena tertegun menatap Andrio. Bagaimana bisa lelaki ini tahu isi pikirannya sedetail itu? Bukannya menjawab, Alena malah terdiam dan mengalihkan pandangannya dari menatap Andrio. "Jawab jujur, Al. Lo pasti mikir gitu 'kan?" "Lo tahu dari mana?" Alena kembali menatap Andrio. "Ya iyalah, Al. Lo aja kemarin nangis. Lo pasti kaget iya 'kan?" Alena merasa dia tak punya pilihan lagi selain mengaku waktu itu dia memang sakit hati. "Iya," jawabnya akhirnya. "Lalu?" "Perkiraan lo salah, Al." Alena menyipit, "maksudnya?" "Gue nggak pernah mencintai Alyssa." Andrio menggeleng. Lagi-lagi Alena syok, tapi dia diam saja menunggu Andrio melanjutkan ceritanya. "Hubungan gue sama Alyssa hanya karena perjodohan." "Perjodohan?" Alena makin tak mengerti. Andrio mengangguk. "Umur kami masih muda, kami masih kuliah sebagai mahasiswa
Masakan Alyssa--yang dibantu Alena--sudah tersaji di meja makan. Ada mie spaghetti pasta favorit Alyssa tentunya, chiken katsu kesukaan Andrio dan makanan pembuka ala Alena, cilok bumbu kacang. Setelah berdebat dengan Andrio tadi, Alena memutuskan ke dapur, membantu Alyssa masak. Sebenarnya Alyssa tak mau dibantu, tapi Alena memaksa. Akhirnya Alyssa mengalah dan membiarkannya membantunya. Mereka berunding makanan apa lagi yang enak dimasak hari ini selain spaghetti yang sudah Alyssa masak hingga akhirnya Alena menyarankan memasak cilok saja sebagai makanan pembuka. Namun, saat mereka sibuk memasak, tiba-tiba Andrio datang menghampiri mereka, mengabarkan Farah sudah di depan. . Mendengar itu, Alena buru-buru mengecek ponselnya yang sudah banyak notif pesan dari Farah. Gadis itu pun segera keluar menyusuli sahabatnya yang sudah berdiri di depan pintu teras samping. Selama Alena menyusuli Farah, Andrio mengabarkan Alyssa kalau dia ingin dimasakkan chicken katsu, makanan kesukaannya. S
"Lo nggak nanya, nih, gimana penilaian gue tentang adik tiri lo itu?" Alena dan Farah pulang bersama menggunakan motor Farah. Farah yang menyetir dan Alena bonceng di belakangnya. Sepanjang perjalanan pulang mereka bercakap-cakap. Ketika mereka membahas suasana makan siang di rumah Alyssa tadi, Farah lalu bertanya hal lain. "Memangnya gimana?" tanya Alena sedikit berteriak berusaha menyeimbangkan suaranya yang tenggelam karena ribut deru kendaraan. "Adik gue baik, 'kan?" "Baik, sih," sahut Farah. "Cantik juga 'kan? Tapi kenapa, ya, gue ngeliat Andrio tuh kayak nggak benar-benar sayang sama Alyssa." "Emang iya?" Alena tahu Andrio tak benar-benar mencintai Alyssa, lelaki itu sendiri yang mengatakannya, hanya saja dia tidak yakin, dia takut Andrio membohonginya dan kali ini dia ingin memastikannya melalui sudut pandang Farah. "Lo liat aja reaksinya waktu gue puji Alyssa dan bilang Andrio beruntung. Itu cuma buat ngetes mereka. Reaksi Andrio malah diam aja 'kan? Dia nggak mengiyakan o
"Mami. Mami apa-apaan, sih? Kenapa Mami bersikap kayak gitu ke teman-teman aku?" Setelah mengantar kepulangan Andrio yang pulang setelah kepulangan Alena dan Farah, Alyssa mendatangi maminya dan memarahi maminya. Menurutnya kali ini sikap maminya sudah keterlaluan dan membuatnya malu. Rista yang tengah duduk santai di ruang televisi sambil membaca majalah, menoleh, terkejut melihat sikap anak sematawayangnya yang tak biasa. Raut wajahnya berubah. "Kamu marahin Mami, Alyssa?" "Mami tuh udah keterlaluan?!" Rista menghempaskan majalah yang dipegangnya ke meja lalu berdiri. "Kamu marahin Mami demi belain teman kamu? Teman kamu siapa? Itu temannya Alena, bukan teman kamu. Lagian apa yang Mami bilang itu benar 'kan. Mami cuma memperingatkan biar mereka nggak seenaknya. Mami ngomongnya juga baik-baik." "Temannya Alena teman aku juga, Mi. Ucapan Mami yang begitu bikin mereka tersinggung, aku jadi malu, Mi." Alyssa menunjuk-nunjuk dirinya. Dia benar-benar kecewa dengan sikap maminya kali
Sejak pertengkaran itu Alyssa tidak mau bicara dengan maminya. Gadis itu lebih menyibukkan dirinya dengan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa. Sepulang dari kampus dia lebih memilih mengerjakan tugas di rumah teman sekelompoknya dan baru pulang ketika malam sudah larut. Kalau ada waktu luang, Alyssa lebih berdiam diri di kamar. Rista juga melarangnya bertemu Alena lagi. Jika Alena nekat datang, Rista mengancam akan mengusirnya secara paksa. Alyssa sudah mengadukan sikap maminya itu pada Bagas. Hal itu membuat Bagas menegur Rista dan akhirnya Rista yang tak terima ditegur jadi marah. Mereka pun bertengkar. Suasana rumah itu jadi makan panas. Membuat Alyssa merasa bagai di neraka. Kadang Alyssa curhat ke Andrio melalui chat, tak jarang pula gadis itu mencari hiburan dan kesenangan dengan melarikan diri ke club malam. Bahkan Alyssa juga mabuk-mabukan. Pernah suatu ketika Andrio menyusuli Alyssa ke club malam dan mendapati gadis itu tengah mabuk. Andrio tahu betapa stres dan tertekannya A
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu