Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes
"Ayo, dong, Alena nambah lagi, habisin aja spaghettinya," suruh Alyssa saat dilihatnya spaghetti di mangkok Alena tinggal sedikit. Alena yang tengah sibuk makan, menggeleng. "Kenyang gue." Seperti biasa, kedua gadis itu makan spaghetti buatan Alyssa di teras samping. Setelah beberapa hari disibukkan dengan tugas, Alyssa baru dapat mengajak Alena main ke rumahnya lagi sekarang, tapi dia tak mengajak Andrio. Dan Alena sendiri mensyukuri hal itu. Jujur, dia merasa tidak nyaman jika harus bertemu lelaki itu di sini. Dan dia juga tidak jadi mengajak Farah seperti rencana sebelumnya karena waktunya bentrok dengan kesibukan sahabatnya itu. "Dikit-dikit kenyang, gimana, sih? Pantasan aja badan lo kurus," celetuk Alyssa. Sebenarnya Alena tidak begitu kurus. Hanya saja jika dibanding Alyssa, Alena tampak kurus. "Gue juga nggak terlalu suka spaghetti," "Oh iya? Pantasan. Lo nggak pernah makan spaghetti?" Alyssa menatap Alena tak percaya. Alena menggeleng. "Biasanya lo makan apa aja?" "Sel
Alena berusaha tenang, lalu tersenyum menenangkan. "Nggak kok, Alyssa. Gue nggak ada perasaan apa-apa ke Andrio. Gue cuman anggap dia teman jadi lo tenang aja, ya?" Lagi Alena tersenyum lebar menenangkan. Dia tentu paham maksud dari pertanyaan Alyssa. Gadis itu takut dirinya mempunyai perasaan terhadap Andrio dan merebut Andrio. "Serius?" "Iya, Alyssa," jawab Alena penuh penekanan. "Percaya sama gue. Lo takut, ya, gue rebut Andrio dari lo. Nggak kok. Nggak akan." Alena menggeleng. "Jadi lo tenang, ya?" Alyssa lalu tersenyum tak nyaman. "Maaf, ya, Alena, gue nggak bermaksud nuduh lo. Gue cuman--" "Iya, nggak pa-pa. Maklum, kok." Alyssa jadi merasa bersalah. Dia jadi menyesali keputusannya menanyakan hal itu pada Alena. Seharusnya dia tak perlu mencurigai Alena seperti itu. "Sekali lagi maaf, ya?" Alena hanya tersenyum menatap Alyssa. Sepersekian detik kemudian, dia mengalihkan pandangannya pada sosok bayangan di belakang Alyssa yang tetiba muncul. Raut wajah Alena pun berubah mel
"Udah ke toiletnya?" tanya Alyssa ketika Alena kembali dan duduk di hadapannya. Ditinggal sendiri sejak tadi, Alyssa menghibur dirinya dengan bermain ponsel. Alena hanya mengangguk. "Kak Andrio tadi katanya juga mau ke toilet, ketemu sama lo nggak di sana?" Alena hanya menggeleng. Dia tidak mau Alyssa mencurigai kedekatannya dengan Andrio walau hanya sedikit saja. Dan sikap Andrio barusan membuatnya tidak nyaman. Dia takut kalau Andrio mendekatinya lagi dan nekat memeluknya, jadi dia putuskan untuk pulang saja sekarang. "Hmm Alyssa," panggil Alena lagi ketika Alyssa kembali fokus dengan ponselnya. "Iya?" Alyssa kembali menatap Alena. "Gue pulang sekarang, ya, makasih makanannya." Raut wajah Alyssa berubah. "Kok cepat banget, sih? Tiba-tiba gitu." "Iya, tadi pas di toilet gue diteleponin sama Mbah Nani suruh pulang. Gue pulang sekarang, ya?" Alena beralasan. "Hmm iya, deh." Alyssa sedikit manyun, dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Oh iya gue titip salam sama Mbah Nani itu, ya?
Bagas dan Rista sudah menjalin hubungan selama kurang lebih dua tahun dan mereka akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mereka sudah menyiapkan rumah untuk mereka menikah kelak. Rumah itu dibeli dari hasil tabungan keduanya atas nama Rista. Sesekali mereka datang ke rumah itu untuk membersihkannya. Kadang Rista datang sendiri, kadang juga Bagas datang sendiri. Rumah itu juga sudah ada perabotannya. Beberapa barang Rista sudah di simpan di sana seperti baju yang tak terpakai, foto-foto mereka yang tergantung di dinding dan beberapa peralatan makan. Ya, persiapan mereka sudah sejauh itu. Malam itu hujan turun deras saat Bagas datang ke rumah itu seorang diri tanpa memberitahu Rista karena dia merasa hal itu tidak terlalu penting. Tujuan Bagas malam itu karena ingin menenangkan diri sendiri di sana--sekadar berbaring di kamar sambil beberes--di rumah yang jauh dari hiruk-pikuk karena rumah itu terletak jauh di dalam komplek yang sedikit penghuninya. Waktu itu dia sedang membersihkan l
Pagi itu Alena yang tidak ke mana-mana membantu Mbah Nani mencuci piring bekas pengunjung warteg di dapur. Dia sengaja tak ke mana-mana hari ini, meluangkan waktu untuk membantu Mbah Nani. Selagi mencuci piring, pikiran gadis itu berkelana mengingat percakapannya dengan Alyssa tempo hari, terutama tentang penyebab ayahnya dan Rista bertengkar. Dia tak menyangka kalau suami-istri itu pernah bertengkar. Dia pikir hubungan mereka selalu harmonis. Dan yang lebih membuatnya tak habis pikir mereka bertengkar karena dirinya? "... Mami teriak-teriak bilang 'Alena, Alena' gitu, nggak tahu gue kenapa ...." Perkataan Alyssa bertalu-talu dipikirannya. Alena tahu sejak dulu Rista memang tidak menyukainya, ibunya sendiri pernah bercerita. Itu lah mengapa mereka cenderung dijauhi oleh keluarganya. Dulu, Alena pikir mungkin karena mereka miskin hingga keluarganya sendiri tak menganggapnya, tapi sekarang Alena sudah tahu apa titik pangkal permasalahannya. Rista tak menyukai dirinya pasti karen
Hari-hari terus berlalu sebagaimana mestinya. Alena melalui hari-harinya dengan bekerja sebagai Cleaning Service, sesekali juga main ke rumah Alyssa, berkumpul bersama Andrio jika keduanya tidak sedang sibuk. Perlakuan Alyssa ke Alena begitu baik. Dia memesan makanan kesukaan Alena di aplikasi Go Food dan mereka makan bersama di rumah sambil berbagi cerita. Alena menceritakan ke Alyssa dan Andrio kalau sebentar lagi dia akan dikuliahkan oleh teman Mbah Nani. Alyssa dan Andrio turut senang mendengarnya. Alena hanya mau berbicara dengan Andrio kala di depan Alyssa saja, jika di belakang Alyssa atau dia berduaan dengan Andrio, Alena sebisa mungkin menghindari interaksi dengan lelaki itu. Meskipun telah berusaha menghindari Andrio, pada akhirnya Andrio berhasil mendekatinya. Andrio mengajak Alena bernyanyi mengingat kenangan mereka waktu SMA dulu, tapi Alena tidak mau. Seperti hari ini, baru saja Alena membuka pintu yang menuju halaman samping, tanpa dia duga, tatapannya langsung bertem
"Kenapa, sih? Andrio menyahut lebih dulu. Berusaha terlihat santai berharap pacarnya tidak sempat melihat interaksinya dan Alena. "Oh, iya, Sa, Alena baru datang, tuh," ucapnya kemudian. Alyssa lalu menatap Alena yang tersenyum tak nyaman. Gadis itu mengharapkan apa yang Andrio harapkan. "Iya." Alyssa akhirnya menyahut. "Sa," panggil Alena kemudian membuat Alyssa kembali memandanginya. "Kenapa?" "Teman gue katanya mau kenalan sama lo. Dia udah on the way ke sini, boleh nggak?" Alena menatap Alyssa harap-harap cemas. "Teman lo?" Alyssa memicing. Lalu tersenyum. "Boleh, dong, ajak aja dia ke sini, biar ramai." Alena tersenyum tipis kemudian dia teringat sesuatu. "Tapi Mami lo nggak marah 'kan?" "Mami biar jadi urusan gue. Santai aja." "Oke." Alena mengangguk-angguk. "Teman lo siapa, Al?" Andrio ikut bertanya membuat kedua gadis itu memandangnya. "Farah," jawab Alena. "Ngapain dia ke sini?" "Dia cuman pengin kenalan sama Alyssa." "Kok dia kenal Alyssa juga? Pasti lo yang c
"Waktu pertama kali kita ketemu di sini dan tahu gue pacaran sama Alyssa, lo pasti mikirnya gue cinta 'kan sama Alyssa? Hingga lo berpikir gue udah move on dari lo." Alena tertegun menatap Andrio. Bagaimana bisa lelaki ini tahu isi pikirannya sedetail itu? Bukannya menjawab, Alena malah terdiam dan mengalihkan pandangannya dari menatap Andrio. "Jawab jujur, Al. Lo pasti mikir gitu 'kan?" "Lo tahu dari mana?" Alena kembali menatap Andrio. "Ya iyalah, Al. Lo aja kemarin nangis. Lo pasti kaget iya 'kan?" Alena merasa dia tak punya pilihan lagi selain mengaku waktu itu dia memang sakit hati. "Iya," jawabnya akhirnya. "Lalu?" "Perkiraan lo salah, Al." Alena menyipit, "maksudnya?" "Gue nggak pernah mencintai Alyssa." Andrio menggeleng. Lagi-lagi Alena syok, tapi dia diam saja menunggu Andrio melanjutkan ceritanya. "Hubungan gue sama Alyssa hanya karena perjodohan." "Perjodohan?" Alena makin tak mengerti. Andrio mengangguk. "Umur kami masih muda, kami masih kuliah sebagai mahasiswa
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu