Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes. Jangan bosan-bosan. Yang udah ngikutin cerita aku sampai sejauh ini terima kasih ya....
Alyssa duduk di ruang televisi, menatap tayangan berita di depannya. Namun, pikiran gadis itu tak mengarah ke sana. Dia lebih sibuk memikirkan hal lain. Dia mengingat percakapannya dengan Andrio sewaktu pulang dari kampus tadi sore. "Kakak nggak habis pikir aja kok bisa, ya, Alena itu keluarga kamu?" tanya Andrio ketika Alyssa membahas momen makan spaghetti bersama Alena tempo hari. "Kok bisa gimana, sih, Kak? Bisa aja kali. Emangnya aneh kalau aku dan Alena saudaraan?" respons Alyssa sambil terkekeh. "Nggak gitu. Cuman dunia sempit banget gitu, ya. Alena yang Kakak kenal juga saudara kamu," "Ya, kenyataan memang kadang seaneh itu. Tapi itulah faktanya." Andrio mengangguk-angguk. "Sa, sebenarnya Alena itu bukan cuman teman Kakak waktu SMA." Andrio mulai bercerita. Alyssa menoleh heran. "Maksudnya?" "Kakak pengin cerita jujur ke kamu. Tapi kamu janji jangan marah, ya?" "Iya, aku nggak marah kok." "Dulu Kakak pernah ada rasa sama Alena dan sebaliknya. Kita saling mencintai. Kak
Alena masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Wajah gadis itu sedikit basah karena sudah dibasuh dengan air. Dia tinggal mengganti bajunya saja. Namun, Alena tak langsung mengganti pakaiannya. Pandangannya langsung mengarah pada foto-foto yang tertempel pada dinding samping cerminnya. Tak lain adalah foto Bagas, Rista dan Alyssa yang telah diconteng dengan spidol. Membuatnya kembali ingat dengan misinya. Dia menatap tajam foto-foto itu dari jarak dekat. Awalnya rencana pembalasan dendamnya sudah matang dan dia yakin dengan rencananya itu. Namun, semenjak bertemu Alyssa dan melihat sikap baik gadis itu terhadapnya, terlebih dia bertemu ayahnya lagi. Melihat wajah dan mengenang budi baik pria itu membuatnya serba salah. Hingga dia pun mulai terlena dan hampir melupakan rencana pembalasan dendamnya. Akan tetapi, tiap mengingat sikap Rista terhadapnya membuatnya sedih sekaligus benci, membuatnya jadi ingin menghancurkan wanita itu. "Kamu kenapa lancang ajak dia ke sini, Alyssa!" "Dan ken
Tak seperti biasanya, hari itu Andrio jenuh memahami pelajaran di kelasnya. Seorang guru yang berkoar-koar di depan sana menjelaskan rumus Matematika yang sudah dia pahami, tak dia hiraukan. Seolah bosan memahami pelajaran yang itu-itu saja, Andrio malah lebih tertarik menulis kunci gitar di bukunya. Dia terlalu asyik menunduk menulisi bukunya hingga tiba-tiba saja bukunya dirampas dari atas meja dan membuatnya terkejut. Andrio menatap Pak Suryo yang sudah membaca isi bukunya. Awalnya Andrio takut dan tegang. Namun, sepersekian detik kemudian dia pasrah dan mengalihkan pandangannya ke meja. "Apa ini, Andrio?" tanya guru berkacamata itu. "Itu kunci gitar, Pak," jawab Andrio santai. "Kamu tidak mendengarkan penjelasan saya di depan?!" Pak Suryo menatapnya tajam. Bukannya gentar, Andrio hanya menghela napas pasrah sambil memandangi meja. "Coba kamu jelaskan kembali apa yang sudah saya jelaskan tadi?!" pinta guru itu. Andrio mengedar pandang ke papan tulis yang penuh coretan spidol
Rupanya Andrio membawa Alena ke kelas gadis itu, XI IPS 4. Aksi Andrio itu menginterupsi kegiatan belajar-mengajar di kelas tersebut. Seluruh pasang mata di kelas itu menatap ke arahnya, tak terkecuali guru yang mengajar di kelas itu membuat Alena menunduk malu. "Kenapa kalian?" Guru yang tengah menulis di papan tulis itu pun menghampiri Andrio dan Alena di depan pintu. "Ibu yang udah hukum Alena suruh lari-lari di lapangan?" tanya Andrio. "Iya, kenapa kamu?" "Kok Ibu tega, sih, Bu, suruh Alena lari-lari di lapangan gitu. Memangnya nggak ada hukuman lain apa?" Andrio protes. "Dia sudah melanggar peraturan di kelas saya. Sebagai guru saya berhak memberi hukuman apa saja pada murid saya. Kamu kenapa ikut campur? Kamu pacarnya?" Guru itu sedikit emosi. Mendengar itu, Alena tertegun. Sontak Alena melepaskan genggaman Andrio dari pergelangan tangannya. Sementara Andrio malah terlihat santai. "Mana ada Bu, hukuman kayak gitu. Saya bukan pacarnya, tapi saya peduli. Saya nggak tega liha
Alyssa keluar dari ruangan komputer dengan perasaan lega. Beban yang tadi seolah menumpuki bahunya serasa hilang. Wajah suntuk gadis itu berubah semringah kala mendapati pacarnya ada di keramaian koridor itu. "Hai?" Andrio balas tersenyum dan mendekati Alyssa. "Gimana ujiannya? Gampang?" tanya Andrio basa-basi seiring dengan langkah mereka menyusuri koridor. Alyssa menghela napas dan memutar bola matanya. "Lumayan, sih. Oh iya kak kemarin 'kan aku rencananya mau ngajakin Alena sama kamu ngumpul di rumah." Alyssa membicarakan topik lain. "Hmm hmm?" "Tapi nggak jadi deh. Kita nggak ngumpul dulu hari ini." "Sibuk, ya?" tanya Andrio pengertian. "Iya, Kak." Alyssa tampak memelas. "Nanti malam mau belajar, tugasku juga banyak belum dikerjain. Udah mulai sibuk nih aku." "Oke, deh. Kakak sebenarnya juga sibuk. Semangat terus, ya?" Andrio mengacak rambut sang pacar, pelan. Alyssa tersenyum simpul. Mereka terus melanjutkan langkah menuju kantin kampus. Alyssa tak menyangka, sebagai maha
"Lo masih ingat Andrio 'kan?" Sebelum bercerita, Alena melempar pertanyaan pada Farah. "Andrio teman kita waktu SMA? Yang dulu naksir lo?" tanggap Farah memastikan. Alena mengangguk. "Iya." "Gue masih ingat. Emang kenapa?" "Ternyata Andrio sekarang pacaran sama Alyssa, adik tiri gue." Sebelumnya, Alena sudah mengisahkan ke Farah tentang perjumpaannya dengan keluarga ayahnya itu, termasuk kedekatannya dengan Alyssa akhir-akhir ini. Namun, dia belum menceritakan hubungan Alyssa dan Andrio. Farah sedikit membelalak. "Andrio sama adik tiri lo? Serius?" "Iya, Far." "Gimana ceritanya? Kok bisa?" Alena pun mengisahkan perjumpaan dirinya dan Andrio pertama kali di rumah Alyssa. "Lo sendiri gimana, Al?" tanya Farah akhirnya setelah Alena selesai bercerita. "Lo udah move on dari Andrio 'kan? Lo nggak sakit hati 'kan?" Farah terlihat cemas. Alena terdiam. Tentu dia tak ingin sahabatnya itu tahu bahwa dirinya masih mencintai Andrio. Hingga akhirnya Alena hanya menggeleng. "Yakin?" Far
Alena baru saja habis mandi. Rambut basah gadis itu di gulung dengan handuk hingga kepalanya terlihat sedikit tinggi. Sore-sore begini setelah selesai membersihkan diri, Alena duduk-duduk di sofa ruang televisi. Gadis itu termenung memikirkan nasibnya. Perkataan Farah tadi mengganggu pikirannya. Terutama tentang keinginannya untuk kuliah dan tentang masa depannya. Untuk saat ini mungkin dia bisa tinggal di sini, Mbah Nani juga memperlakukannya sangat baik. Namun, mau sampai kapan dia tinggal di sini? Dia tak mungkin terus-terusan merepotkan Mbah Nani meskipun orang tua itu baik. Biar bagaimana pun Mbah Nani adalah orang lain. "Alena." Suara Mbah Nani membuyarkan lamunannya dan membuatnya menoleh ke sumber suara. Mbah Nani duduk di sampingnya. "Eh, Mbah." Alena tersenyum. "Mbah nggak jaga warteg? Emm maaf Mbah aku nggak bisa bantuin--" "Mbah baru saja tutup." Mbah tersenyum tenang. "Kenapa, Mbah? Tumben tutup awal?" "Alhamdulillah, hari ini jualan Mbah lebih laris dari biasanya.
"Ayo, dong, Alena nambah lagi, habisin aja spaghettinya," suruh Alyssa saat dilihatnya spaghetti di mangkok Alena tinggal sedikit. Alena yang tengah sibuk makan, menggeleng. "Kenyang gue." Seperti biasa, kedua gadis itu makan spaghetti buatan Alyssa di teras samping. Setelah beberapa hari disibukkan dengan tugas, Alyssa baru dapat mengajak Alena main ke rumahnya lagi sekarang, tapi dia tak mengajak Andrio. Dan Alena sendiri mensyukuri hal itu. Jujur, dia merasa tidak nyaman jika harus bertemu lelaki itu di sini. Dan dia juga tidak jadi mengajak Farah seperti rencana sebelumnya karena waktunya bentrok dengan kesibukan sahabatnya itu. "Dikit-dikit kenyang, gimana, sih? Pantasan aja badan lo kurus," celetuk Alyssa. Sebenarnya Alena tidak begitu kurus. Hanya saja jika dibanding Alyssa, Alena tampak kurus. "Gue juga nggak terlalu suka spaghetti," "Oh iya? Pantasan. Lo nggak pernah makan spaghetti?" Alyssa menatap Alena tak percaya. Alena menggeleng. "Biasanya lo makan apa aja?" "Sel
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu