Ikuti terus kisah Alena & Alyssa, ya? Jangan bosan2. Kalau kalian suka cerita ini komen, dong. Kalian suka adegan di bab berapa? Kalian suka karakter siapa?
Beberapa hari kemudian .... Sepulang dari kantor, Alena langsung mandi sore dan bersiap-siap. Gadis itu sudah rapi mengenakan kaos ketat putih yang ditimpa outer motif bunga-bunga berwarna denim serta celana kain warna senada dengan outer. Sore ini dia akan main-main ke rumah Alyssa seperti yang diminta gadis itu tempo hari. Sebelum pergi Alena termenung duduk di tepi ranjang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia mengingat hal-hal yang dia lakukan akhir-akhir ini. Dia mengirim teror ke rumah keluarga Bagaskara, mengikuti Alyssa sampai ke club malam hanya untuk mengetahui gadis itu lebih dalam. Memanfaatkan kebaikan gadis itu untuk balas dendam secara halus seperti yang telah dia rencanakan. Apakah itu berlebihan? Dia rasa tidak. Apakah dia kejam? Bagi Alena apa yang dia lakukan ini belum ada apa-apanya dibanding apa yang sudah Rista lakukan terhadap ibunya dulu. Dan sekarang, rencana terakhirnya adalah ... menghancurkan Alyssa. Karena Alyssa adalah anak satu-satu mereka dan
"Cari siapa, Neng?" Rupanya satpam penjaga gerbang sudah menyadari kedatangannya. Alena menatap satpam itu di antara terali pagar. "Saya temannya Alyssa di suruh datang ke sini sama Alyssa," jawab Alena. Lagi-lagi gadis itu berbohong. "Oh, temannya Non Alyssa? Tapi Non Alyssa-nya lagi keluar. Mungkin sebentar lagi pulang." "Iya, saya tahu. Dan saya disuruh menunggu di dalam. Bisa bukain pagarnya?" Alena tersenyum. "Siap." Satpam itu pun membuka pagar tinggi menjulang itu perlahan. "Terima kasih, Pak." Alena terus menatap rumah megah itu seiring dengan langkahnya mendekati rumah itu. Berada di dekat rumah sebesar itu membuat Alena merasa kecil. Alena berdecak kagum sekali lagi mengamati rumah itu dari dekat, lebih indah dari kejauhan. Ditambah halamannya yang luas, berlantai keramik sebagian, dan terdapat taman mini di samping kanannya--di taman mini itu ada kursi-kursi yang terbuat dari batang pohon besar, juga ada kolam ikannya yang terdengar berkecipak. Taman itu terasa sejuk d
Alena mengangguk cepat sebelum Bagas menjawab. Sepersekian detik Alena bisa melihat ketegangan dalam wajah Rista. Wanita itu tampak terkejut dengan kehadirannya. Wanita itu juga terlihat tidak suka dengan kedatangannya, tapi dia berusaha menutupinya dan terlihat baik-baik saja. "Oh, sama siapa kamu ke sini?" Rista bersidekap memperhatikan Alena dari atas sampai bawah. "S-sendiri," jawab Alena singkat. Alena ingin mengatakan kalau dia sudah bertemu Alyssa dan Alyssa yang memintanya datang ke mari, tapi entah kenapa lidahnya mendadak kelu untuk bicara panjang lebar. Berhadapan dengan dua orang dewasa yang selama ini menjadi incarannya membuatnya gugup. "Tahu rumah ini dari mana?" tanya Rista lagi. "Dari Alyssa, Nek," jawab Alena. "Dari Alyssa?" "Iya, kemarin Alyssa--" "Eh, Mami, Papi, lagi ada tamu?" Ketiga orang yang berdiri di teras itu menoleh ke sumber suara. Seorang gadis mengenakan kaos ketat panjang dan celana jins terlihat menaiki tangga sebelum akhirnya mencapai teras.
"Alena." Alena sedikit terperanjat menyadari Bagaskara sudah berdiri di hadapannya. Pria itu menatapnya heran. "Kamu kenapa?" Pertanyaan itu justru membuat Alena bingung. Memangnya dirinya terlihat tidak baik-baik saja? Sepersekian detik Alena merasakan jempol pria itu mengusap pipinya. "Kamu kenapa nangis?" Alena langsung teringat kalau tadi dirinya sempat menangis dan mengusap kedua pipinya dengan tangan cepat, membersihkan sisa-sisa air matanya. Alena memaksakan senyum. "Nggak pa-pa, kok, Kek." Alena menatap pria itu yang merupakan ayahnya. Aneh rasanya dia memanggil pria itu 'Kakek' sedangkan dia tahu bahwa pria itu adalah ayahnya. "Ma-maaf a-aku jadi berdiri di sini, aku nggak bermaksud, a-aku--" "Nggak pa-pa," jawab Bagas tersenyum tenang. "Boleh duduk dulu? Ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu." Alena mengernyit menatap pria itu. Ayahnya mau bicara apa? Apakah ingin melanjutkan pembahasan tentang dia yang menjadi Cleaning Service tadi? Apakah pria itu ingin memecatnya?
Alena menatap pepohonan di tepi jalan raya perkotaan yang seperti berlarian melalui kaca jendela mobil taksi yang dia tumpangi. Ya, gadis itu akhirnya pulang menggunakan taksi. Sebenarnya tadi Alyssa ingin mengantarnya pulang, tapi Rista melarangnya dan memesankan taksi online saja. Bahkan sempat terjadi perdebatan sebelumnya. Alena masih ingat jelas bagaimana Rista memarahi Alyssa. "Biar aku aja, Mi yang antar Alena pulang," tawar Alyssa waktu maminya mengatakan kalau Alena sudah mau pulang. "Nggak usah. Sebaiknya Alena naik taksi online saja. Biar Mami pesankan," larang Rista. Alyssa menghela napas. "Biar aku aja, Mi. Lagian masih ada banyak hal yang mau aku omongin ke Alena. Kita 'kan udah lama nggak ketemu. Pengin lepas kangen, Mi." "Mami bilang jangan, ya, jangan, Alyssa!" Rista membentak membuat Alyssa dan Alena sedikit tersentak. Alyssa langsung terdiam. "Kenapa, sih, nggak dengerin Mami? Sejak kapan kamu jadi pembangkang? Biarin Mami yang panggilin taksi, Mami yang bayar
"Alena, keluar yuk, Nak. Ada Kakek Bagaskara datang." Waktu itu Alena sedang duduk di ruang tengah sambil main masak-masakan menggunakan peralatan mainan ketika tiba-tiba Leyla menghampirinya, mengabarkan Kakek Bagas datang. Alena hanya menatap ibunya tanpa mau berdiri dan keluar seperti yang ibunya suruh. Tak lama kemudian, Alena melihat Kakek Bagas sudah berdiri di ambang pintu ruang tengah. Alena tersenyum menatap pria itu. Leyla pun menoleh dan baru menyadari Bagas malah masuk ke dalam. "Tuh 'kan malah Kakek Bagas yang ke sini." Leyla jadi merasa tak nyaman. "Nggak pa-pa." Bagas menunduk menatap Alena yang sedang bermain. Peralatan memasak mainannya terlihat berserakan di sekitarnya. Lalu pria itu berjongkok. "Alena lagi main apa?" "Main masak-masakan," jawab Alena pelan dan malu-malu. Gadis berusia lima tahun itu bahkan tidak menatap Bagas dan malah sibuk dengan mainannya. Bagas tersenyum. "Alena sudah makan?" Alena menggeleng sambil menunduk. "Nih, Kakek bawain sesuatu bu
Rista merenung di kamarnya, memikirkan kejadian hari ini. Semuanya berasa seperti mimpi. Teringat dulu bagaimana dia berupaya menjauhkan Alena dari keluarganya sampai dia mengajak suaminya pindah ke Jakarta. Suaminya juga telah berjanji tidak akan menghubungi atau mengunjungi Alena dan ibunya lagi. Namun, hari ini tiba-tiba Alena datang sendiri ke rumahnya. Dan lebih membuatnya kesal itu semua karena Alyssa, anaknya sendiri. Belum lagi Alena sekarang bekerja menjadi Cleaning Service di kantor Bagas. Kebetulan macam apa itu? Pikiran Rista langsung buyar ketika mendengar suara pintu kamar dibuka. Dia yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. "Rista!" Bagas masuk dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Rista mengernyit melihat gelagat Bagas yang tak biasa. Perasaannya mulai tak nyaman. "Ngapain kamu marahin Alyssa sampai segitunya buat nggak dekat-dekat Alena?" "A-aku nggak marahin, aku cuman--" "Alyssa yang bilang ke aku kamu melarang dia buat ngantar Alena pulang. Kamu juga
"Kamu itu benar-benar nggak punya malu, ya, Leyla, hmm, urat malu kamu udah putus? Ngapain kamu ngumbar-ngumbar aib sendiri? Menceritakan ke orang-orang tentang kehamilanmu buat apa? Minta dikasihani? Minta pembelaan?" Rista marah ke Leyla waktu tahu keponakannya itu menceritakan tentang kehamilannya pada sanak keluarga seolah sengaja mengumbar aib sendiri. Padahal Leyla melakukan itu semua hanya ingin mendapat keadilan. Dia takut kalau Bagas tak mau bertanggungjawab dan dia berharap keluarganya membelanya. Belum lagi Rista yang sempat tidak percaya kalau Bagas yang menghamilinya dan malah menuduhnya hamil dengan pria lain. Rista juga mengatakan kalau itu hanya akal-akalan Leyla untuk bisa memiliki Bagas karena Bagas merupakan pria kaya raya. Padahal itu tidak benar. Leyla hanya berusaha meluruskan kebenaran dengan meyakinkan orang-orang kalau itu memang hasil perbuatan Bagas, bukan lelaki lain. Rista juga sempat marah besar ketika Leyla mengatakan kalau dia dan Bagas saling mencint
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu