"Cari tahu siapa orang yang mengirim pesan itu padaku, Luke."Alana terbangun karena mendengar suara Ethan. Matanya langsung mencari-cari sumber suara tersebutâmenemukan Ethan berdiri menghadap balkon kamar, hanya mengenakan celana panjang dari piyama. Alana meneguk saliva secara susah payah, menatap punggung Ethan yang terlihat lebar dan kokoh. Wow! Punggung pria ini saja sangat tampan dan menggoda. Ditambah ada bekas cakaran dekat pundakâpunggung atas sebelah kanan, Alana merasa tubuh suaminya yang berbentuk keripik segitiga tersebut semakin terlihat sangat seksi dan panas. Pagi-pagi sarapan?! Tidak! Pagi-pagi Alana ngemil punggung lebar sang suami. Cuci mata yang sangat indah dan teramat berfaedah. Senyuman Alana pudar, memicingkan mata melihat bekas cakaran di punggung suaminya. Alana langsung menatap kuku sendiri, langsung panik karena sepertinya itu ulah Alana. Di-dia yang mencakar Ethan tadi malam! Alana langsung membalik tubuh, memilih membelakangi Ethan. Astaga! Bagaiman
Hari ini Alana shooting kembali. Seperti biasa, Ethan mengantarnya ke lokasi shooting dan berjanji akan datang saat jam makan siang. Hal yang Alana syukuri dari Ethan, pria itu tidak lama-lama marah. Tadi malam pria itu menghukumnya, dan saat sarapan mereka kembali baikan. Pria itu kembali perhatian dan bersikap lembut padanya. Ethan benar-benar tipe suami idaman bagi Alana. Marah sebentar dan sangat hangat! E-eh, maksud Alana, dia suka pria yang marah hanya sebentar. Ah, sudahlah. Ethan memang tipenya, kalau saja pria itu bukan bagian dari Azam. Saat siang, Alana masih shooting untuk melakukan adegan aksi. Cukup memakan waktu karena adegan tersebut sedikit berbahaya dan harus berhati-hati. Sama seperti Alana, Abizar juga masih sibuk. Abizar sangat menggemaskan dan tampan saat melakonkan perannya. Warna rambut yang putih, cocok pada Abizar. Sikapnya juga jauh berbeda ketika memerankan peran di anak rambut putihâdia terlihat tenang dan cool, berbeda dengan aslinya yang sangat pec
"Untukku mana?" tanya Alana pelan, menatap berang bercampur sebal pada Ethan. Dia juga menatap sinis pada Abizar. 'Kemarin uang jajanku yang dia rampok, sekarang air minumku. Dasar!' batin Alana, memperhatikan Abizar yang sedang enak-enak minum. Ethan tak menjawab, tetapi menoleh ke arah Hendruâisyarat agar Alana meminta minum pada pria itu saja. "Oke, Kak, oke. Cukup tahu!" sebal Alana, menghentakkan kaki lalu beranjak dari sana. Namun, Ethan langsung menyeru. Dia yang menyuruh dia yang panik. "Kau mau kemana?" tanya Ethan cepat, menurunkan Abizar dari pangkuannya kemudian menarik Alana untuk duduk. "Kee mee kemene!" nyinyir Alana sangat pelan, saking kesalnya dengan Ethan yang tak memberinya air minum. 'Panik kan kamu?!' batin Alana, menatap berang dan cemberut pada Ethan. Pria ini menyuruhnya meminta air minum pada Hendru, tetapi giliran Alana melangkahâpadahal baru satu langkah, pria ini langsung ketar ketir. "Aku mau minta minum ke Pak Rico," sebal Alana. Diam-diam Luk
Alana mengamati Ethan yang menarik tisu. Entah kenapa hati Alana gelisah dan tak enak. Padahalâ bukankah wajar jika Ethan mengambilkan tisu pada Tia? Tisu ada di dekat Ethan, dan Tia ketumpahan air minum. Namun, tetap saja hati Alana nyut-nyutan. Tu-tunggu! Dia sedang tak cemburu kan? "Terimakasih--" Melihat Ethan mengambil tisu, Tia segera mengulurkan tangan untuk menerima tusi dari Ethan. Dia juga berniat berterima kasih. Akan tetapi âĶ-"Lap lengan bajumu, Alana," ucap Ethan, menyerahkan tisu pada istrinya. Dengan bingung dan kikuk, Alana menerima tisu pemberian Ethan. Bibirnya yang awalnya melengkung tipis ke bawah, perlahan melengkung ke atas. Akan tetapi Alana buru-buru menahan diri untuk tak tersenyum. Dia tidak boleh, bisa-bisa Ethan melihat lalu kepedean lagi. "U-untuk apa?" Alana mengangkat tisu, bertanya pada Ethan apa gunanya pria itu memberikannya tisu. Bukankah yang terkena tumpahan itu Tia? Ethan tak menjawab akan tetapi menatap ke arah lengan baju istrinya. Hal te
"Tia, kamu belum pulang?" tanya Alana pada managernya tersebut. Tia menatap Alana lalu menggelengkan kepala, "aku sudah empat kali memesan taksi, tetapi supirnya selalu menolak, Princess. Hari ini aku nggak bawa mobil karena âĶ mobilku rusak, sedang diperbaiki di bengkel." "Ouh." Alana ber oh ria, "kalau begitu ikut pulang denganku saja." "Ummm âĶ yaudah, Princess. Tapi âĶ nanti aku turun dihotel saja yah. Soalnya ini sudah kemalaman," ucap Tia. Alana menaikkan kedua alis karena kurang setuju Tia menginap di hotel. Ini memang sudah sangat malam, dan baru-baru ini Tia pindah di sebuah kos-kosanâsupaya lebih dekat ke lokasi shooting. Namun, kekurangan dari kos tersebut adalah menberlakukan jam malam. Di mana pagar kos akan ditutup tepat di jam 11 malam. Jika ada yang masih di luar di jam seperti itu, maka dia harus terima resiko. Kos tersebut kos yang dihuni oleh para mahasiswa, boleh untuk yang bekerja. Tetapi karena kebanyakan mahasiswa, maka diberlakukan jam malam supaya anak-ana
"Ini kamar kamu yah, Tia," ucap Alana, tersenyum manis pada Tia pada akhir kalimat. Tia menganggukkan kepala lalu tersenyum tipis pada Alana, "terimakasih, Princess. Kalau begitu, aku istirahat dulu yah.""Oke." Alana menganggukkan kepala kemudian segera beranjak dari sana. Sedangkan Tia, dia masuk dalam kamar dan langsung membaringkan tubuh di atas ranjang. Tia langsung menghubungi seseorang dan memarahinya. "Seharusnya tadi kamu datang menjemput Alana. Suaminya terlambat dan itu kesempatanmu untuk terlihat lebih gentleman daripada suaminya. Ck, kamu sangat payah." Tia mengomeli orang tersebut. 'Aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan. Dan âĶ kau yakin aku bersaing dengan Ethan Abbas Azam? Dia seorang Azam. Aku bisa mati jika macam-macam dengannya. Atau jangan-jangan kau hanya menjebakku yah.' Tia melihat pelipis. "Dasar bodoh! Memangnya kenapa jika suami Alana adalah Ethan Abbas Azam?! Kenapa harus takut?! Alana tidak mencintai Tuan Ethan dan âĶ mereka menikah karena keterp
Setelah selesai membersihkan tubuhnya dan sudah mengenakan piyama, Alana berniat untuk tidur. Hari ini sangat melelahkan, Alana butuh istirahat. "Kau sudah mengantuk?" tanya Ethan, datang dari arah balkon kamar. Dia menutup pintu balkon dan merapikan sedikit gorden. Alana yang sudah menutup mata, kembali membuka mata, "iya, Kak Ethan. Aku sangat mengantuk," ucap Alana berat, menatap Ethan dengan kelopak mata yang terasa sulit diangkat. Ethan mendekat pada Alana, kemudian duduk di sebelah istrinya berbaring. "Humm. Tidurlah," ucap Ethan lembut, mengusap rambut Alana dengan penuh kasih sayang. "Kak Ethan ingin sesuatu yah?" tanya Alana, mendongak pada suaminyaâmenatap pria itu berat dan kantuk. Dia bisa saja langsung tidur, akan tetapi dia kepikiran. Tidak mungkin Ethan bertanya padanya apakah sudah mengantuk atau tidak jika pria ini tak ingin sesuatu bukan? "Aku menginginkanmu," ucap Ethan tiba-tiba. Mata Alana seketika lebar, kantuknya langsung hilang karena efek debaran ja
Uhuk' uhuk' uhuk' Mendengar ucapan suaminya, Alana seketika terbatuk-batuk. Alisnya mengerut dan tatapannya berang pada Ethan. "Kenapa?" Ethan menaikkan sebelah alis, menatap Alana dengan smrik tipis di bibir, "kau dan aku sudah seharusnya memiliki anak bukan?" ucap Ethan, berniat bercanda untuk sekadar menggoda istrinya. Alana menggembungkan pipi, tak menjawab apa-apa dan hanya menatap cemberut pada Ethan. Dia ingin bilang kalau dia tak mau punya anak, akan tetapi dia takut Ethan tersinggung. Membahas anak, kadang menyenangkan tetapi kadang sensitif. Harus berhati-hati. "Umm âĶ Alana, kamu nggak mau punya anak kan?" Tiba-tiba Tia menyeru, membuat Alana menoleh panik pada Tia. Mata Alana melebar dan melototi Tia, memberi isyarat agar Tia menjaga mulutnya. Meski Ethan terlihat bercanda, tetapi seperti yang Alana katakan, membahas anak itu hal yang sensitif. "Hah? Benar kan Princess tak ingin punya anak? Waktu itu Princess bilang padaku kalau princess tak ingin punya anak karena P
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamarâmenyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepalaâsetuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasaâtak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan âĶ harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannyaâa
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduliâtetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maidâada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia âĶ memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda âĶ- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi âĶ kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-maluâmengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi âĶ Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelasâhanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub