Semoga suka, MyRe. Dukung terus yah, novel kita ini ... Sehat selalu untuk kalian semua dan semangat.
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
"Tidak apa-apa. Itu hak Kak Ethan," jawab Alana santai, diakhiri sebuah senyuman manis pada Ethan. Ekspresi Ethan langsung berubah dingin, kembali fokus pada jalana. Namun, dia kembali bersuara. "Aku memang ingin menikahi perempuan lain dalam waktu dekat," ucap Ethan, "baguslah jika kau tidak keberatan," lanjutnya. Alana mendongak kembali pada Ethan, lagi-lagi memperlihatkan senyuman manis. Setelah percakapan itu, sepanjang jalan, Alana dan Ethan hanya saling mendiami. Alana diam-diam melirik Ethan, jantungnya berdebar kencang dan dadanya bergemuruh hebat. Ethan ingin menikahi perempuan lain? Bukankah seharusnya Alana senang? Tetapi kenapa dia … kesal. 'Ck, ini bagus dong. Jika Kak Ethan menikah dengan orang lain, maka aku dan dia tidak akan dijodoh-jodohin lagi sama keluarga kami. Syukurlah kalau begitu,' batin Alana, mencoba menyingkirkan perasaan tak enak setelah mendengar penuturan Ethan. Tidak mungkin pria ini akan menikah! Akhirnya Alana sampai di rumah. Dia turun
Saat ini Alana sedang menahan senyuman, tetapi sebisa mungkin dia membalikkan ekspresi muka datar. Sekarang dia berada di kediaman utama keluarga Azam, berkumpul di sana karena pengantin Ethan melarikan diri. Yah, Alana senang karena perempuan yang dinikahi oleh Ethan memilih kabur. Dengan begitu, bukankah Ethan tidak akan menikah?! Namun, kasihan juga Ethan dan keluarganya. Ethan terlihat tertekan dan frustasi, sedangkan otangtua Ethan terlihat menyedihkan. 'Alah, bodo amat. Yang terpenting Kak Ethan tidak jadi menikah. Hehehe ….' batin Alana, tiba-tiba menutup mulut karena dia tidak bisa mencegah dirinya untuk tak tersenyum. Katakan Alana jahat, tetapi …- Alana bahagia diatas penderitaan Ethan. "Alana, kenapa kamu--" Kanza mengamati Alana secara teliti, tetapi karena suaranya cukup kencang akhirnya semua orang ikut menatap ke arah Alana. Bahkan Ethan pun menatap ke arah Alana, "kamu senyum senyum yah?"Alana melototkan mata kepada Kanza, wajahnya sudah tegang dan konyol. 'Adi m
Pada akhirnya Alana bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Ethan. Perasaan Alana sangat bercampur aduk, dia merasakan sedih yang mendalam hingga tak dapat membendung air mata ketika daddynya menikahkannya dengan Ethan. Ijab kabul terlaksana dengan sakral, memberikan kesan yang dalam di hati dan membentuk emosional yang luar biasa. Setelah melewati moment itu, Alana sejenak merasakan ketakutan. Sekarang dia bukan lagi milik mommy dan daddynya, bagaimana jika dia sewaktu-waktu merindukan keduanya? Bagaimana jika Alana tak bisa nyaman tinggal bersama pria yang menikahinya? Namun, perasaan itu berganti menjadi debaran dahsyat saat dia diminta menyalam tangan pria yang telah dah menjadi suaminya. Lalu ketika Ethan mencium keningnya, Alana merasa jantungnya berhenti persekian detik. Hatinya … berbunga-bunga tetapi-- ada perasaan gugup yang menyelimuti. Setelah melewati acara demi acara, akhirnya Ethan membawa Alana ke rumah yang akan menjadi tempat tinggal baru untuk Alana. Alana
Alana kira Ethan hanya sekedar menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, akan tetapi pria itu melumat bibirnya dengan penuh hasrat dan gairah. Jantung Alana sungguh tak sanggup dengan semua ini. Dia berniat menghentikan Ethan tetapi dia takut. Alana dalam kebimbangan yang menyesatkan! Untungnya tak lama Ethan melepas pangutan bibir keduanya. Ethan lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis padanya, mengulurkan tangan untuk membersihkan sisa pergulatan keduanya pada bibir Alana. "Lipstik mu bagus juga, Alana," ucap Ethan tiba-tiba. Alana yang canggung tak menjawab, tetapi dia buru-buru menghadap cermin untuk memeriksa kondisi lipstiknya. 'Ga-ganas banget! Lipstik se stay ini-- bisa geser dibuat sama dia?!' batin Alana, menatap bibirnya dengan muka kaget. Bagaimana tidak?! Dia tahu jenis lipstik yang dipakai di bibirnya dan produk tersebut terkenal anti geser, super stay, tahan lama, dan super awet. Namun, di hadapan Ethan, lipstik ini sama sekali tak ada harga dirinya. Lipstik tersebut
"Selamat siang, Wife," sapa Ethan lembut, setelah berada di depan Alana. Alana buru-buru meraih bantal kemudian menjadikan bantal untuk menutupi tubuhnya. Dia memang mengenakan dress tidur, akan tetapi dia kurang nyaman karena bagian pundak yang terbuka. Intinya, Alana masih malu-malu dihadapan Ethan. "Kak, ini masih pagi," jawab Alana cuek, menoleh ke sana kemari untuk melihat jam. Melihat cahaya yang menembus dari cela gorden, Alana bisa pastikan hari sudah sangat terang. Namun, bukankah kadang pagi bisa sangat cerah?! Ethan menoleh ke arah nakas, isyarat supaya Alana menatap ke sana. Alana dengan kikuk menatap ke arah yang Ethan tatap, di sana terdapat jam yang menunjukkan …- 'Ja-jam dua belas kurang lima belas menit? OMG!!' batin Alana, melototkan mata karena hari memang sudah siang. "Ingin mandi atau makan?" tanya Ethan. Alana kembali menatap Ethan, memeluk erat bantal di depan tubuh. Pria ini sepertinya belum mandi, terlihat dari piyama yang Ethan kenakan. Tetapi ke
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub