Rosa berjalan dengan ringan menuju ruang kelasnya. Ia merasa amat bahagia. Setidaknya, ada hal menyenangkan yang akan ia lakukan siang nanti.
Di depan fakultas pertanian, Esa Sandjaya sudah berdiri sendirian bersandar pada tembok menunggu Rosa. Ia langsung berdiri tegak dan merapikan kaus yang dikenakannya.
"Hai, gimana nyenyak tidurnya?" tanya Esa, ia membatin, "Aaah, pertanyaan macam apa itu?"
"Nyenyak, kok, Bang. Kenapa?" sahut Rosa, kebingungan.
"He-he-he. Pantes segeran," jawab Esa, asal.
Rosa tersenyum malu-malu. Antara mau, tetapi was-was saat ia menerima ajakan Esa. Entah apa yang akan diutarakan pria dari Jakarta itu, ia akan menunggu dengan debaran jantung yang tak biasa.
"Jadi, kan, makan siang bareng?" tanya Esa, penuh harap.
"Iya, biar aku kuliah dululah, Bang. Kau tunggu aku di sini nanti siang, ya!"
Esa mengangguk dengan mata berbinar. Bagai anak kecil yang diiming-imingi permen. Harapannya melambung tinggi, ia tak boleh melewatkan kesempatan emas itu.
***
Siang hari, Rosa keluar dari kelasnya. Ia melihat Esa telah menunggunya di koridor. "Lama nunggunya, Bang?"
"Eh, enggak baru datang tadi. Ayo, mau makan di mana?" tanya Esa, salah tingkah. Sedikit berbohong agar ia tidak kelihatan berharap sekali. Padahal sudah nyaris satu jam ia menunggu.
Rosa tersenyum dan berjalan beriringan bersama menuju jalan raya. Esa mengajaknya makan siang di McD, makanan favorit Rosa selama di Bandung. Bukannya di Berastagi tidak ada, tetapi mamaknya tak mengizinkan ia untuk memakan makanan tersebut.
"Gimana dengan kuliahnya tadi?" tanya Esa, berbasa-basi. Ia bingung untuk memulai pembicaraan, seringnya mereka membicarakan tentang fotografi.
"Tadi? Membosankan, Bang. Tak tau aku, kalau ada pelajaran si Bapak itu, ngantuk kali, nyah," keluh Rosa sembari mengambil satu kentang goreng miliknya.
"Iya, dosen filsafat semua seperti itu. Lagian jurusan pertanian buat apa ada pelajaran filsafat, ya?" tanya Esa, terheran-heran.
Rosa mengangkat kedua bahunya. Ia hanya mengikuti mata kuliah yang memang wajib diambil. Tak terlalu peduli apakah ia memiliki nilai yang baik atau tidak. Mata kuliah itu membuatnya frustrasi.
"Jurusan Abang juga ada mata kuliah itu?" tanya Rosa, agak kepo.
"Ada, tapi nilainya jelek. He-he-he."
Rosa tertawa mendengar jawaban jujur dari Esa. Pemuda berambut gondrong itu tak banyak berubah. Ia selalu membuatnya tertawa. Selalu memancarkan kebahagiaan dan rasa nyaman ketika di dekatnya.
"Abang gak aktif lagi di ukema?" tanya Rosa sembari menghabiskan sisa kentang gorengnya.
"Sesekali mungkin datang buat support kalian, tapi aku harus cari kerja, kan?" sahut Esa dengan wajah jahilnya.
Rosa mengerutkan kening dan bertanya, "Loh, kenapa?"
"Bapakku bilang, 'Kau lulus kuliah tak ada lagi uang saku, ya! Kerja sana!' Begitu, jadi terpaksa banget," ujar Esa, menirukan suara bapaknya sangat mirip.
Risa tergelak melihat ujaran Esa yang menurutnya sangat lucu. Belum ekspresi wajah yang ditampilkan. Esa berlagak menjadi bapaknya yang berbadan gemuk. Dengan sengaja, ia memajukan perut sehingga tampak buncit layaknya bapak-bapak.
"Mirip, Bang!" seru Rosa, tergelak hingga merasakan mulas karena banyak tertawa.
"Nah, gitu, dong. Jangan jutek-jutek nanti gak ada yang naksir! Eh, tapi ... Jangan manis-manis banget, kalau banyak yang naksir ntaran Abang cemburu!"
Mendengar ucapan Esa, wajah Rosa memerah karena malu. Hilang sudah image gadis mandiri yang dirumorkan tukang gonta-ganti pacar. Kini, ia terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta.
"Malu aku, Bang. Tak ada nyah yang naksir sama aku," ucap Rosa, mengulum bibirnya menahan senyum.
"Abang yang naksir," akunya, keceplosan. Mendadak ia terpegun dan menjadi salah tingkah.
Rosa menunduk dan tersenyum. Hatinya berbunga-bunga bagai seorang yang sedang di mabuk cinta. Ia akan dengan senang hati bila Esa memintanya menjadi kekasih.
Mereka menghabiskan makanannya dan keluar dari McD. Tak ada ungkapan perasaan atau permintaan untuk menjadi pacar dari bibir Esa, membuat Rosa sedikit kecewa. Namun, ini baru pertama kalinya mereka jalan bareng. Tentu Esa masih ingin lebih mengenalnya.
Rosa berusaha menentramkan hatinya. Ia akan menikmati masa-masa pendekatan. Berusaha mengenal Esa lebih baik lagi agar mereka dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing. Bukankah hal itu yang harus diketahui oleh pasangan?
"Kapan, kapan aku ajak keluar lagi, mau?" tanya Esa, berhenti melangkah saat tiba di depan pagar indekos mereka.
Rosa tersenyum dan mengangguk, "Kapan Abang ada waktu?"
"Entahlah, aku masih ada pekerjaan dan menunggu sidang. Kalau kamu?" tanya Esa, balik bertanya.
Rosa tersenyum. Ia memutar bola matanya, mencoba mengingat-ingat jadwal kuliah dan ukema. Hari Sabtu adalah hari yang agak kosong, tetapi Rosa mengurungkan niatnya. Akan terlihat begitu memalukan bila ia mengajukan terlebih dahulu.
Sembari menunduk, Rosa berkata, "Tungga saja nyah, pas Abang tidak sibuk."
"Okey, nanti aku wapri ke kamu, ya," timpal Esa yang disambut anggukan.
Mereka berpisah di depan pagar. Rosa menuju rumah indekos, tak sengaja ia melihat sosok lelaki bertubuh tinggi memandanginya tajam. Ia memicing agar dapat melihat dengan jelas sosok lelaki yang berdiri pada teras di indekos putra.
Rosa tak pernah bisa mengingat wajah orang lain dalam satu kali pertemuan. Ia sangat yakin pernah bertemu dengan lelaki tadi, tapi di mana sudah lupa. Tak dihiraukannya lagi sosok yang terus memperhatikan itu, ia langsung masuk ke dalam rumah.
Seharian beraktivitas membuat tubuhnya begitu lelah. Rosa berbaring di ranjang besarnya dan langsung terlelap tanpa berganti pakaian. Pukul 17.30 WIB terbangun, ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Wajah yang kucel itu terlihat semakin kusam akibat bekas air liur di pipinya.
"Ya ampun, muka aku berantakan kali!" seru Rosa, terkejut melihat penampakannya di cermin.
Rosa bergegas menyelesaikan acara mandinya. Kemudian, ia menelepon Meity untuk menemaninya mencari makan pada malam hari. Meity baru saja tiba di kamar saat Rosa menghubunginya.
"Uh, telat. Aku udah beli makan, terus langsung pulang ke kosan," ucap Meity sembari menjilati tangannya yang berlumuran cokelat dari martabak manis yang dibelinya.
Rosa mendengkus kasar. Ia tak tahu siapa lagi yang akan diajak untuk menemaninya mencari makanan. Dengan lesu, ia keluar dari indekos dan berjalan menuju jalan raya. Lelaki tinggi yang berdiri di teras tadi ada di hadapannya sekarang.
"Mau nyari makan bareng?"
Rosa tercengang. Lelaki itu adalah anak baru yang memandanginya kemarin di ukema. Ia tak menyangka akan bertemu lagi dengannya di depan indekos pula.
"Kenalin, aku Johansen Aritonang. Kamu?"
"Aritonang? Hey, pariban kita!" seru Rosa, senang. Ia meninju lengan atas Jo. Tidak bertenaga, tetapi mampu menggoyahkan tubuh Jo yang sedang tidak siap. Tubuhnya sedikit terdorong akibat tinju tadi.
"Sial! Pariban?" rutuk Jo, dalam hati.
Rosa memperkenalkan namanya kepada Jo. "Aku, Rosanna boru Jung."
Jo terkekeh-kekeh. Ia menyambut uluran tangan Rosa, kemudian berbisik, "Kita pariban dari mana?"
"Mamakku boru Aritonang!" seru Rosa, bersemangat.
Jo tertawa semakin lebar, tetapi dalam hati meringis. "Sial!"
Bersambung
Rosa dan Jo berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Mereka akan makan di tenda pinggir jalan. Pilihan jatuh pada warung lamongan dengan menu Pecel Lele. Setelah memesan, mereka makan sambil mengobrol banyak hal.Jo melontarkan guyonan yang membuat Rosa tergelak. Ia berhasil membuat Rosa merasa nyaman saat bersama. Gadis bermata lebar itu tak menyangka dapat mengobrol akrab dengan seorang lelaki selain Anjun.Sebentar bersama Jo, Rosa telah memberikan nomor ponsel dan WA-nya. Berbeda ketika mengenal Esa untuk pertama kalinya, ia begitu acuh. Ia merasa bertemu Jo seperti bertemu teman atau saudara yang telah lama tidak berjumpa. Mereka menjadi akrab satu sama lain.Di dalam indekos, Rosa menelepon mamaknya di Berastagi. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia menanyakan kabar Anjun yang tidak meneleponnya seharian itu."Abang ke mana, Mak? Tak ditelpon nyah aku seharian," ucap Rosa, keheranan."Abang kau itu sedang ke Medan. Ada
"Lo yakin? Gak mungkin Rosa kayak gitu. Selama ini cuma akal-akalan kita doang, kan?""Yakin banget!""Lagian udah lulus juga bukan halangan besar! Tinggal si Jo yang harus kita tangani. Gak ada yang boleh memiliki Rossa!"***Jo menyudahi permainannya. Ia melihat sekeliling lapangan telah kosong. Tak menyadari teman-teman setimnya telah meninggalkannya sedari tadi.Jo tidak peduli. Ia akan pulang ke indekos dan menunggu Rossa untuk kembali menguntitnya seperti yang pernah dilakukannya beberapa hari lalu. Kamar Jo dan Esa bersebelahan. Rosa salah mengenali jendela waktu itu. Mengira kalau di kamar Esa lah si penguntit berada, Rosa panik saat itu.Kamar Esa kosong. Pemuda itu harus pindah ke indekos lain karena ayahnya sudah tidak mau mengiriminya uang saku. Padahal ia belum mendapatkan pekerjaan.Jo menyeringai melihat pintu kamar yang terbuka. Tanda bahwa penghuninya telah pergi. Hal itu kesempatan baginya untuk men
Sudah seminggu berlalu. Rosa tidak melihat Esa di mana-mana, baik di kampus, Ukema, maupun sekitar Jatinangor. Ia juga tidak bisa dihubungi. Panggilannya tidak diangkat. "Kenapa rasanya seperti dipe-ha-pe nyah aku, Mei?" keluh Rosa, suatu hari saat sedang di ruang kelas. "Isssh, mungkin doi lagi sibuk. Katanya lagi cari kerja, 'kan?" "Cari kerja tapi hape tak diangkat pun," rengek Rosa, memperlihatkan ponsel canggih miliknya. Meity merangkul pundak Rosa. Ia berbisik, "Lo, tuh, cakep. Mending lo jadian aja sama yang lain. Ngapain coba nungguin Bang Esa yang gak jelas." "Hidih, mana bisa. Aku udah suka sama dia sejak awal masuk ukema tau," sanggah Rosa, mendelik marah. "Iya, deh. Bucin! Ha-ha-ha!" Meity tertawa keras. Tiba-tiba tersedak karena dosen masuk ke ruangan yang masih kosong tersebut. "Loh, pada ke mana ini?""Anu, Pak. Masih pada makan siang mungkin," sahut Meity, genit. Ternyata yang masuk merupakan dosen muda
"Kok, kayaknya seneng banget lo?" tanya Meity, kebingungan dengan sikap Rosa. Tadi di kelas mengeluh, ditinggal sebentar wajahnya sudah terlihat bunga-bunga. Namun, itu hanya khayalan Meity saja. "Iya, tadi Esa datang menemuiku," sahut Rosa, senyum-senyum sendiri. "Sejak jalan dengan Esa, lo jadi suka ketawa sendiri," ejek Meity, membuat Rosa menimpuk sahabatnya dengan kertas fotokopi yang dipegangnya. "Aku hanya merasa bahagia tak boleh?" dengkus Rosa, mendelik kesal. Meity tidak menjawab. Ia hanya mesam-mesem menggoda Rosa yang mulai salah tingkah. Sembari menyeruput minumannya, ia menatap wajah Rosa yang memerah. Rosa segera menghabiskan makan siangnya. Ia masih bersungut, "Ayo, abis ini aku mau cari tempat magang!" "Ciee, marah ...." Meity menyenggol bahu Rosa. "Mana ada nyah, Mei. Seriuslah sikit," keluh Rosa, mengambil tas ranselnya dan beranjak. Rosa berjalan mendahului Meity keluar dari kantin. Meity
"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti."Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?" Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut. "Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah."Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur." Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya. "A
"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia. "Kamu cemburu?""Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ...." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya. "Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa. Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. "Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona. Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. "Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya
Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?" "Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu. Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan." "Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–""Gadis?""Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?""Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!" Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu. Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya. "Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, terce
Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah. "Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun. "Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–""Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba. Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya. Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun. "Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil
"Baiklah. Asal kau jujur sama Abang." Anjun mengalah. Ia pun tidak tega melihat adiknya menangis hingga tergugu seperti itu. Rosa mengangguk. Ia mulai bercerita. Di mulai dari dua tahun yang lalu. Rosa telah menjalin hubungan bersama Johansen selama dua tahun. Jo berhasil merebut hati Rosa dengan perlakuan yang amat manis. Selama dua tahun itu, Jo bersikap lembut dan perhatian. Hingga malam kelulusan, Jo datang menemui Rosa. Ia mengajaknya ke villa milik ayahnya di Lembang. Di villa itulah semua berawal, Rosa menyerahkan mahkotanya yang paling berharga kepada Jo. Ia begitu yakin bahwa Jo mencintainya. Bahkan, Jo berjanji akan menikahinya setelah ia memperoleh pekerjaan tetap. Setelah acara wisuda, ia merasa malu kepada ayah dan ibunya. Bahkan, tidak berani menatap wajah abangnnya. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk bekerja selama dua tahun sebagai pengalaman. Sebenarnya, Rosa hanya beralasan saja. Ia malu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Jika mereka sampai mengetahui k
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
udah jelas bagi Jo bahwa Rosa memiliki abang yang superior. Kehidupan Rosa banyak diatur oleh abangnya tersebut. Ia harus bisa menggantikan peran abang Rosa yang memiliki sifat berkebalikan dengannya. Hal tersebut akan memudahkannya untuk mendekati Rosa. Jo tidak peduli meskipun ia harus merebut Rosa dari Esa. Rosa merupakan mangsa yang besar. Ia akan memperoleh banyak keuntungan. Mereka tiba di kafe strawberi. Rosa turun dari mobil sport. Terlihat Angga sedang memperhatikan Rosa yang berjalan menuju perkebunan. Jo menyeringai, kemudian berbalik masuk ke mobil. Ia memutar balik kemudi untuk keluar dari area parkir kafe. Melaju dengan kecepatan sedang, ia mengendarai mobil ke arah Jakarta. Lewat tol Pasteur. Jo memang biasa menyetir mobil sendiri untuk pulang ke Jakarta. Ia akan menanyakan kepada ayahnya tentang hubungan kekerabatan dalam marga. Keinginannya untuk memiliki Rosa amat besar. Ia tidak peduli lagi tentang adat. *** "S
Rosa menutupi kamera ponselnya. Ia benar-benar sangat malu karena telah mengatakan isi hatinya. Esa terkekeh-kekeh. "Jangan ditutupi! Hilangkan cantiknya." Esa semakin senang menggoda Rosa. "Abang, nih, malu tau!""Gak usah malu. Sering cemburu aku rela, kok.""Taklah, sana kerja lagi. Aku ngantuk!" Esa tersenyum geli. Gadis Batak itu marah karena terlalu malu. Wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus. "Iya, Sayang. Met istirahat. Nice dream," ucap Anan sembari mengecup layar ponselnya. Tingkahnya terlihat oleh Susan. Ia berteriak, "Kau ngapain cium-cium ponsel, hah!" "Uups! Eh, Kak Susan." Esa memperlihatkan giginya yang putih. Esa merasa jengah karena ketahuan sedang menciumi ponsel miliknya. Mesam-mesem saking terlalu malu. Susan berkacak pinggang memelototinya. "Awas hati-hati kau, ya, nanti kulapor ke Bang Anjun!""Calm down, Kak. Aku gak ngapa-ngapain, kok." Esa jelas ketakutan kalau sudah di
"Entahlah, aneh kali kulihat, dia yang suruh kita memperhatikan, 'kan?""Betul! Eh, lo perhatiin doi?""Iya, kenapa pulak?""Pantesan." Meity melengos. Ia segera mengemasi barang-barang miliknya ke dalam tas bahu berwarna pink. Rosa mengernyit kebingungan. Ia mengikuti langkah Meity di belakang menuju ke kantin. Tiba di kantin, Rosa melihat Jo tengah duduk bersama Felix dan teman-temannya. Ia segera menarik lengan Meity dan mengajak keluar kampus. "Aku traktir ke kafe, yuk," ajak Rosa, tidak menghiraukan protes Meity. "Gue lapar, Ros. Lom sarapan!" pekik Meity, tubuh mungilnya terseret. "Aku traktir apa aja yang kau mau," sahut Rosa, mempercepat langkahnya. Meity tersenyum senang. Ia langsung menyejajarkan langkah cepat Rosa. Meskipun agak tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah, Meity berhasil menyusul. Mereka keluar dari kawasan kampus Unpad menuju kafe. Tidak jauh memang, sekitar 500 meteran. Mereka