Tak terasa sudah seminggu berlalu mereka menghabiskan waktu berbulan madu. Menikmati waktu intim berdua merupakan suatu hal yang bermakna dan kini waktunya mereka untuk kembali ke Jakarta setelah kurang lebih satu minggu berada di pulau Dewata.Beberapa oleh-oleh khas Bali sudah memenuhi satu tas ransel, sedang dimasukkan oleh kedua tangan Reanna. Buah tangan khusus yang mereka berikan untuk putri tercinta pula orang-orang di rumah. Ada berbagai baju, pie khas Bali, dan berbagai macam pernak-pernik yang hanya akan di temui di pulau itu."Apakah segini akan cukup?" kepala dengan rambut hitam tergerai panjang itu menoleh pada presensi Sang suami yang sedang duduk di sofa, sedang menikmati secangkir kopi. Asap tipis tampak mengepul pertanda bahwa kopi itu manis panas."Itu semua sudah lebih dari cukup, Sayang." Nathan menjawab setelah menyesap minumannya, memberikan senyuman yang selalu tampak menawan nan menenangkan. Namun, tatapan Reanna kembali pada oleh-oleh yang masih terhampar di
Langkah kaki panjang itu terdengar bergema di antara keheningan pagi yang baru saja menyapa. Reanna memutar kepalanya, melihat seseorang yang semakin mendekat ke arah ia dan Kia. Dan senyuman manisnya terbit begitu saja kala pandangan mereka saling berjumpa. Pria bersurai pirang yang kini dipangkas cepak itu sudah terlihat begitu rapi dengan kemeja hitamnya pagi ini. Nathan memotong rambutnya tadi malam, setelah kepulangan mereka dari bulan madu di Bali. Potongan rambut yang sejujurnya tak begitu Reanna sukai, sebab ia tak akan bisa lagi menjambaknya ketika mereka bermain kuda-kudaan di ranjang. Hal yang menjadi kebiasaannya ketika memadu cinta bersama pria itu.Astaga, bisa-bisanya Reanna mengingat hal tersebut di pagi-pagi begini!Wanita itu sedikit terkekeh melihat suaminya. Kemeja hitam dan putih hampir setiap hari pria itu kenakan. Ia tak habis pikir, suaminya sering sekali memakai baju berwarna Hitam—atau jika tidak, pasti warna putih. Sehingga jika ada yang tidak tahu, mungkin
"Sepertinya kamu mengalami kenaikan berat badan, Rea. Kamu terlihat lebih berisi daripada sebelumnya." Tisha mendudukkan dirinya di sisi sang sahabat ketika berucap begitu. Berbagai jenis bunga bergelar di hadapan mereka. Ah, mereka memang sedang mengerjakan beberapa pesanan pagi ini.Atas ucapan Tisha, Reanna mengalihkan tatapannya pada sekuntum bunga mawar di tangannya pada wajah sang sahabat yang menatap intens padanya. "Aku gendutan, ya?""B-bukan begitu." Tisha berujar panik. Ia takut jika Reanna tersinggung dengan kata-kata yang baru saja ia lontarkan padanya meskipun ia tidak bermaksud demikian. Ia memutar otaknya, mencoba memilih kata yang lebih bisa diterima. "Maksudku, kamu terlihat ... lebih bahagia. Begitu, Re," ucapnya kemudian dengan tawa kaku di akhir kata.Reanna sejenak terdiam. Jujur saja, ia tak merasa tersinggung atau apa pun itu ketika mendengar ungkapan sahabatnya. Sebaliknya, ia justru merasa senang. Bahkan Sang suami tidak menyadari perubahan pada dirinya. Pada
Mata cantik itu mengerjap kala sinar dari layar handphone sang suami terasa begitu menyilaukan matanya. Ia membuka kelopaknya perlahan, seiring satu uapan kecil lolos dari bibir merah cherrynya. Tangan kanannya terangkat, dengan refleks menghalau cahaya yang menusuk retinanya yang baru saja terbuka.Reanna mengucek kedua belah matanya perlahan, kemudian memutar kepalanya—yang berbantalkan lengan besar sang suami—pada wajah rupawan itu. Dan ia menemukan jika pria itu telah terjaga, tangan kiri besar suaminya yang bebas tengah memegang ponsel yang menyala."Kamu sudah bangun?" Reanna bertanya dengan suara serak khas bangun tidur.Nathan menghentikan kegiatannya dengan ponsel sejenak, hanya sekedar untuk memberikan istrinya senyuman hangat. "Hanya beberapa menit yang lalu.""Kenapa tidak membangunkanku?"Kembali, senyuman manis tersungging pada bibir coklat kemerahan sang suami. "Kamu tidur dengan pulas, aku tidak tega jika harus membangunkanmu," ucap pria itu, yang kemudian kembali memu
Dokter tampan itu terlihat takjub menatap menu sarapan pagi kali ini. Bibimbap, makanan khas negeri gingseng itu tertata rapi di meja. Tidak biasanya sang istri menghidangkan makanan jenis ini. Ia sedikit heran, namun tetap saja dengan lahap memakannya. Ia tidak tahu saja kalau istrinya sedang mengidam. Pria itu menatap bergantian antara Reanna dan Kia yang memakan sarapannya dengan tenang, kemudian tersenyum bahagia. Ia sangat bersyukur keluarga kecilnya bisa kembali lengkap seperti sedia kala. Reanna benar-benar mampu menggantikan peran Anya dengan begitu sempurna."Sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat nanti malam. Kalian tidak usah menunggu Papa saat makan malam, ya?" ungkap Nathan setelah berhasil menandaskan segelas air putih di depannya."Iya, Papa~" Kia menjawab riang seperti biasanya. Berbanding terbalik dengan raut wajah Reanna yang menyendu seketika.'Apakah kamu akan menemui wanita itu, Mas?' wanita hamil itu hanya mampu membatin menerka."Pelan-pelan makannya, Saya
Kesunyian adalah satu-satunya hal yang menyambut Nathan ketika pria itu pulang dari bekerja. Sesuai prediksinya ia pulang larut malam, bahkan jam dinding besar yang terpajang di ruang tamu sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa anak dan istrinya sudah jatuh terlelap dalam mimpi.Ketika menaiki anak tangga menuju lantai dua, ia tampak mengurai dua kancing teratas kemeja hitamnya. Sedikit menghela napas ringan, ia memasuki kamar dengan secercah senyuman hingga sosok sang istri terekam dalam pandangan. Ia melihat Reanna sudah jatuh dalam lelap, terlihat nyenyak sekali. Ia berjongkok ketika memperhatikan wajah wanitanya. Dan seketika itu pula ia teringat tentang kejadian pagi tadi, tentang tangisan Reanna dan kemarahan wanita itu padanya. Jujur saja sampai saat ini Nathan belum tahu kesalahannya di mana."I miss you." Mengabaikan sejenak rasa yang sedikit membuat hatinya tak nyaman, Nathan mendekatkan wajahnya lalu berbisik selirih mungkin di teling
Hening. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang saling bersentuhan dengan piring yang terdengar mendominasi, selebihnya hanya sunyi.Sudah berkali-kali netra biru itu mencuri pandang wajah cantik istrinya yang lesu. Ada suatu rasa cemas yang tak dapat ia sembunyikan dalam raut sendu. Istri cantiknya terlihat tidak baik pagi ini, apalagi dengan kantung mata hitam yang menggantung di atas pipi. Apakah Reanna kurang tidur? Ah, Nathan tidur terlalu lelap—setelah selesai bertelepon dengan Alona, tentu saja—sehingga ia tak tahu jika istrinya terjaga hampir semalaman. Ia lelah, akhir-akhir ini banyak sekali ibu hamil yang melahirkan pada malam hari, sehingga mau tak mau dokter tampan itu harus lembur dan berakhir harus kembali pulang hampir dini hari. Tapi, itu bukan masalah baginya, itu memanglah tugasnya.Sudah. Ia tak tahan jika hanya diam dan memperhatikan. Nathan meletakkan sendoknya di tempat semula, kemudian menggeser kursinya mendekati Reanna. Ia memperhatikan dengan seksama w
Mobil hitam itu terparkir tepat di depan kediamannya. Cahaya oranye senja seakan menyambut kedatangan pria itu ketika ia membuka pintu mobilnya. Nathan mencipta kurva senyuman. Ah, ia merasa senang bisa pulang lebih awal hari ini. Ia sudah merindukan keluarga kecilnya.Nathan melangkah dengan kaki panjangnya menuju pintu ganda rumahnya dengan senyum bahagia. Ia tidak sabar untuk melihat wajah terkejut dua perempuan di dalam sana atas kedatangannya. Rencananya ia akan mengajak anak dan istrinya jalan-jalan karena beberapa hari ini dirinya selalu pulang malam sehingga jarang ada waktu berkualitas dengan keluarga.Terutama untuk memperbaiki hubungannya dengan Reanna. Ia merasa bahwa mereka kurang berkomunikasi sehingga sikap sang istri berubah, tak sehangat biasanya. "Aku pulang ...." Pria itu berucap salam setelah membuka pintu rumahnya yang besar.Namun, sepi. Tiada satu pun kehadiran anggota keluarganya di sana. Hanya ada sang asisten rumah tangga yang sedang menyapu lantai di sekita
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r