Kesunyian adalah satu-satunya hal yang menyambut Nathan ketika pria itu pulang dari bekerja. Sesuai prediksinya ia pulang larut malam, bahkan jam dinding besar yang terpajang di ruang tamu sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa anak dan istrinya sudah jatuh terlelap dalam mimpi.Ketika menaiki anak tangga menuju lantai dua, ia tampak mengurai dua kancing teratas kemeja hitamnya. Sedikit menghela napas ringan, ia memasuki kamar dengan secercah senyuman hingga sosok sang istri terekam dalam pandangan. Ia melihat Reanna sudah jatuh dalam lelap, terlihat nyenyak sekali. Ia berjongkok ketika memperhatikan wajah wanitanya. Dan seketika itu pula ia teringat tentang kejadian pagi tadi, tentang tangisan Reanna dan kemarahan wanita itu padanya. Jujur saja sampai saat ini Nathan belum tahu kesalahannya di mana."I miss you." Mengabaikan sejenak rasa yang sedikit membuat hatinya tak nyaman, Nathan mendekatkan wajahnya lalu berbisik selirih mungkin di teling
Hening. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang saling bersentuhan dengan piring yang terdengar mendominasi, selebihnya hanya sunyi.Sudah berkali-kali netra biru itu mencuri pandang wajah cantik istrinya yang lesu. Ada suatu rasa cemas yang tak dapat ia sembunyikan dalam raut sendu. Istri cantiknya terlihat tidak baik pagi ini, apalagi dengan kantung mata hitam yang menggantung di atas pipi. Apakah Reanna kurang tidur? Ah, Nathan tidur terlalu lelap—setelah selesai bertelepon dengan Alona, tentu saja—sehingga ia tak tahu jika istrinya terjaga hampir semalaman. Ia lelah, akhir-akhir ini banyak sekali ibu hamil yang melahirkan pada malam hari, sehingga mau tak mau dokter tampan itu harus lembur dan berakhir harus kembali pulang hampir dini hari. Tapi, itu bukan masalah baginya, itu memanglah tugasnya.Sudah. Ia tak tahan jika hanya diam dan memperhatikan. Nathan meletakkan sendoknya di tempat semula, kemudian menggeser kursinya mendekati Reanna. Ia memperhatikan dengan seksama w
Mobil hitam itu terparkir tepat di depan kediamannya. Cahaya oranye senja seakan menyambut kedatangan pria itu ketika ia membuka pintu mobilnya. Nathan mencipta kurva senyuman. Ah, ia merasa senang bisa pulang lebih awal hari ini. Ia sudah merindukan keluarga kecilnya.Nathan melangkah dengan kaki panjangnya menuju pintu ganda rumahnya dengan senyum bahagia. Ia tidak sabar untuk melihat wajah terkejut dua perempuan di dalam sana atas kedatangannya. Rencananya ia akan mengajak anak dan istrinya jalan-jalan karena beberapa hari ini dirinya selalu pulang malam sehingga jarang ada waktu berkualitas dengan keluarga.Terutama untuk memperbaiki hubungannya dengan Reanna. Ia merasa bahwa mereka kurang berkomunikasi sehingga sikap sang istri berubah, tak sehangat biasanya. "Aku pulang ...." Pria itu berucap salam setelah membuka pintu rumahnya yang besar.Namun, sepi. Tiada satu pun kehadiran anggota keluarganya di sana. Hanya ada sang asisten rumah tangga yang sedang menyapu lantai di sekita
Nathan mengerjapkan kedua matanya kala mentari baru saja terbit dari ufuk timur, menyinari wajah tampannya. Ah, ia ketiduran di dalam mobil rupanya. Tertidur dalam posisi yang sangat tidak nyaman; tidur dalam posisi duduk dengan wajah yang terbenam lipatan lengan yang berada di atas setir bundar.Pria itu segera melihat arlojinya, masih terlalu pagi ternyata. Ia memandang di sekitarnya, masih sedikit gelap di luar sana. Ia menggulirkan pandangannya ke sisi kaca mobilnya, dan hatinya sedikit merasa lega setelah kedua netranya menangkap siluet seseorang.Sontak saja pria itu keluar dari mobilnya dengan tergesa-gesa, menghampiri sosok yang berhasil tertangkap oleh kedua netra birunya, sosok seorang gadis berambut panjang yang saat ini tengah membuka pintu toko bunganya."Tunggu sebentar, Nona Tisha."Kepala gadis itu menoleh cepat, seketika raut cantik itu terlihat terkejut melihat siapa yang telah berdiri di belakang tubuhnya."Pak dokter? Anda datang pagi sekali.""Apakah ... kamu tahu
Hampa. Itulah kiranya yang Nathan rasakan selama Sang istri tak berada di sisinya. Tidur nyenyak tak lagi ia jumpa, makan pun tak lagi berasa nikmat di lidahnya. Semua hambar. Sudah hari ke dua Reanna berada entah di mana, membuat dokter tampan itu semakin terlihat kacau. Pria itu kembali menghentikan laju mobil hitamnya tepat di depan Carnation florist, entah sudah kali ke berapa selama Reanna menghilang. Setidaknya sehari tiga kali ia ke sana, dengan harapan Sang istri berada di tempat itu. Namun, hingga detik ini belum juga membuahkan hasil.Lapor polisi?Sudah. Dan hasilnya masih tetap sama. Entahlah ... Reanna begitu pandai bersembunyi darinya.Perlahan kaki panjang itu menuruni kendaraan roda empatnya, melangkah dengan gontai menuju pintu transparan di ujung sana."dr. Adams ... lama tidak bertemu?"Pria berambut pirang itu tersentak ketika sebuah suara berat menginterupsi langkah kakinya. Mata biru nan redup itu menoleh dengan spontan. "Kamu?!"Tepat di depannya, berdiri sosok
Ruang makan itu didominasi oleh suara dentingan alat makan yang saling beradu, tanpa percakapan sama sekali. Ada Kalandra dan juga Olivia yang duduk berdua di sana. Sepasang suami istri yang baru saja dikaruniai buah hati itu sedang menikmati makan malam bersama, sedangkan si bayi mereka biarkan tidur di ranjang bayi di dalam kamar mereka."Rea mana, Liv?" tanya Kalandra seraya memotong ayam panggang di atas piringnya. Ia menusuknya dengan garpu lalu menyuapnya ke dalam mulut dengan khidmat."Ada di kamar tamu." Olivia yang sedang menyantap sup jagung sejenak menghentikan gerakannya untuk menjawab pertanyaan Sang suami."Panggil dia, ajak dia makan bersama," titah pria itu, kali ini ia menatap tepat pada mata istrinya. Perintah yang sejujurnya membuat Olivia merasa sedikit tidak nyaman. Biar bagaimanapun, Reanna merupakan mantan tunangan suaminya. Pasti rasanya akan aneh saat mereka bertiga berada di satu meja, tetapi Olivia terlalu takut untuk berkata jujur tentang apa yang tengah i
Matahari sudah tepat di atas sana ketika langkah kaki Reanna menapaki pelataran Carnation florist. Setelah berpikir panjang, pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali datang ke toko bunga tempat ia bekerja. Dan tentu saja ia harus menyiapkan hatinya untuk kemungkinan bertemu dengan suaminya. Ia sudah lelah bersembunyi. Lagi pula, melarikan diri tak akan membuat masalahnya terselesaikan, justru dapat membuatnya semakin runyam. Dan ia bukanlah seorang pengecut, ia harus menghadapi dan menyelesaikannya, apa pun yang terjadi. "Akhirnya kamu datang ke sini juga, Rea. Kukira kamu sudah melupakanku," ucap Tisha ketika kedua matanya menangkap sosok Sang sahabat yang beberapa hari terakhir ini tak menampakkan diri. Ia meninggalkan pekerjaannya begitu saja, lantas berlari menerjang Reanna, memeluknya."...." Sedangkan Reanna hanya diam saja, namun ia segera membalas pelukan sahabatnya seraya tersenyum tipis."Kamu ke mana saja, hah? Kenapa tidak bisa dihubungi selama berhari-hari?" cecar Tis
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r