Home / Lainnya / Dear Joy / 36. Awal Pengabdian

Share

36. Awal Pengabdian

Author: Xerin
last update Last Updated: 2021-06-26 19:33:08

Kami dikumpulkan terlebih dahulu bersama di tengah lapangan, kemudian mendapatkan instruksi untuk masuk dalam sebuah gedung berwarna putih, aku lupa apa nama gedung itu ... biar aku coba ingat kembali ... balai Pertanian atau sejenisnya. Gedung yang bisa terbilang besar untuk berada di daerah kabupaten. Kami lalu diminta untuk mengisi kursi-kursi yang telah disediakan. 

Satu jam kemudian, datanglah para petinggi wilayah. Aku rasa akan ada penyambutan atau sejenisnya. Para supervisor kami juga sudah terlihat sangat rapi berbanding terbalik dengan para mahasiwa yang nampak kumuh dan dekil. 

"Sumpah, baru kali ini aku menghadiri rapat atau apalah itu dalam keadaan seperti ini. Benar-benar ya ... jangankan mandi, sikat gigi saja tidak." Muti terlihat sangat kasihan dengan kondisi ini. "Ini, makan ... setidaknya dengan mengunyah permen karet ini napas kita tidak bau naga." 

"Hahaha." Ocehan Muti membuatku tertawa dengan tidak tahu diri. 

"H

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dear Joy   37. Rasa Tempat Baru

    "Mel ... Mel ... Mel ..." Suara panggilan itu terus menggema dan mengganggu. Suara itu sedikit asing namun juga pernah aku dengar. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali menghajar orang yang membangunkanku dari mimpi indahku. Bisa-bisanya ia menarikku dari dunia yang begitu indah.Aku bangkit dari tidur dan siap untuk memaki. "Si-""Akhirnya kamu bangun. Ibu Nini sudah memanggil kita," ucapnya lagi lalu pergi dari ruangan ini."Ibu? Ibu siapa?" Aku masih mencerna kata-kata gadis itu. Aku kemudian memandangi sekelilingku yang tampak sangat asing. "Kamar ini ...."Aku mengambil beberapa menit untuk mengingat kembali apa yang sudah aku lalui sebelumnya."Astaga!" kataku sambil menepuk pelan dahi. "Aku tidur terlalu lama." Dan tanpa basa-basi aku segera keluar untuk menemui 'ibu' yang dimaksudkan Nita.Nita dan seorang wanita paruh baya memandangiku begitu aku tiba di dapur. Dengan senyum yang sangat ramah, wanita itu lalu

    Last Updated : 2021-06-27
  • Dear Joy   38. Mengejar Kembang Desa

    Bagian manis lainnya bagi para mahasiswa saat sedang KKN tentu saja mencari pacar. Oh, aku sama sekali tidak menentang ataupun membenarkan kegiatan ini. Cinta adalah kebutuhan dasar manusia, asik!Sama seperti anak muda lainnya, Dito ketua posko kami juga sepertinya mulai tergoda untuk melirik seseorang di tempat ini. Ya, siapa yang bisa menduga kapan cinta itu bisa datang. Katanya sih ... cinta pada pandangan pertama."Terus ... kenapa dengan kembang desa? Mereka terdengar seperti berbahaya," ucapku pada Bu Nini."Justru anak kota lah yang sangat berbahaya. Datang ke sini terus menebar cinta padahal mereka sudah tahu hanya akan menetap sebentar dan pergi. Apa memang anak kota seperti itu?""Tidak juga, tergantung sifat masing-masing," sanggahku. Aku tentu tidak setuju dengan argumen itu. Mungkin ada beberapa yang seperti itu namun tidak semua."Semoga kalian tidak seperti itu. Hal seperti ini sudah terjadi berulang kali."

    Last Updated : 2021-06-28
  • Dear Joy   39. Salah Paham?

    "Itu ... tidak ada apa-apa Kak Ayu. Kami hanya sedang berbicara santai." Dito segera meyakinkan Kak Ayu. Rasanya memang tidak enak, ketahuan sedang bertengkar."Aku kira kalian ada masalah apa ... kok tiba-tiba jadi ramai." Kak Ayu lalu tersenyum dan menambahkan, "Di sini dinding pun punya telinga," Ia memeragakan dengan menempelkan telinga pada permukaan dinding. "hati-hati jika berbicara."Kami berlima tak tahu harus bagaimana sekarang. Menyangkal pun sangat jelas bila kami berbohong."Kalian adalah saudara sekarang. Memang kalian bahkan tidak saling mengenal, namun di tempat ini ... ya kalian adalah orang yang paling dekat. Kak Ayu yang cantik ini tidak mau banyak berbicara ... intinya kalau ada masalah jangan sampai ketahuan, oke?" ucapnya lagi sambil mengebaskan rambut dan kemudian pergi. "Bilang sama Ibu, aku pulang malam ya ... mau dugem!"Itu adalah kalimat terakhir yang kami dengar sebelum bunyi motor perlahan memudar dan membaw

    Last Updated : 2021-06-29
  • Dear Joy   40. Malam Panjang dan Pagi yang Tegang

    "Jadi, bagaimana menurutmu sekarang, Mel?" Nita mulai lagi melanturkan pertanyaan."Apanya yang menurutku?" Aku sedikit bingung dengan pertanyaan Nita. Apa sekarang ia sedang meminta pendapatku atau meminta dukunganku untuk mencela Joy. Aku tidak akan memihak manapun sebelum aku mengetahui kejadian yang sebenarnya."Mel ... tanggapanmu tentang seorang gadis. Itu si Joy," katanya lagi. Kali ini sedikit memaksa. "Jangan katakan padaku kalau kamu tidak menyimak obrolan kita tadi. Aku akan sangat sedih."Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Lalu aku menjawabnya, "Aku tidak bisa menghakimi orang tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. Bagaimana kalau dugaanmu padanya salah. Bagaimana kalau ternyata Dito lah yang terlebih dahulu mendekati Joy?"Nita memicingkan matanya, ia tidak suka dengan tanggapanku. Bukannya aku tidak ingin membalasnya, aku ingin hidup dengan damai di tempat ini. Oh, sepertinya dua bulan ini akan menjadi masa hidupku yan

    Last Updated : 2021-06-30
  • Dear Joy   41. Waktu yang Tepat

    Tak bisa terhitung berapa banyaknya detakan yang aku alami. Seperti aritmia, jantungku dengan lancang memompa darah sangat cepat. Apa yang aku khawatirkan? Seketika, Ibu Nini bagai seorang pembunuh bayaran yang sedang mencari korban.Langkah Ibu Nini sangat tenang namun menegangkan. Aku hany mengintip dari jendela melihat gerak-geriknya. Jikalau saja aku menutup lemari ini dengan rapat, aku ragu apa aku bisa bernapas.Ibu Nini masih di sana, di depan jendela memandang ke arah luar. Ia sedang memeriksa sesuatu. Aku harap itu bukanlah kedatangan Farid. Lebih berbahaya lagi bila hal itu sampai terjadi."Aku yakin Amel belum bangun. Sendal maupun sepatunya masih ada di luar. Amel ke mana?" kata Bu Nini.Aku menyadari kekurangan dari karangan cerita kami. Sandal dan sepatuku masih berada di rak sepatu dan itu adalah kesalahan fatal.Ibu Nini lalu berbalik ke arah lemari. Demi Tuhan, aku sangat ketakutan. Ini adalah menit-menit me

    Last Updated : 2021-07-01
  • Dear Joy   42. Arka dan Nita

    Nita menahan tawanya sebisa mungkin. Aku rasa, ini adalah sebuah cerita yang spektakuler. Meski penasaran aku menunggu gadis itu menyelesaikan tawanya terlebih dahulu. "Sekarang aku sama sekali tidak bisa melihat wajah Arka. Aku sangat malu. Oh Tuhan ... sekarang bila waktu bisa diubah kembali aku ingin mengulang beberapa jam yang lalu." "Aku semakin penasaran jadi tolong ceritakan dengan jelas!" kataku yang sudah hampir mati dengan rasa ini. Nita melangkah kecil, ia mengintip dari pintu perbatasan dapur dan ruang tengah memastikan tidak ada seseorang di sana. "Baiklah dengarkan ini baik-baik." Ia mulai dengan kalimat itu dan menarik napas. Aku menatapnya intens. "Di pagi hari yang cerah, aku sudah kebelet pipis. Sudah tak bisa sekali aku menahannya. Jadi aku buru-buru menuju kamar mandi ...." "Terus, terus?" "Sebelum sampai, Farid dan Dito meneriakiku untuk berhenti. Ha ...." "Cepat selesaikan

    Last Updated : 2021-07-04
  • Dear Joy   43. Pak Dadang

    Sembari menunggu Farid mengganti pakaian, sesuai instruksi Dito sang ketua, aku menuju rumah tetangga-Pak Dadang. Awalnya sama sekali tidak curiga kenapa harus aku yang melakukan ini. Ternyata sekarang aku tahu alasan paling tepat. Dito pernah mencoba meminjam motor Pak Dadang kemarin, sayangnya ia tidak mendapatkan ijin itu. Setidaknya itu info yang aku dengar dari bisikan Arfa saat aku melangkah keluar rumah. Pesannya lagi, jangan lupa senyum.Aku sudah tiba di depan rumahnya. Tamannya sangat asri lengkap dengan bunga-bunga yang sangat menawan hati. Dengan pintu ruang tamu yang selalu terbuka seolah siap menerima tamu kapan saja. Rumahnya terlihat sangat sepi atau mungkin orang yang tinggal di dalamnya yang tak berisik.Perlahan ku langkahkan kakiku semakin dekat lalu mengetuk pintu rumah itu, tak lupa dengan sebuah salam.“Selamat pagi,” ucapku dengan sopan. Tidak terlalu keras namun tidak kecil.Tidak ada tanggapan. Aku sedikit kecewa. Aku

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dear Joy   44. Perjalanan Menuju Kantor Camat yang Penuh Drama

    Farid membalas dengan senyuman sebelum akhirnya ia menjawab, “Iya, iya … aku yang akan mengembalikkannya. Kamu pasti sedikit ketakutan di sana. Harusnya memang aku saja yang meminjam tadi.” Aku mulai memutar kepalaku dan mencerna perkataan Farid. Tingkahnya, Nita dan Arka semakin membuat penasaran. Sejelek apakah Pak Dadang di mata mereka hingga mereka sangat mengkhawatirkan aku. “Sebenarnya, apa kalian mengetahui sesuatu?” tanyaku penasaran. Aku melipat tangan di depan dada. “Jadi kalian menjadikanku tumbal untuk ke sana?” Nita terkekeh. “Hei … bukan kami, kalau mau protes, silakan saja katakan pada Dito. Tapi aku rasa Dito juga sama sekali tidak tahu soal ini.” “Sebenarnya ada apa?” Arka lalu menarik tanganku dan membawa ke ruang tengah. Kami akhirnya duduk bersila. “Jadi … ada gosip yang kurang mengenakkan. Pak Dadang itu … dia adalah duda yang kesepian.” “Ha?” Aku mulai bergidik ngeri mendengar penjelasan Arka. “Aku

    Last Updated : 2021-07-24

Latest chapter

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status