Farid membalas dengan senyuman sebelum akhirnya ia menjawab, “Iya, iya … aku yang akan mengembalikkannya. Kamu pasti sedikit ketakutan di sana. Harusnya memang aku saja yang meminjam tadi.”
Aku mulai memutar kepalaku dan mencerna perkataan Farid. Tingkahnya, Nita dan Arka semakin membuat penasaran. Sejelek apakah Pak Dadang di mata mereka hingga mereka sangat mengkhawatirkan aku.
“Sebenarnya, apa kalian mengetahui sesuatu?” tanyaku penasaran. Aku melipat tangan di depan dada. “Jadi kalian menjadikanku tumbal untuk ke sana?”
Nita terkekeh. “Hei … bukan kami, kalau mau protes, silakan saja katakan pada Dito. Tapi aku rasa Dito juga sama sekali tidak tahu soal ini.”
“Sebenarnya ada apa?”
Arka lalu menarik tanganku dan membawa ke ruang tengah. Kami akhirnya duduk bersila.
“Jadi … ada gosip yang kurang mengenakkan. Pak Dadang itu … dia adalah duda yang kesepian.”
“Ha?” Aku mulai bergidik ngeri mendengar penjelasan Arka.
“Aku
Meski sedikit terlambat, kami berhasil mendatangi Kantor Camat. Ferdi sang koordinasi kecamatan sudah menunggu. Teman-teman dari berbagai desa juga sudah datang.“Saya sangat menghargai kedatangan teman-teman di tempat ini. Saya mengerti beberapa kesulitan yang kita hadapi mengenai kendaraan dan lain sebagainya. Sebelum memulai, saya ingi memastikan perwakilan desa mana saja yang sudah hadir.”Ferdi lalu mengambil secarik kertas dan membaca nama desa demi desa. Setiap nama desa yang dibacakan, maka perwakilan desa tersebut harus mengangkat tangan.Ada beberapa desa yang belum hadir. Kemungkinan besar mereka juga menemui kendala yang sama seperti kami. Siapa yang tahu? Atau lebih parahnya, tidak ada transposrtasi yang bisa mereka gunakan.“Untunglah kita bisa tiba tepat waktu, ah … benar-benar … sekarang aku menjadi kesal dengan pak tua itu!”Farid menunjukkan senyum tipis. “Yang penting kita sudah tiba de
bgh"Nyari siapa sih?!" Muti sudah mulai kesal karena aku tak kunjung menjawab dengan segera.Aku bukannya tak ingin menjawab, hanya saja aku tak yakin Muti akan senang dengan jawabnnya."Itu ... pokoknya ada.""Joy ya?""Hm ....""Ngapain amat cariin Joy? Kek enggak ada kerjaan aja." Wajah Muti sudah terlihat tak senang."Aku hanya memastikan sesuatu. Ini tentang masa depan.""Buseeeet ... sebegitunya. Jadi penasaran aku ya ... ada apa dengan masa depan?"Tentu aku tak bisa mengatakannya. Biarlah itu menjadi rahasia besar untuk gadis ini. Muti juga tak perlu ikut campur dalam waktu ini."Apa dia juga tidak datang?""Mungkin terlambat. Aku sangat yakin ia akan terpilih sebagai perwakilan dari desanya. Sumpah, aku yakin seribu persen dah." Muti terlalu yakin dengan ucapannya.Mataku masih mencari-cari keberadaan Joy. Hanya ada dua kemungkinan besar untuk hal ini. Pertama, J
Akhirnya, aku bertemu dengan Joy. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menyampaikan padanya untuk berhati-hati dan tak terlalu akrab dengan Bima. Oh ini gila sekali untuk dikatakan. Aku bahkan sempat ragu untuk mengatakannya. Apa ini benar atau tidak? Seseorang, siapa pun di sana tolong bantu aku.Joy menyambut kedatanganku dan juga Farid dengan sangat ramah. Setelah ia mempersilakan kami duduk di ruang tamu, ia menyediakan kudapan. Saat di sana juga, teman-teman satu poskonya menyambut kami. Itu memang tidak begitu lama karena setelahnya, mereka pergi dengan kegiatannya masing-masing."Tumben sekali kamu mau datang berkunjung di sini. Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" tanya Joy dengan penasaran. "Jangan bilang kamu gabut lalu menemuiku. Sumpah, itu akan jadi alasan yang sangat tidak masuk akal."Aku datang untuk menyelamatkanmu, Joy. Seandainya kamu tahu. Aku bahkan rela mengubah jalan cerita ini menjadi yang tak semestinya. K
Pagi-pagi sekali, Muti meneleponku. Firasatku sudah tidak enak. Itu masih jam setengah enam pagi. Nita yang mendengar ponselku berdering sedari tadi rupanya sudah berusaha membangunkanku. Mau bagaimana lagi, aku tipe orang yang akan tidur dengan sangat lelap.Dengan berat hati aku mengangkat telepon itu dan berharap bukan sebuah prank seperti yang suka dilakukan Muti padaku.“Halo,” sapaku seperti pada umumnya.Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Ibarat kapal yang masih terombang-ambing di lautan. Sejujurnya, aku ingin sekali menutup saja panggilan itu. Untungnya, tidak aku lakukan.Dari seberang sana aku bisa mendengar Muti sedang terisak. Aku semakin khawatir.“Mut …,” panggilku pelan.“Cintia kecelakaan tadi malam … hiks.” Muti berusaha menjelaskan dengan singkat sambil menahan tangisnya. Dari suaranya saja, aku bisa merasakan getaran emosi yang sangat kuat. Ini tentang Cintia, ga
Satu jam waktu yang diberikan Bu Nini. Ia tentu tak main-main dengan perkataannya. Siap atau tidak siap, kami harus tetap pergi sesuai waktu yang ditentukan. Kami juga hanya bisa pasrah kalau sekarang. Istilahnya harus banyak tahu diri di sini. Bu Nini sudah membantu kami menemukan kendaraan. Ya wajar saja bila ia menuntut hal lain.Seperti biasa, aku mencoba membiasakan diri dengan mandi air dingin. Pintu yang terbuat dari kain pun harus selalu aku awasi untuk berjaga-jaga dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Coba bayangkan bila ada angin yang mengibarkannya begitu saja saat aku sedang telanjang, ah … rasanya aku tak sanggup lagi untuk tinggal di sini lebih lama.“Jangan masuk!” teriakku saat aku merasakan ada yang mendekati wilayah kamar mandi.Langkah kaki itu terdengar berhenti. “Oh, maaf … aku pikir tidak ada orang, soalnya terlalu sepi.”Aku menarik napasku dengan panjang. Syukur saja, Dito tidak lebih jauh m
“Hahaha, sudah! Kalian itu sedari tadi bertengkar hanya untuk hal yang sebenarnya tidak perlu!” Aku mencoba menghentikan segala perbacotan yang tidak perlu di antara kami.Tinggal dan hidup bersama orang lain memang tak mudah, bukan? Ada beberapa hal yang harus disesuaikan dan mungkin sedikit pertengkaran akan mewarnainya di awal. Mau bagaimana lagi, seperti itulah cara manusia bersosialisasi dengan sesama. Aku pada awalnya mungkin tak begitu suka dengan keadaan selama KKN. Tentu saja, karena hal ini sudah aku lalui dua kali.Seperti itulah hari-hari kami. Kalau tidak dipenuhi dengan drama antar anggota, pasti tentang Bu Nini. Meski begitu, hal ini akan menjadi satu episode terbaik dalam hidupku. Dito, Arka, Farid dan juga Nita. Mereka pasti akan aku ingat selama hidupku. Aku tak bisa begitu saja mengatakan aku kesal pada mereka, bukan? Mungkin benar ada hal yang membuatku terkadang kesal. Namun, aku juga tak bisa menutup mata bila ada hal yang bisa membuat
Akhirnya kami hanya saling memandang menertawai. Itu memang sedikit tegang pada awalnya, namun seperti biasa, berakhir dengan manis. Aku masih belum terbiasa dengan keadaan ini. Seolah tubuh dan jiwaku masih berada di sana, di lokasi KKN. Sesaat, aku menyesali sesuatu, meski semua itu hanya sebuah mimpi yang panjang. Joy dan semuanya. Banyak hal yang bisa aku lakukan atau … mengubahnya mungkin. “Mel … Amel!” Muti memanggil namaku dengan keras. Aku tahu, ia pasti sedang heran dengan tingkahku. “Mulai, deh … Cintia … kita harus lebih memperhatikan anak ini setidaknya sampai satu minggu. Lihat, mukanya kayak orang habis kesurupan.” “Heh! Jangan ngomong sembarangan, bisa? Enak aja! Siapa yang kesurupan?” Aku tidak terima dengan ucapan Muti langsung melayangkan protes. “Hihihi, syukurlah. Ah, Amel sudah kembali. Kalau
Tidak banyak kata yang akhirnya keluar. Kami bertiga sama-sama menyadari bila makan siang ini harus dihabiskan dengan tenang. Ah, aku sangat merindukan kebersamaan ini. Lalu, pikiranku kembali pada situasi KKN kami. Kebersamaan itu mungkin tidak akan lagi aku rasakan. Teman-teman satu posko yang sudah seperti saudara sendiri. Mungkin bisa kalau kami berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Lupakan saja, semuanya sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Pada akhirnya, rencana sematang apapun hanya akan jadi wacana. Muti sekali lagi ternyata memperhatikanku sejak tadi. Ya, bagai seorang ibu yang terus memperhatikan tindak-tanduk anaknya. Ia lalu segera mengomentari tentang apa yang sedang menjadi bahan pikiranku tadi. “Kamu itu, sementara makan bisa-bisanya ,menghayal. Astaga, Mel … sungguh, aku jadi takut ka
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s