Hingga dua minggu kemudian, Maxim dan Kendra agak kesulitan menyesuaikan jadwal untuk bertemu. Maxim masih harus membereskan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Apalagi dia juga harus menyiapkan diri untuk terbang ke Singapura dan berada di negara itu selama satu minggu.
Di sisi lain, Kendra pun tak kalah sibuk. Apalagi saat itu menjelang ulang tahun The Matchmaker yang berencana menyiapkan lima episode spesial Dating with Celebrity. Otomatis, beban pekerjaan gadis itu pun bertambah berkali lipat.
Sempat terpikir oleh Maxim untuk datang ke kantor Kendra untuk membawakan makan siang kejutan untuk gadis itu. Namun dia benar-benar tak punya waktu. Akhirnya, dia hanya memesan makanan untuk diantarkan pada gadis kesayangannya. Maxim sengaja menggunakan layanan pesan antar dari restoran yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor The Matchmaker.
“Hei, kamu sukses mengejutkanku hari ini,” sapa Kendra via telepon. “Max, terima kasih untuk makan sian
Maxim mengecup rambut Kendra. Tiap kali mendekap gadis ini, Maxim selalu dipenuhi oleh perasaan damai yang luar biasa. Dia sulit menggambarkan perasaan yang dikecapnya dengan detail. Yang pasti, Maxim merasa bahwa hidup akan baik-baik saja sepanjang dia bersama dengan Kendra.“He-eh. Dua minggu yang terasa panjang. Apa boleh buat, Max. Kita berdua sama-sama sibuk,” gumam Kendra. Gadis itu menempelkan pipi kanannya di dada Maxim. Kedua tangan Kendra melingkari pinggang Maxim.“Dulu hidupku baik-baik saja. Tak pernah merindukan seseorang sampai seperti ini hanya karena jarang bertemu dalam kurun waktu dua minggu.” Maxim tertawa kecil. “Dua minggu, lho! Bukan waktu yang panjang. Tapi gara-gara kamu, dua minggu bisa jadi siksaan mengerikan,” ucapnya.Tangan kanan Maxim terangkat untuk membelai rambut Kendra. Sesaat kemudian, gadis itu merenggangkan pelukan dan menatap Maxim dengan wajah agak mendongak. “Gara-gara aku, ya? Se
Kendra tergelak hingga isi gelas yang dipegangnya nyaris tumpah. Gadis itu buru-buru menaruh gelas susunya ke atas meja kaca. Maxim mengambil kopinya sebelum duduk di sofa, tepat di sebelah kanan Kendra. Kopinya ditaruh di sebelah gelas susu milik sang pacar.Tiap kali Kendra datang, ruang kerja Maxim berubah lebih semarak dan nyaman. Entah kenapa. Dia tak pernah menemukan alasannya meski berusaha mencari tahu. Maxim tak pernah tahu jika seseorang bisa memberi efek seserius itu padanya.“Bagaimana harimu, Ken? Pekerjaan masih bertumpuk sampai kapan?”“Minggu depan sepertinya sudah mulai normal. Tapi, senormal-normalnya jam kerjaku, tetap saja tak bisa sampai di rumah di bawah jam enam sore. Hari ini bisa lebih cepat keluar dari kantor karena memang tak terlalu banyak pekerjaanku. Kemarin sudah diborong,” aku Kendra. Dia bersandar di sofa. Maxim menggenggam tangan kanan kekasihnya. “Hariku seperti biasa, tidak ada yang menarik.
Kendra terkekeh setelah menatap Maxim lekat-lekat. “Kamu serius mau mengajakku ke Singapura?”“Serius. Baru terpikirkan kemarin, sih. Kamu kan bisa mengambil cuti, Ken. Lagi pula, setelah semua hal yang kamu alami, kamu berhak untuk sedikit bersenang-senang. Walau yah ... sudah pasti kamu banyak kutinggal-tinggal karena aku punya setumpuk agenda. Tapi, menurutku itu lebih baik, sih. Ketimbang aku pergi sendiri.”“Lebih baik untuk siapa? Kamu atau aku?” goda Kendra.“Ya buat kita berdua. Masa kamu lebih suka kutinggal seminggu penuh ketimbang ikut ke Singapura. Urusan tiket dan akomodasi, jangan dicemaskan.” Mendadak, Maxim teringat satu hal. Karena itu, dia buru-buru menambahkan, “Eh iya, aku tetap akan memesan dua kamar untuk kita, kok! Seperti waktu di Bandung. Jangan kamu kira aku bakalan....”“Aku tahu,” tukas Kendra, tawanya masih bersisa. “Kenapa jadi grogi begitu, Max? Ka
Kendra membalas tatapan Maxim selama sesaat. Lalu dia menjawab sambil memandang Maureen, “Oke, Mbak. Saya mau saja. Tapi mungkin baru bisa setelah Maxim pulang dari Singapura. Itu pun lebih enak saat akhir pekan. Karena saat ini pekerjaan saya sedang bertumpuk, Mbak.”Maureen memetik jari di udara dengan wajah semringah. “Tidak masalah. Memang paling ideal itu saat akhir pekan. Waktunya lebih leluasa karena tak kejar-kejaran dengan pekerjaan.” Perempuan itu membenahi letak tali tas di bahunya. “Terima kasih ya, Ken. Kami tidak akan menjahatimu, kok! Kami justru sangat senang karena akhirnya Maxim punya pasangan juga. Jadi, itu harus dirayakan,” kelakarnya. “Pokoknya, nanti kabari Maxim kapan waktu yang tepat. Sisanya, serahkan padaku.”“Mbak, jangan jadi drama queen begitu! Nanti Kendra malah takut,” protes Maxim. “Kenapa kamu begitu heboh hanya karena aku punya pacar, sih? Tiap kali Darien digo
Kendra akhirnya menjawab panggilan telepon itu dengan suara seramah mungkin.“Halo. Kendra, ya? Saya Aiden Erlangga. Masih ingat?” sapa suara bariton dari seberang sana setelah Kendra mengucapkan salam.Tentu saja Kendra mengingat lelaki ini. Karena baru kemarin mereka diperkenalkan saat Aiden datang ke kantor Kendra. Lelaki ini adalah klien reguler The Matchmaker yang tidak berniat untuk mengikuti acara Dating with Celebrity.Setahu Kendra, Aiden sudah bergabung dengan the Matchmaker sejak empat bulan silam. Tim psikologi The Matchmaker sempat menemukan kecocokan antara Aiden dengan dua orang klien lainnya. Namun ternyata tidak berhasil berlanjut ke mana-mana.Mungkin karena pada dasarnya Aiden memang tak serius ingin mencari jodoh. Menurut bisik-bisik yang didengar Kendra, Aiden menjadi klien The Matchmaker karena bujukan Rossa yang sudah dikenalnya lumayan lama. Karena jika mengenal Aiden, tak disangsikan bahwa lelaki ini tidak aka
Maxim mengejutkan Kendra karena ternyata pria itu bisa bersikap lembut dan penuh perhatian padanya. Maxim bahkan mengajaknya ke Singapura. Meski tak mengutarakan tujuannya secara gamblang, Kendra paham alasan pria itu. Maxim tak ingin mereka berjauhan. Mungkin itu keinginan yang agak berlebihan, karena Maxim cuma pergi selama seminggu. Namun tetap saja membuat Kendra merasa senang dan bahagia.“Sabtu ini aku masih harus ke kantor. Minggu siang aku terbang ke Singapura. Kita masih bisa memanfaatkan hari Sabtu untuk pacaran. Setuju?” tanya Maxim saat mengantar Kendra ke halaman parkir.“Oke,” sahut gadis itu tanpa pikir panjang. “Aku akan datang ke sini. Aku juga masih harus bekerja walau mungkin hanya setengah hari saja.” Gadis itu berhenti di dekat mobilnya. “Tapi sampai Sabtu ini sepertinya aku tidak bisa menemuimu dulu. Pekerjaanku bertumpuk. Jadi, akhir pekan nanti kamu harus merindukanku,” katanya sambil memandang Max
Aiden adalah pria simpatik yang usianya sebaya dengan Maxim. Penampilannya santai dengan rambut melewati bahu yang diikat satu. Aiden bertubuh jangkung, berkulit sawo matang, serta memiliki tato di tangan kanan. Aiden jelas-jelas tergolong pria menawan karena wajahnya enak dipandang. Apalagi ditambah dengan sikap ramahnya.Saat lelaki itu datang, Aiden langsung menyapa semua orang. Dia juga membawa banyak makanan dari restorannya sendiri. Secara keseluruhan, mengingat prestasi restoran keluarganya yang cukup prestisius, Aiden adalah sosok yang sama sekali jauh dari kesan sombong. Bahkan para karyawati The Matchmaker yang sudah terbiasa melihat aneka sosok pesohor menawan mendatangi kantor mereka, antusias dengan kehadiran Aiden.“Jujur saja, Ken, saya sebenarnya tidak tertarik menjadi anggota biro jodoh semacam ini,” kata Aiden. Mereka sedang berada di ruang rapat berdua. Mumpung Aiden mampir, Rossa menugaskan Kendra membahas tentang kriteria perempuan yang
Mengobrol dengan Aiden ternyata mengasyikkan dan membuat betah. Hingga tak terasa waktu terus bergulir. Sebenarnya, Kendra ingin mengingatkan alasan utama mereka berada di ruang rapat itu, tapi dia tak mau dianggap kurang sopan. Jadi, gadis itu membiarkan Aiden dengan ringan bercerita tentang pekerjaan dan keluarganya.Untung saja kemudian pria itu menyinggung tentang kriteria calon pasangan yang diidamkannya. Aiden mengulangi semua poin yang diinginkannya, sementara Kendra mencocokkan dengan data di dalam tablet.“Saya suka perempuan berkulit sehat, tak peduli apa warnanya. Untuk usia, tentunya yang lebih muda dibanding saya, antara dua hingga lima tahun. Entah kenapa, sejak dulu saya tak pernah berhasil jika berhubungan dengan perempuan sebaya. Cantik atau tidak, itu relatif. Tinggi badan tak jadi masalah. Saya mungkin agak bawel untuk urusan pekerjaan. Bukan profesinya yang penting tapi saya lebih suka jika bertemu wanita karier yang sibuk. Karena saya b
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k