Seorang gadis cantik bertubuh ramping dan berambut panjang, berlarian di sepanjang koridor Rumah Sakit Jiwa Dokter Heriadi Soeroso. Langkah kaki kurusnya dengan cepat menyusuri lorong demi lorong rumah sakit, hingga ia berhenti pada satu ruangan yang letaknya agak di ujung kamar-kamar pasien penderita gangguan jiwa lainnya. Ruang Murai sekilas mirip dengan ruang rawat inap pasien biasa. Hanya saja Ruang Murai ini dikhususkan untuk perawatan pasien skizofrenia. Makanya bentukan furniture-furniturenya relative curve, sehingga lebih aman bagi keseharian penderitanya yang sebagian besar memang selalu ingin menyakiti diri sendiri.
Si gadis cantik dengan wajah penuh keringat dan napas tersengal-sengal, membuka pintu pengaman ruang Murai dengan tergesa-gesa. Air mata sang gadis langsung luruh seketika saat melihat ayah yang paling disayanginya sudah dalam keadaan terikat tangan dan kakinya di atas bangsal. Ia tahu tindakan ini memang harus dilakukan demi mencegah ayah
Vanilla bolak balik mengecek penampilannya sendiri di toilet kantor. Ini adalah hari pertamanya menjabat sebagai asisten pribadi abang bossnya. Menurut abang bossnya ia sudah lulus menjadi OG terbaik. Dan kini ia berhak diberi wewenang baru sebagai hadiah dari buah kesabarannya menjadi OG. Menjadi asisten pribadi abang bossnya tentu saja. Hari ini ia akan ikut dengan abang bossnya dan Mbak Tasya, sekretarisnya untuk menemui client potensial yang tertarik untuk merger dengan perusahaan ayahnya. Selain itu mereka juga akan menawarkan konsep kerjasama yang akan ia presentasikan. Ia sangat bahagia karena abang bossnya memberikan kesempatan padanya. Ia berjanji akan berusaha dengan sebaik-baiknya.Langkah ini baik mengingat akhir-akhir ini perusahaan ayahnya sedang banyak diterpa oleh isu-isu miring yang melemahkan nilai saham-sahamnya. Memang bisa saja abang bossnya menghandle semua permasalahan keuangan perusahaan ayahnya, tetapi yang abang bossnya inginkan b
Vanilla berdiri dengan gelisah saat seseorang yang mengaku pemilik perusahaan mengetuk dua kali pintu ruangan meeting. Seketika suara Mbak Tasya yang sedang presentasi terhenti. Pintu kemudian dibuka oleh salah seorang staff wanita peserta meeting. Sikap mereka langsung berubah saat melihat siapa yang datang. Mereka tampak begitu gugup sang pimpinan telah datang. Dari sudut matanya Vanilla melihat abang bossnya memandang skeptis padanya. Ada banyak pertanyaan yang menuntut jawaban di matanya. Jelas saja, ia seperti masuk kembali ke dalam ruangan dan terkesan membawa backing untuk berperang."Perkenalkan rekan-rekan sekalian, saya Galang Setiawan. Saya yakin Anda-Anda sekalian ada yang sudah mengenal saya, terutama Pak Altan Wijaya Kesuma. Crazy rich Asiannya tanah air. Putra mahkota klan Wijaya Kesuma." Pak Galang bercanda sejenak dengan Altan seraya menjabat tangannya dengan santai. Vanilla masih diam saja karena tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam situas
"Vanilla, kamu keluar sebentar dulu ya? Ada hal yang ingin Abang bicarakan berdua saja dengan Tasya? Bisa, La?" Baru saja kaki mereka bertiga menginjak ruangan kantor, abang bossnya telah membuat hati Vanilla bertanya-tanya. Abang bossnya ingin membicarakan apa dengan Mbak Tasya ya? Sampai-sampai ia diusir dan tidak boleh ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Semenjak ia diangkat menjadi asisten abang bossnya, ia memang ditempatkan satu ruangan dengan abang bossnya. Mereka hanya berbeda meja. Vanilla menganggukkan kepalanya. Ia tahu pasti ada sesuatu yang mengganjal perasaan abang bossnya. Raut wajahnya tegang terus selama ia menyetir tadi."Apakah kamu yang melenyapkan file Vanilla?" Setelah Vanilla keluar dan pintu tertutup, Altan langsung menginterogasi Tasya. Ia memang type orang yang suka menembak langsung pada sasaran."Atas dasar apa Bapak menuduh saya seperti itu?" Altan melihat sekretaris yang telah lima tahun bekerja padanya
"Nggak usah repot-repot, Pak. Saya bisa kembali ke kantor sendiri. Lagi pula atasan saya tidak suka kalau saya menggantungkan diri pada orang lain. Katanya orang yang suka nyender bisa jatuh sewaktu-waktu kalau yang ngasih senderan pas bergeser. Hehehe..." Vanilla nyengir dan berupaya menolak kebaikan Pak Galang ini dengan cara yang halus."Kamu membawa macbook dan tas tangan lho, La. Apa kamu tidak takut nanti dijambret atau bagaimana nanti di jalan? Bukan apa-apa, saya hanya mengkhawatirkan keadaan kamu saja. Kamu tahu sendirikan kejahatan di ibukota ini sekarang semakin merajalela? Kan lebih aman kalau saya yang mengantar kamu saja. Lagi pula hemat ongkoskan? Tidak usah membayar." Bujuk Pak Galang lagi."Mudah-mudahan tidak ada apa-apa, Pak. Tapi kalau pun memang kejadian juga, itu namanya takdir. Kita sedang tidur-tiduran di rumah pun bisa saja celaka, seperti kasus mobil yang remnya blong dan menabrak rumah warga. Kalau Allah suda
Air muka abang bossnya tampak dingin saat melihatnya tiba di kantor dengan Pak Galang yang berjalan di sisinya. Vanilla tahu abang bossnya sangat tidak suka apabila peringatannya diabaikan. Tapi mau bagaimana lagi, ia telah berupaya mati-matian menolak dengan berbagai alasan yang logis. Tetapi Pak Galang ini gigih sekali ingin mengantarkannya kembali ke kantor. Kalau sudah membawa-bawa masalah pekerjaan, mau tidak mau ia harus bersikap professional bukan?Satu hal yang membuat Vanilla bertambah kesal adalah ternyata Pak Galang ini berbohong. Di rumah makan tadi ia mengatakan akan membahas masalah pekerjaan dan teamnya di sini. Tetapi sesampainya di kantor ia malah tidak membahas masalah pekerjaan sama sekali. Pak Galang hanya berjalan santai bersisian dengannya dan meletakkan macbook yang tadi ia bawakan ke atas meja. Setelah itu ia lengang kangkung begitu saja. Pak Galang beralasan harus segera kembali ke kantor karena takut sepuluh bungkus nasi yang ia beli ta
Pukul tiga lewat lima belas menit. Vanilla dengan sopan memberitahu abang bossnya kalau mereka harus segera berangkat ke kantor Kreasi Mandiri Tbk, kalau mereka tidak ingin terlambat meeting. Vanilla yang tadi telah mendapat sedikit pencerahan dari Winda berusaha menjaga sikap profesionalitasnya selama berinteraksi dengan atasannya. Ia menghindari kontak mata dan membicarakan hal-hal yang tidak penting dengan abang bossnya.Ia sekarang berprinsip, bagaimana abang bossnya bersikap terhadap dirinya, maka seperti itu jualah ia akan bersikap. Lo jual gue beli. Lo sok kuasa, gue woles aja. Lo bertingkah, sekalian lo bakalan gue tinggal aja. Ia tahu sedari ia masuk ke dalam ruangan tadi, abang bossnya terus meliriknya berulang kali. Tapi Vanilla selow ae. Dia tidak mau lagi baper dan perasaan dicintai. Jatuh-jatuhnya nanti sakit hati lagi. Rugi! Vanilla juga tahu kalau Mbak Tasya terus memperhatikan interaksi mereka yang walau pun tetap saling berkomunikasi teta
"Eh brondong borju, lo ngapain di sini? Mau sunat dua kali atau lo lagi nganterin pacar lo aborsi?" Altan yang sedang duduk bengong di ruang tunggu rumah sakit, kaget saat kepalanya digeplak begitu saja oleh seseorang.Naratria Dewangga. Si preman pasar dan putra sulungnya Azkanio Akbar Dewangga."Eh preman pasar, lo emang kagak ada sopan-sopannya jadi manusia. Jangan suka ngegetok kepala orang sembarangan. Kata bokap gue bisa bodoh ntar." Altan gantian menoyor kening Tria dengan jari telunjuknya. Rasain. Jahil banget ini emak-emak sebiji!"Halah, lo emang udah bodoh dari sononya. Buktinya lo bertahun-tahun suka sama itu bocah gila eh Illa, tapi lo pendem-pendem terus. Kagak berani lo omongin. Itu cuma contoh kecil ya? Kalo mau gue bahas semua kebodohan hakiki lo, bisa seminggu kita ngejogrok di mari kagak kelar-kelar."Ini mulut si preman pasar ya, pengen banget gue iket pake tali rafia.
Vanilla merasa ada yang aneh saat ia membuka matanya. Dinding kamarnya yang biasanya berwarna krem dengan tirai berwarna merah marun, mendadak berubah menjadi berwarna putih semua. Sejenak ia kehilangan orientasi. Ketika secara tidak sengaja ia ingin bangkit dari tidurnya, ia meringis kesakitan. Tangan kirinya sudah dipasangi jarum infus rupanya. Ia kembali menjatuhkan kepalanya ke atas bantal. Berusaha merangkai-rangkai kejadian demi kejadian yang berseliweran di benaknya. Pertengkaran dengan abang bossnya, naik gojek, hujan, kedinginan dan ia tidak bisa mengingat sisa kejadiannya lagi. Pasti ia kehilangan kesadaran hingga akhirnya ia dibawa ke rumah sakit ini. Ya, ia yakin kalau ruangan ini rumah sakit saat melihat infus di tangannya. Di saat ia sedang terus berusaha menggali ingatan yang tercecer, pintu ruangannya terbuka. Menghadirkan sosok cantik bundanya yang membawa beberapa wadah styrofoam dalam satu plastik besar."Udah bangun, La? Gimana perasaan kamu,