Zahra menggeleng. “Mana mungkin saya mengizinkan, Pak. Bisa geger dunia persilatan nanti kalau saya sampai melakukannya. Bagaimanapun status saya sekarang ini masih istri sah Pak Zyan. Tidak mungkin saya membawa pria lain ke rumah orang tua saya dan bertemu Ayah dan Ibu,” ujarnya.Zyan pun diam-diam menghela napas lega. “Aku pikir kamu akan mengizinkan,” celetuknya.“Saya masih waras, Pak. Walaupun pernikahan kita hanya sementara, tapi saya tetap bertanggung jawab menjaga pernikahan sampai kontrak selesai. Saya tidak akan sembarangan bertindak dan membuat semuanya jadi kacau,” tukas Zahra.“Memang harusnya seperti itu. Jangan sampai kamu terlihat pergi dengan pria lain selama kita masih terikat kontrak pernikahan,” ucap Zyan sambil tersenyum tipis.“Saya tidak boleh pergi dengan pria lain, tapi Pak Zyan boleh pergi dengan Mbak Mila?” cetus Zahra yang seolah tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh Zyan tadi.“Asal kamu tahu, Ra. Sejak kita lamaran sampai detik ini, aku tidak pernah
Zahra mengembuskan napas kasar. Dia lantas menoleh pada suami yang juga bosnya itu. “Apa sebenarnya tujuan Pak Zyan mengubah isi perjanjian? Agar saya tidak berhubungan lagi dengan Pak Yudhis?” Zyan menggeleng. “Agar kita lebih sama-sama nyaman menjalaninya, Ra. Aku dan kamu tidak akan merasa was-was karena takut ketahuan jalan sama orang lain.” Zahra tertawa kecil yang lebih terdengar seperti sebuah ejekan. “Saya jalan dengan orang lain? Itu hal yang tidak mungkin, Pak. Sebelum menikah saja, saya jarang keluar. Apalagi sekarang saya tinggal di rumah keluarga Pak Zyan. Saya semakin tidak bebas keluar kecuali dengan Bapak. Kalau Pak Zyan masih mungkin bisa jalan sama Mbak Mila dengan alasan meeting atau apa pun. Kalau saya ‘kan tidak punya pacar, mau jalan sama siapa? Mas Amir?” Pria tampan itu mendesah. “Aku akan memutuskan Mila, Ra. Setelah aku pikir-pikir hubunganku sama dia tidak punya masa depan. Mama sudah jelas menolak Mila. Dan aku tidak mau menikah tanpa restu Mama. Aku tida
Zyan dan Zahra duduk saling berhadapan di ruang privat sebuah restoran. Selesai berbelanja di mal, Zyan mengajak istrinya itu makan malam. Kali ini tidak di warung kaki lima tapi di restoran berkelas yang mempunyai ruang privat agar mereka bebas berbicara tanpa dilihat dan didengar orang lain.“Sambil menunggu pesanan datang, ayo bicara soal perjanjian kita.” Zyan memulai pembicaraan kala mereka hanya tinggal berdua di ruangan tersebut.Zahra mengambil iPad dari dalam tas lantas membuka fail perjanjian mereka sebelumnya. “Poin apa yang ingin Pak Zyan ubah?” tanyanya.“Aku ingin ada tambahan di poin kontrak pernikahan selama satu tahun, di belakangnya ditambah bila dalam jangka waktu tersebut kita saling jatuh cinta, berarti kontrak berakhir dan pernikahan akan kita jalani dengan saling mencintai,” jawab Zyan yang juga membaca perjanjian mereka di ponsel pintarnya.Zahra mendongak, memandang sang suami dengan tatapan tak percaya. “Ini serius ditambah seperti itu, Pak?” tanyanya memasti
Zahra mendongak begitu Zyan berbicara padanya. Gadis itu tadi memilih menunduk dan mengaduk-aduk minumannya daripada melihat sang suami bicara dengan kekasihnya. Walaupun Zyan berkata akan memutuskan Mila, tetap saja hatinya terasa nyeri. Apalagi mendengar panggilan mesra dan manja dari Mila.Selama ini Zahra memang tak pernah melihat kebersamaan mereka atau mendengar percakapan Zyan dengan Mila. Dia hanya tahu kalau Zyan berpacaran dengan Mila dan atasannya itu beberapa kali meninggalkan kantor untuk menemui kekasihnya. Bagaimana hubungan mereka sebenarnya, Zahra tak pernah tahu.“Maaf, Pak Zyan tadi bilang apa?” Gadis berhijab itu berpura-pura tidak mendengar hingga membuat Zyan berdecak.Pria beralis tebal itu mematikan ponsel agar Mila tak terus-terusan menghubunginya. Setelah itu, dia kembali menatap gadis di hadapannya dengan intens.“Entah kamu tadi dengar atau tidak saat aku memutuskan hubungan dengan Mila. Yang jelas, aku sudah tidak punya hubungan apa pun dengan dia. Aku sud
Zyan terus mendekati Zahra. Senyumnya semakin lebar melihat raut cemas sang istri, yang di matanya jadi tampak menggemaskan. Selama ini gadis itu sering menunjukkan wajah serius dan kadang tak bersahabat kalau sedang berbeda pendapat dengannya.“Masukkan iPad-nya, terus kita pulang,” titah Zyan begitu berdiri di samping kanan istrinya.“I—iya, Bang.” Zahra gegas memasukkan tablet berlogo apel tergigit itu ke tasnya. Dalam hati dia merasa lega karena Zyan tak melakukan apa pun padanya. Gadis itu tadi sempat berpikir kalau suaminya akan melakukan sesuatu karena sebelumnya mengatakan akan memberi hukuman padanya.Setelah Zahra memasukkan iPad ke tas, Zyan mengulurkan tangan kanannya. Gadis itu terkejut melihat sikap Zyan, membuatnya jadi merasa seperti di film atau dongeng-dongeng, dimana sang pangeran mengulurkan tangan pada sang putri saat mengajaknya berdansa. Meskipun konteksnya beda karena dia dan Zyan tak akan mungkin berdansa di sana, tapi Zahra jadi merasa benar-benar dihargai se
Zahra kembali mengalihkan pandangan ke depan. “Apa selama ini saya pernah iseng sama Bang Zyan? Seingat saya tidak pernah,” ujarnya.Zyan mengangguk. “Memang tidak pernah karena selama ini kita kerja secara profesional. Seorang sekretaris tidak mungkin iseng pada atasannya, apalagi masalah pekerjaan. Semua harus sesuai dengan SOP. Sekarang ‘kan status kita berbeda, tidak hanya atasan dan bawahan tapi juga suami istri, Ra. Siapa tahu setelah hubungan kita lebih dekat kamu jadi ingin ngisengin aku,” cakapnya.Gadis berhijab itu melirik sekilas pada Zyan. “Kok jadi suuzan sama saya? Kayanya Pa eh Bang Zyan deh yang akhir-akhir ini sering iseng.”Zyan tertawa. “Habisnya kamu gemesin kalau lagi marah atau panik gitu,” akunya.Zahra sontak menoleh pada suaminya. “Tuh ‘kan benar Bang Zyan yang iseng, tapi ujung-ujungnya malah saya yang jadi kambing hitam.”Pria tampan itu berdecak. “Mana ada kambing hitam di mobil ini. Adanya bidadari surga yang sedikit cemberut,” tukasnya.“Tuh ‘kan iseng l
Zyan memegang lalu memutar handel pintu kamar mandi untuk membuka, tapi tidak bisa karena Zahra mengunci pintunya dari dalam. “Ra, buka dong pintunya,” pintanya sambil mengetuk pintu dari luar.“Tunggu sebentar,” sahut Zahra dari dalam kamar mandi.“Buruan! Aku kebelet nih!” teriak Zyan agar istrinya segera membuka pintu.Tak lama Zahra keluar hanya dengan bathrobe dan handuk yang menutupi kepalanya. Dia tak sempat mengenakan pakaian karena kasihan pada Zyan yang katanya sedang kebelet. Padahal itu hanya trik suaminya agar bisa masuk ke kamar mandi dan mereka bisa mandi bersama. Entah apa yang akan dilakukan Zahra kalau tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ngapain sih lama banget?” Zyan berpura-pura kesal padahal diam-diam dia menelan ludah melihat penampilan istrinya yang baru selesai mandi. Bathrobe yang dikenakan Zahra panjangnya hanya selutut, lengannya pun hanya sampai siku, hingga menampakkan kulit putih gadis itu yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Karena handuknya dipakai seper
Zahra baru keluar dari kamar mandi setelah berada di sana selama sekitar sepuluh menit. Setelah membasuh wajah, dia duduk di atas toilet sambil menenangkan diri. Menghadapi sikap Zyan yang sekarang, membuatnya harus lebih bersabar daripada sebelumnya. Gadis itu berjalan pelan menuju tempat tidur agar tidak mengganggu Zyan yang sedang khusyuk menjalankan salat Isya. Zahra duduk di sisi ranjang yang biasa ditempati Zyan, karena suaminya salat di dekat sisi ranjang yang biasa dia tempati. Zahra yang duduk membelakangi Zyan tidak tahu kalau suaminya sudah selesai menjalankan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Usai salat dan berdoa, pria itu bergerak pelan-pelan agar istrinya tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya. “Ayo lagi mikirin apa?” Zyan tiba-tiba memeluk istrinya dari belakang. Zahra tentu saja sangat terkejut. Jantungnya serasa mau copot. Dia pun langsung memegang dadanya. “Astaghfirullah, iseng banget sih, Pak. Untung saja saya tidak punya riwayat penyakit jantung. Coba ka
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama