Zyan langsung mengambil alih Zayyan begitu keluar dari kamar mandi. Dia sangat merindukan putranya tersebut. Kelelahan yang Zyan rasakan seolah hilang begitu bersentuhan dengan buah cintanya dengan Zahra itu.“Papa kangen banget sama Zayyan,” ucapnya sambil menciumi pipi bayi tampan itu.Zayyan menggeliat karena merasa geli dengan rambut-rambut tipis yang tumbuh di wajah sang papa. Meskipun begitu, Zayyan terlihat lebih ceria daripada saat belum bertemu dengan kedua orang tuanya. Tak dipungkiri memang ikatan mereka sebagai orang tua dan anak cukup kuat.“Zayyan, mau ketemu Mama?” Zyan membawa putranya itu mendekati ranjang pasien Zahra. Dia mendudukkan Zayyan di samping istrinya yang masih terbaring lemah dan sama sekali belum membuka mata. Tanpa terasa air mata Zyan menetes. Rasa haru menyelimuti hatinya.Beberapa jam lalu Zyan sangat takut kehilangan istrinya. Apalagi Zahra sudah mengucapkan pesan terakhirnya walaupun atas desakan Mila. Rasanya dia masih tidak percaya bisa berkumpul
Zahra menangkup wajah Zyan dengan kedua tangan. “Maafin aku ya, Bang,” ucapnya. “Karena kecerobohanku jadi menyusahkan Abang dan banyak orang. Aku benar-benar menyesal, Bang,” imbuhnya.Zyan menatap lekat istrinya. Dia meraih kedua tangan Zahra yang menangkup wajahnya kemudian menggenggamnya. “Abang sudah memaafkan. Jangan diulangi lagi ya. Tempo hari kamu sudah membuat jantung abang hampir copot.”“Iya, Bang. Aku janji tidak akan mengulangi kebodohan yang sama. Aku—aku tidak menduga Mbak Mila punya niat jahat,” ucap Zahra.“Hatimu terlalu baik, Ra. Kamu selalu berpikiran positif dan menganggap semua orang baik. Padahal kita tidak pernah tahu isi hati orang. Pak Dadang dan susnya Zayyan katanya sudah mengingatkan, tapi kamu tetap nekat ketemu Mila. Lain kali dengarkan apa yang dikatakan orang apalagi untuk kebaikanmu, jangan hanya menuruti keinginanmu,” sahut Zyan.“Ya, Bang,” timpal Zahra.“Memang ada orang yang berubah baik setelah dipenjara, tapi tidak sedikit yang malah jadi semak
“Mau tahu apa mau tahu banget?” Zyan sengaja menggoda istrinya.“Ish, Abang nyebelin.” Zahra memukul lengan suaminya karena kesal.Zyan tertawa karena berhasil membuat Zahra kesal. “Ini dulu, baru nanti abang kasih tahu.” Dia menyodorkan sebelah pipi lalu meletakkan telunjuk di sana.“Dasar modus!” cetus Zahra.“Biarin! Kan modusin istri sendiri. Lagian sudah beberapa hari abang tidak mendapat ciuman darimu,” sahut Zyan.“Iya—iya.” Zahra kemudian mencium pipi suaminya.“Kok cuma satu, yang ini nanti iri dong kalau ga dapat ciuman.” Zyan menyodorkan lagi sebelah pipinya.Zahra kembali menuruti permintaan suaminya. “Sudah semua, Bang. Sekarang apa kejutannya?” tagihnya.“Sabar. Buru-buru banget sih pengen tahu.” Zyan masih belum puas menggoda istrinya. Melihat wajah kesal Zahra membuatnya jadi gemas. Ekspresi yang beberapa hari ini dirindukannya.“Bodo, ah.” Zahra kembali menghadap televisi dan melipat kedua tangan di dada. Suaminya memang kadang sangat menyebalkan kalau sedang iseng.Z
“Alhamdulillah, akhirnya bisa tidur di rumah lagi.” Zahra mengucap syukur begitu dia dan Zyan tiba di kediaman keluarga Darmawangsa.Dokter mengizinkan Zahra pulang setelah tidak ada keluhan selama masa observasi. Dia sudah sangat merindukan tempat peraduannya dengan Zyan meskipun saat di rumah sakit ruang rawat inapnya yang paling bagus dan lengkap fasilitasnya, tetap saja lebih nyaman tidur di rumah. Selain itu dia juga bisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan Zayyan tanpa takut putranya terpapar penyakit karena beberapa kali menjenguknya di rumah sakit.Saat mereka pulang, Zayyan sedang tidur di kamarnya, jadi Zyan dan Zahra memutuskan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum nanti menemui buah cinta mereka.“Kamu mau mandi sendiri atau abang bantuin?” tawar Zyan setelah mereka masuk ke kamar.“Mandi sendiri saja, Bang. Insya Allah aku sudah lebih sehat dan tidak lemas lagi. Aku juga ingin berendam sebentar.” Zahra langsung menuju meja rias.“Kita masuk ke kamar mandi bareng sa
“Zayyan, sudah tidur?” Zyan bertanya pada Zahra yang baru saja mengecek sang putra tercinta di kamarnya.“Sudah, Bang,” jawab Zahra sambil mengunci pintu penghubung kamar mereka dan Zayyan.Zyan tersenyum lantas menepuk sisi tempat tidur yang biasa ditempati istrinya. Dia gegas meletakkan iPad yang tadi digunakan untuk mengecek surel yang dikirim oleh asisten pribadinya.Zahra pun beringsut naik ke atas tempat tidur kemudian duduk di samping sang suami. Disandarkannya kepala di bahu kokoh pria yang selalu meratukannya itu.Zyan meraih tangan Zahra lalu digenggamnya erat. “Ra, usia Zayyan sudah hampir dua tahun loh. Kamu tidak ingin ngasih adik buat dia?”Zahra mendesah. “Zayyan masih kecil dan masih sangat butuh perhatian kita, Bang. Kalau dia punya adik, otomatis perhatian dan kasih sayang kita akan terbagi. Aku kasihan sama dia, Bang, dan masih ingin fokus sama Zayyan dulu. Apa tidak bisa menunggu sampai usianya tiga atau empat tahun dulu baru Zayyan dikasih adik?” Dia mengangkat ke
“Bang, nanti antar aku ke dokter setelah pulang kantor ya,” pinta Zahra usai menikmati makan siang di ruangan Zyan. Benar-benar makan siang ya, bukan makan siang plus-plus.Alis tebal Zyan tampak bertaut. “Kenapa? Kamu sakit?” Pria tampan itu menelisik wajah istrinya. Namun wajah cantik itu sama sekali tidak terlihat pucat atau sedang menahan rasa sakit.Zahra menggeleng. “Memangnya harus sakit kalau mau ke dokter, Bang?” Dia malah balik bertanya, alih-alih menjawab suaminya.“Ya, tidak. Ke dokter juga bisa buat konsultasi. Kamu mau konsultasi?” tanya Zyan sesudah menjawab istrinya.“Abang jadi mau ngasih adik buat Zayyan atau tidak?” Zahra balik bertanya lagi.“Ya maulah. Memangnya kamu sudah hamil, Ra?” Zyan jadi terlihat sangat antusias.“Aku ‘kan masih pakai IUD, Bang. Gimana ceritanya bisa hamil,” tukas Zahra.“Oh, abang tahu. Kamu pasti ingin konsultasi biar kita bisa punya anak kembar ya?” tebak sang CEO.Zahra menghela napas panjang. Dia merasa heran karena hari ini suaminya s
“Jangan tegang, Bu. Rileks saja. Insya Allah prosesnya akan cepat dan tidak sakit kalau rileks,” tutur dokter kandungan sebelum melepas IUD dari dalam tubuh Zahra.“Ya, Dok.” Zahra menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan sampai dia merasa tenang.Begitu Zahra terlihat rileks, dokter mulai melakukan tindakan. Sambil bekerja, dokter mengajak Zahra membicarakan Zayyan agar perhatiannya teralihkan ke hal-hal yang menyenangkan. Beberapa kali dokter mengingatkan Zahra agar rileks setiap kali ibu muda itu mulai tegang.“Alhamdulillah, sudah terlepas IUD-nya, Bu,” lontar dokter begitu selesai melakukan tindakan.Zahra menghela napas lega. “Alhamdulillah,” ucapnya.“Bagaimana sakit atau tidak?” tanya sang dokter.Zahra menggeleng. “Alhamdulillah, tidak, Dok.”Dokter tersenyum. “Syukurlah. Kuncinya rileks, Bu. Kalau tegang selama pelepasan IUD memang malah sakit atau nyeri.”Zahra mengenakan kembali pakaiannya sebelum keluar dari ruang tindakan. Setelah itu kembali duduk di sampi
Zyan menoleh pada istrinya. “Kalau sampai ada yang bilang seperti itu, abang akan menuntutnya. Tidak peduli siapa orangnya dan berapa jumlahnya,” tegasnya.“Jujur, Ra, abang lebih senang melihatmu saat hamil karena jadi lebih seksi. Bukan berarti kalau tidak hamil tidak seksi, tetap seksi, cuma aura seksinya itu lebih menggoda saat kamu hamil,” imbuh Zyan.“Bohong, Abang cuma mau menenangkan aku saja. Mana ada orang gendut malah kelihatan seksi,” tukas Zahra yang tidak mau percaya begitu saja pada ucapan suaminya.“Abang jujur, Ra. Mana ada abang bohong. Di mata abang, kamu memang lebih seksi waktu hamil. Apalagi kalau kamu pakai lingerie warna merah, bikin abang tidak bisa menahan diri,” ucap Zyan seraya mengerling pada istrinya.“Aduh, gawat!” ceteluk pria bercambang tipis itu.“Kenapa, Bang?” tanya Zahra dengan raut khawatir.“Gara-gara ngomongin kamu pakai lingerie merah, abang jadi ngebayangin dan malah pengen,” ungkap Zyan tanpa merasa malu.“Ish, Abang. Lagi nyetir, bisa-bisany
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama