Zyan dan Zahra seketika saling menjauhkan diri. Mereka kemudian sama-sama tertawa. Mau bermesraan sebentar saja sudah ada gangguan dari Zayyan yang seolah tidak mau membiarkan kedua orang tuanya berdekatan.“Abang, mandi dulu sana. Aku lihat Zayyan dulu.” Zahra pun mendekati buah hatinya, sementara Zyan masuk ke kamar mandi.“Anak ganteng mama, kenapa menangis?” Zahra melihat popok Zayyan yang basah. “Pipis ternyata.” Dengan sigap, ibu muda itu kemudian melepas popok kain yang dipakai Zayyan. Dia menutup pangkal paha sang putra dengan popok agar tidak mendapat bonus semburan dari Zayyan.Setelah popoknya diganti, Zayyan tidak menangis lagi. Kaki dan tangannya yang gembul pun bergerak-gerak.“Zayyan, main sendiri dulu ya. Mama mau nyiapin baju untuk Papa. Oke!” Zahra berbicara pada putranya sebelum masuk ke walk-in closet. Meskipun anaknya masih belum mengerti apa yang dia katakan, tapi Zahra dan Zyan membiasakan diri mengajak putra pertama mereka bicara.Zahra gegas memilih kemeja, se
Faisal mengernyit mendengar pertanyaan sang CEO. Wajahnya terlihat bingung. “Memangnya ada yang menyambut Pak Zyan di lobi? Saya sama sekali tidak tahu soal itu,” ucapnya.Alis tebal Zyan saling bertaut. “Kalau bukan kamu terus siapa? Hanya kamu yang tahu aku akan masuk kantor lagi selain keluargaku,” tukasnya.Faisal tampak berpikir. “Barangkali asisten saya yang memberi tahu karyawan lain, Pak. Mereka mungkin terus berinisiatif menyambut kembalinya Pak Zyan di lobi. Saya memang bilang sama dia kalau hari ini Pak Zyan mulai masuk kantor lagi,” paparnya."Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti sebarkan saja memo pada semua karyawan, tidak perlu ada lagi penyambutan atau apa pun saat jam kerja. Untuk sekarang dimaafkan, tapi untuk lain kali tidak ada toleransi lagi," tegas Zyan.Faisal mencatat apa yang CEO itu sampaikan. "Baik, Pak. Apa ada lagi yang ingin Pak Zyan sampaikan?" tanyanya.Zyan menggeleng. "Kamu bisa kembali ke ruanganmu," sahutnya.Faisal mengangguk. "Berkas yang harus Pak Zyan
Zahra merasa gugup dan salah tingkah karena Zyan terus mendesaknya. Apalagi tatapan tajam Zyan membuatnya tak berdaya. Dia lantas menundukkan pandangan. “Lebih baik Abang segera ganti baju, setelah itu kita ke dokter. Abang akan tahu jawabannya di sana nanti.”“Kenapa harus nunggu ketemu dokter? Kenapa tidak sekarang saja? Jangan buat Abang mati penasaran, Ra.” Zyan terus mendesak istrinya.“Aku siapin baju Abang dulu. Setelah itu aku ganti baju Zayyan.” Zahra mengalihkan pembicaraan dan tetap tidak mau mengatakan kejutan yang disiapkan untuk suaminya.Zyan tampak frustrasi karena Zahra tetap tutup mulut. Percuma juga mendesak, kalau sang istri tetap pada pendiriannya. Dia akhirnya mengalah, mengikuti langkah Zahra menuju walk-in closet.Sesudah semuanya siap, mereka pun pergi ke dokter kandungan. Zyan mengendarai sendiri kendaraannya. Zahra duduk di sampingnya sambil menggendong Zayyan. Tak tega rasanya meninggalkan sang putra meskipun ada yang menemaninya.“Bukannya dokter yang bias
“Jadi bagaimana? Apa Pak Zyan setuju Bu Zahra memakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan?” Dokter bertanya pada Zyan.“Saya setuju, Dok. Saya hanya kaget karena istri saya tidak bilang tujuannya ke sini untuk apa. Saya pikir hanya untuk mengecek apa benar nifasnya sudah selesai,” sahut Zyan.Dokter kandungan itu tersenyum. “Karena Pak Zyan sudah setuju, Bu Zahra tinggal memutuskan mau menggunakan kontrasepsi apa?” Dia beralih pada Zahra.“Saya ingin yang tidak mengganggu produksi ASI dan siklus haid, Dok,” timpal Zahra.“Kalau begitu saya sarankan pakai IUD yang nonhormonal. Tapi saya tidak menjamin 100% kehamilan tidak akan terjadi. Karena di beberapa kasus, ada yang sudah memakai kontrasepsi ternyata masih bisa hamil. Dan itu berlaku untuk semua jenis kontrasepsi,” lontar sang dokter kandungan. Dokter kemudian menjelaskan alat kontrasepsi yang tadi dia sarakan.Zahra mengangguk. “Iya, Dok, Saya paham. Tapi lebih baik melakukan pencegahan ‘kan daripada tidak melakukan apa pun.”“Ben
Zahra tak langsung menjawab suaminya. Dia masih merasa bimbang. “Bang, boleh nanti aku jawab di rumah setelah memastikan Mama bisa menjaga Zayyan?” pintanya.Zyan menghela napas panjang sebelum menjawab dengan anggukan. Setidaknya besoak ada secercah harapan untuknya bisa berduaan dengan Zahra. Soal mamanya, itu perkara gampang. Rania pasti bersedia menjaga cucunya seharian, apalagi ditemani Saffa yang sangat gemas pada Zayyan. Adik Zyan itu kalau di rumah pasti maunya main sama keponakannya.“Kita mau langsung pulang atau mampir ke mana dulu?” tanya Zyan setelah melajukan lagi kendaraan mewahnya.“Langsung pulang saja, Bang. Tidak ada yang harus dibeli,” jawab Zahra.“Kamu ga ingin makan di mana gitu?” tanya Zyan lagi.Zahra menggeleng. “Enggak, Bang. Kita makan di rumah saja. Aku masih belum merasa nyaman membawa Zayyan ke tempat umum.”“Ya sudah kalau begitu.” Zyan pun mengendarai mobilnya menuju kediaman Darmawangsa.Begitu tiba di rumah, Zahra langsung membawa Zayyan ke kamar kar
Zyan seketika mendesah mendengar pertanyaan belahan jiwanya itu. Dia tahu putra mereka memang jadi prioritas sekarang, tapi dirinya pun juga butuh Zahra untuk selalu ada di dekatnya.“Abang ‘kan hanya minta waktumu beberapa hari, sama seperti hari ini. Masa kamu tidak bisa? Lagian juga tidak setiap minggu atau bulan, hanya di waktu tertentu,” lontar pria bercambang tipis itu.“Apa kita harus membicarakan soal ini sekarang, Bang? Apa tidak bisa di lain waktu? Bukankah Mama bilang kita harus menikmati waktu bersama. Kalau kita membicarakan hal-hal yang membuat kita berdebat, tujuan kita staycation malah tidak tercapai,” cetus wanita yang mengenakan hijab berwarna biru muda itu.“Benar juga apa yang kamu katakan. Oke. Abang tidak akan lagi membicarakan hal-hal yang serius. Mulai detik ini abang hanya akan mengatakan dan melakukan hal yang manis denganmu.” Zyan menoleh ke kiri lantas mengedipkan sebelah mata.“Abang, genit ah!” seru Zahra.“Halal kalau genit sama istri sendiri, Ra,” tukas
Mila berusaha menarik tangannya yang digenggam oleh Gala. Namun aktor muda itu menahannya.“Kenapa? Kamu tidak suka?” Gala menatap lekat wanita di hadapannya.Mila mengembuskan napas panjang. “Ya, aku tidak suka dan aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini,” ungkapnya.Mantan kekasih Zyan itu balas menatap sang aktor. “Gala, kita tidak saling cinta, percuma juga meneruskan pernikahan ini. Kamu hanya terbawa emosi sesaat karena lebih dari setengah tahun kita hidup bersama. Percayalah, tak lama lagi kamu pasti akan terbiasa tanpa aku. Kamu bisa kembali pada mantan pacarmu atau mungkin kamu akan bertemu wanita yang baru,” tandasnya.Gala menggeleng. “Ini bukan emosi sesaat, Mil. Aku benar-benar ingin bersamamu.” Aktor tampan itu masih membujuk sang mantan aktris.“Mila, kita bisa belajar saling mencintai. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha,” imbuhnya.Mila menggoyangkan kepala ke kiri kanan. “Sudahlah, Gala. Lebih baik kita jalani hidup masing-masing seperti sebelumny
Zahra mengerling pada suaminya. “Apa sih, Bang? Penting banget ya dibahas dan dijawab sekarang?” Dia merasa kesal pada Zyan karena sering bertindak sesuka hati dan hobi memaksakan kehendak. “Enggak sih, tapi abang ingin dengar jawabanmu, Ra,” sahut Zyan. “Ya sudah, kalau begitu tidak perlu kita bahas lagi soal itu. Kapan-kapan saja. Aku sedang tidak mood,” tukas Zahra. Pria bercambang tipis itu menghela napas panjang. “Oke.” Dia memutuskan mengalah daripada memancing emosi istrinya. Masa baru pulang dari staycation malah berantem, harusnya ‘kan mereka tambah mesra. “Ada yang mau kamu beli atau tidak sebelum pulang?” Zyan mengalihkan pembicaraan dan mencoba mengambil hati istrinya. “Mampir sebentar beli kantong ASI, Bang. Sudah hampir habis stoknya. Dua hari ‘kan pakai kantong ASI terus karena tidak menyusui langsung,” jawab Zahra. “Siap, Nyonya Zyan. Kita pergi ke toko biasanya atau ke mana?” Zyan menoleh sebentar pada istrinya. “Ke tempat biasa saja, Bang. Takutnya kalau
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama